Share

Berusaha Ikhlas

Part2

Ayah mertua tidak menanggapi apapun, aku tetap terdiam dan memaksakan diri untuk makan malam, meski seleraku kini hilang.

Seminggu telah berlalu, sikap Ibu Delima sedikit membaik padaku.

"Ndre, malam ini kita akan kedatangan tamu teman Ibu, kamu dan Elea bersiap- siap oke."

Aku berada di dalam kamar, mendengar jelas ucapan Ibu pada Mas Andre. Tidak terdengar suara sahutan dari suamiku itu.

Setelah langkah kaki Ibu Delima menjauh, aku mengajukan pertanyaan, yang begitu mengganggu pikiranku.

"Mas, apakah ini tentang wanita, yang akan menikah denganmu?" tanyaku pelan.

"Entahlah, nggak usah dibahas! Aku cukup pusing dan juga terbebani dengan ini," sahutnya dengan ekspresi malas.

Aku menghela napas. "Sepertinya Ibu sangat serius dengan semua ini. Jujur, aku merasa keberatan," ungkapku pelan, membuat mas Andre menatapku.

"Utarakan saja pada Ibu, jangan padaku!" tegasnya lagi, kemudian merebahkan diri memunggungiku.

"Mas, Ibu Delima kan Ibu kamu, seharusnya kamu bisa berbicara dari hati ke hati sama dia. Kalau aku? Yang ada aku akan Ibu marahin," sahutku.

"Sudahlah, ikuti saja mau Ibu, aku capek jika terus berdebat dan tidak memiliki ketenangan lagi di rumah ini," jawabnya.

Lagi- lagi aku hanya bisa menarik napas berat. Apakah memang aku yang harus tersisih? Bagaimana nasibku kedepannya, jika aku bercerai dari mas Andre.

________

"Kalian sudah siap?" terdengar suara Ibu Delima bertanya pada mas Andre, yang sudah lebih dulu keluar dari kamar.

Lelakiku itu benar- benar rapi, dan menawan, di tambah dengan aroma parfume yang menyengat. Seakan dia begitu welcome dengan acara pertemuan malam ini.

Meskipun rasa hati ini begitu sakit, aku tetap harus kuat, dan berusaha sabar menerima semua ini. Aku mencoba keluar kamar juga, perasaan hati ini sangat penasaran pada tamu Ibu malam ini.

"Elea, kamu kok terlihat kucel sekali, jangan bikin malu saya! Saya tidak mau kamu di anggap jelek selama menjadi menantu saya," tegas Ibu Delima tak suka menatap penampilanku yang memang sangat sederhana.

"Itu sama saja kamu menjelaskan ke mereka, bahwa menjadi bagian keluarga ini membuat kamu tidak bahagia," lanjutnya.

"Awalnya sih aku bahagia, Bu. Sebelum keputusan bodohku." Batinku meracau, namun mulutku tertutup rapat.

"Sekarang juga kamu ganti pakaian, cari yang mewah dan elegan, yang kamu miliki," titahnya dengan sorot mata tajam melihatku.

Aku tak menjawab apapun, aku segera kembali masuk ke dalam kamar kami.

Dengan hati hancur, serta perasaan terluka, aku memilih satu persatu koleksi baju yang aku punya. 

Jujur saja, selama hidup setahun ini bersama suamiku, aku memang terbuai dengan hidup serba cukup, bahkan lebih. Aku bisa membeli apapun yang aku mau dan aku sukai, aku bergantung penuh padanya. Tapi kini, aku sangat takut kehilangannya.

Aku memilih baju paling mahal, yang memang menjadi baju kesayanganku.

Baju ini, adalah hadiah dari Ibu Delima, saat aku ulang tahun.

Beliau membelikannya dari LN, sebagai hadiah untukku menantunya. Dulu, sebelum kami satu rumah, Ibu begitu baik padaku walau hanya melalui sambungan telepon.

Tapi, kini? Entahlah. Mungkin, aku yang terlalu polos, sehingga percaya bahwa Ibu memang baik. Faktanya, kini sangat jauh berbeda.

Para tetangga dan kenalanku mengatakan aku adalah wanita yang paling beruntung. Memang, dulu aku merasa begitu, tapi sekarang semua berubah.

Huh, aku menghela napas perlahan. Lalu kukenakan gaun mewah tersebut, kuoleskan make up tipis di wajah ini.

Setelah selesai, aku berjalan pelan keluar kamar.

Ibu mertua dan Mas Andre yang duduk di ruang keluarga, seakan terpana akan kehadiranku. Ibu berdiri dari duduknya, lalu memelukku dengan senyum bahagianya.

"Begini dari tadi, Ibu akan sangat bangga memperkenalkan kamu pada mereka nantinya." 

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi omongannya.

Tak lama kemudian, yang kami tunggu telah tiba di halaman depan rumah.

Bi Inah asisten rumah tangga Ibu membukakan pintu depan, ia mempersilakan rombongan itu masuk.

Ibu pun berdiri dari duduknya di ruang tamu, kemudian berjalan menuju mereka semua.

"Hei, kalian sudah pada datang," ujar Ibu langsung memeluk wanita muda yang lumayan cantik, rambut terurai panjang, kulit putih bersih, dan berlesung pipi.

"Andre, sini Nak, calon kamu sudah tiba." Ibu memanggil suamiku dengan raut wajah bahagia, ia seakan lupa keberadaanku.

Degh!!

Aku terkejut mendengar perkataan Ibu Delima. "Calon? Apakah aku tidak salah dengar?" batinku.

Aku hanya terdiam mematung di tempat semula, aku menatap mas Andre yang berjalan pelan memenuhi panggilan Ibunya itu.

"Nak, ini calon kamu, Delia!" ujar Ibu sambil memamerkan wanita itu pada suamiku. Hatiku rasanya sakit, hancur dan tidak rela. Tapi apalah dayaku, melawan pun percuma, yang ada aku hanya akan tersingkir.

"Ha, Delia ...." Terdengar suara terkejut suamiku.

"Andre ...." wanita itu pun ikut bersuara.

Apakah mereka saling mengenal?

"Kalian saling mengenal?" tanya Ibu Delima.

"Iya, Bu. Delia ini, adalah sahabat Andre semasa SMP."

"Wah, sepertinya kalian memang berjodoh," pekik Ibu kegirangan.

Aku tidak mau tersingkir hanya karena sebuah alasan yang bahkan bukan aku yang salah, tapi aku juga tidak bisa jujur, aku tidak siap melihat suamiku terluka.

Begitu dalamnya cintaku padamu, Mas.

Tapi, sekarang ini bagaimana? Aku seakan terkena hukuman, atas kebohonganku sendiri.

"Kok cuma diam mematung di sana? Cepat bantu Bibi menyajikan makan malam!" titah Ibu berteriak dari ruang tamu, sedangkan aku sedari tadi hanya duduk di ruang keluarga. 

Tanpa menyahut, aku segera ke dapur, membantu Bibi menyiapkan hidangan kemeja makan.

Bibi memandangku iba.

"Non, yang kuat, yang tabah! Akan selalu ada hikmah terbaik di setiap kesabaran." Ia menguatkanku, seakan mengerti apa yang saat ini kurasakan.

"Non, duduk aja di situ, sayang baju mahalnya nanti kotor, kalau ikut di dapur."

"Tidak apa-apa, Bi."

"Non, Bibi yakin, setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya." Ia menggenggam erat tanganku.

Aku hanya mengangguk, pelan kuseka air mata yang mulai menyeruak jatuh ke pipi.

Setelah semua hidangan tertata rapi dimeja makan, Bi Inah ke ruang tamu untuk laporan.

Mereka semua berjalan menuju dapur, sedangkan aku tengah sibuk membuat jus mangga untukku.

"Sayang! El, kemari Nak." Suara ibu memanggil namaku, aku berjalan pelan menuju meja makan.

Nyeri, saat aku melihat wanita itu duduk di kursiku, dan aku tidak mendapatkan bagian kursi untuk kududuki.

"Iya, Bu, ada apa?" tanyaku pelan.

"Ini, Delia, calon Istrinya Andre," ujar Ibu memperkenalkan wanita itu kepadaku, dengan senyum sumringahnya.

Wanita itu menatap datar kepadaku.

Ia bahkan mengacuhkan senyumanku, entahlah, aku pun enggan peduli pada wajah itu.

"Mas Andre, cobain deh ini, enak banget," ujarnya sambil meraih potongan kecil kue brownies buatanku.

Wanita itu terkesan sengaja menyakiti hatiku saat ini.

Suamiku pun menerima suapan darinya dengan wajah tersenyum sumringah.

"Enak, kan?" tanya wanita itu dengan tersenyum manis kepada suamiku. Sungguh aku sangat terluka melihatnya, terlebih dari tadi aku hanya berdiri di tempat.

Suami yang begitu kusayangi itu pun seakan menutup mata dengan keberadaanku. Ia bahkan tidak peduli pada pandanganku yang terluka melihat kemesraan mereka.

"El, ngapain masih berdiri begitu?" Mas Andre bertanya dengan wajah datarnya.

"Biar saja, Mas. Acuhkan saja," sahut Delia dengan mengalihkan pandangan suamiku.

Belum menikah saja mereka sudah seperti ini memperlakukan aku, bagaimana jika wanita ini benar-benar jadi adik maduku? Akankah aku masih memiliki hak yang sama? Atau sebaliknya, aku akan menuai luka dan luka?

Aku berniat meninggalkan tempat sedari tadi aku berdiri, aku tidak sanggup mengemban luka hati melihat pemandangan menyakitkan ini. 

Andai saja kamu tahu kenyataan yang aku sembunyikan, mungkinkah kamu dan Ibu masih sesombong ini, Mas?

"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu Delima, menghentikan langkahku yang berniat meninggalkan ruangan penyiksa hati ini.

"Mau ke dalam," sahutku masih dengan nada sopan.

"Saya kan masih belum suruh," ucapnya dengan nada ketus. Untuk apa Ibu Delima menahanku, apakah dia memang sengaja membiarkan aku sakit hati melihat suamiku bercanda ria bersama wanita lain.

Bahkan kini tatapan semua orang yang ada di ruang makan menuju ke arahku semua. Mereka seakan menatap remeh diri ini, rasa percuma pakaian mewah ini membalut diri, jika harga diri terus di injak-injak.

'Mas Andre, Ibu Delima, kalian sukses mengukir luka dalam hatiku ini. Suatu saat jika aku melakukan hal sama, maka jangan pernah lupa akan hal ini, semua kalian yang memulainya,' batinku semakin terluka, namun saat ini aku tiada berdaya untuk melawan mereka.

"Kapan lamaran diadakan?" tanya laki-laki paru baya, yang sepertinya ayah wanita itu, sungguh mereka rombongan orang tidak berhati nurani.

"Secepatnya dong! Saya kan sudah tidak sabar pengen lihat anak saya menikah lagi, dan segera memberikan saya cucu." Ibu menyahut sambil melempar pandangan remeh kepadaku.

Sayangnya, hatiku hanya bisa meringis, tanpa bisa melawan para bedebah sombong ini. Sakit rasanya, dipaksakan mendengar semua pembicaraan mereka yang seolah sengaja membakar jiwa ini.

Namun, aku tetap bertahan dengan diamku, membiarkan mereka berbahagia di atas lukaku, hingga karma lah nantinya yang akan menyapa mereka.

Para manusia tak berperasaan itu semakin gencar melukai hatiku.

"Kita akan menimang cucu secepat mungkin, kalau mereka menikah, kadang memang jadi perempuan mandul itu petaka ya, Bu." Ibu wanita itu menimpali.

Ibu Delima dan seluruh yang duduk di meja makan tertawa lepas sambil menatapku sesekali.

Mereka seakan semua tahu, bahwa aku adalah perempuan mandul yang tengah mereka sindir.

"Tapi saya berharap, anak saya akan menjadi pilihan Nak Andre satu-satunya." Ayah Delia kembali bersuara, apa maksud dari ucapannya, apakah dia ingin aku di ceraikan begitu saja. Jahat.

Ibu Delima pun tertawa renyah. "Semoga saja yang mandul segera sadar diri, Pak!" sindirnya.

"Bu, Elea mau ke belakang!" ujarku, aku bosan sedari tadi jadi pendengar yang di hancurkan dengan kata-kata sindiran pedas dari mulut mereka semua.

"Ngapain? Berdiri aja di situ," sahut Ibu Delima. Tega sekali wanita ini mempermainkan hatiku dan mempermalukan aku di depan semua orang.

Sedangkan suamiku? Dia benar- benar buta, bisu dan tuli terhadap kondisiku saat ini.

"Saya mau buang air kecil," ujarku lagi beralasan. Dia pikir enak apa berdiri menyaksikan mereka makan dan berbincang menyindir diri ini.

"Jangan lama-lama, setelah itu kembali berdiri di sini lagi," titahnya. 

'Entah, aku sangat marah rasanya, suatu saat aku pastikan menghancurkan kalian.' aku membatin.

Tunggulah sampai aku benar-benar muak dengan perlakuan kalian. 

Kesabaran yang sia-sia ini tak akan membuahkan kebaikan, justru saat ini pikiran jahat bergentayangan dalam benakku. Semua akibat perlakuan hina kalian.

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Mimih Qyut
ada perempuan begitu? bodooh wkwkwkkk.. cinta kaya gmn sih? aah cerita aneh
goodnovel comment avatar
Ning Kusdiarini
istri bodoh.....males
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Klu balik lg spt permintaan ibu mertua, bodoh itu namanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status