Share

Menikahi Nona CEO
Menikahi Nona CEO
Penulis: Budy alifah

Menggoda

“Tidak bisa!” seru Mila seraya berdiri.

Perempuan itu menatap tajam sang ayah. Dia tidak bisa terima dengan keputusan yang diambil oleh Danu secara tidak masuk akal.

Persyaratan konyol yang ayahnya berikan membuatnya kesal. Dalam hatinya ia terus bertanya, haruskah seorang CEO memiliki pasangan?

“Keputusan Papa sudah bulat, Delvin yang akan menggantikanmu,” sergah Danu tak mau kompromi.

Lelaki tua itu juga menegaskan, jika sang putri menginginkan jabatan itu maka dia harus segera menikah.

“Kenapa harus menikah? Apa tidak ada cara lain?” Mila mencoba membujuk sang ayah agar mengganti persyaratannya.

“Mila, umurmu sudah cukup untuk menikah. Papamu ini sudah tua, sudah ingin menimang cucu darimu,” ungkap Danu. Danu takut Mila akan menjadi perawan tua karena terlalu sibuk bekerja.

“Pa, kenapa harus Delvin?” tanya Mila putus asa.

Gadis itu tidak memahami keputusan sang ayah. Dia sudah mati-matian mengembangkan perusahaan hingga besar.

Kini, sang ayah malah seenaknya menggantikan dirinya dengan adik tirinya yang tidak kompeten.

“Mila, kamu masih bisa bekerja di cabang. Berilah adikmu kesempatan,” pinta Danu memberikan alternatif.

Danu melanjutkan, "Lagipula, Delvin akan segera bertunangan dan menikah, dia pasti akan lebih dewasa setelah memiliki keluarga."

Mila mengepalkan tangannya, ia geram dengan jawaban ayahnya yang tidak memikirkan perasaan anak kandungnya sendiri.

"Memberikan perusahaan kepada anak yang baru terjun di perusahaannya bukanlah ide yang bagus, Pa!" Mila berusaha berdebat lagi.

Mila memiliki firasat, jika adik tirinya tidak akan segan-segan menendangnya saat dia sudah menjadi pimpinan. Karena dia tahu, Delvin juga sangat menginginkan posisi itu untuk menguasai perusahaan.

Gagasan sang ayah untuk menaikkan posisi anak tirinya sangat mengancam kedudukan Mila sebagai anak kandung, sekaligus direktur perusahaan.

Gadis itu berpikir keras, mencari cara untuk menghentikan tindakan ayahnya yang akan merugikan perusahaan itu sendiri. Ia berusaha keras melindungi karyawan-karyawan yang sudah lama bekerja untuknya.

“Kenapa bukan Delvin saja yang berada di kantor cabang, Pa? Kemampuannya saat ini bahkan masih kalah jauh dari Riska.”

Dia membandingkan kinerja Delvin dengan sekretarisnya. Jika memang posisinya harus diganti, Riska sekretarisnya lebih pantas menduduki jabatan penting itu.

"Delvin akan berkeluarga, jadi wajar jika dia tinggal di kantor pusat bersama keluarganya," jawab sang papa.

"Lalu, apa Papa tidak memikirkan aku?"

"Apa kau juga mau menikah?"

"Sial!" umpat Mila dalam hati.

Mila tidak percaya jika Delvin bisa bekerja lebih baik darinya. Bagaimana nasib karyawan di sini jika dipegang oleh orang tidak kompeten? Kalau sudah bangkrut, apa Papa mau bertanggung jawab juga?

Mila tahu ayahnya itu tipe orang kolot yang lebih menyukai anak lelaki ketimbang perempuan. Sudah jelas akan sulit untuk meyakinkan ayahnya, tapi ia tak mau menyerah begitu saja.

“Jadi, hanya menikah persyaratan Papa?” tanya Mila menarik kesimpulan.

Danu mengangguk.

"Baik," sahutnya sembari mengangkat dagu. "Aku akan membawa CALON SUAMI yang Papa inginkan."

Gadis itu berjalan keluar dari kantor ayahnya dengan dada membusung. Tidak lupa ia membanting pintu ruangan itu dan melangkahkan kakinya lebar-lebar.

Bila syarat satu-satunya yang ayahnya tuntut adalah menikah, maka ia akan melakukannya.

Masalahnya, Mila belum punya calon suami yang bisa diajak menikah. Jangankan calon suami, pacar pun ia tak ada.

Selama ini dirinya terlalu fokus dalam meniti karier hingga percintaannya terabaikan.

"Aaah! Papa sialan!" erangnya putus asa sambil memukul setir mobil.

Gadis itu merasa stres akibat persyaratan yang diberikan oleh bapaknya. Bagaimana bisa dia menikah dalam waktu dekat?

Akhirnya, ia memilih untuk melampiaskan kegalauannya dengan pergi ke bar, dan minum. Sedikit alkohol mungkin bisa membuat pikirannya lebih jernih, dan ia bisa membuat rencana yang cemerlang.

"Vodka satu," pesannya kepada bartender.

Desakan untuk menikah dari ayahnya membuatnya kalut. Dia yang sudah jomlo bertahun-tahun, bagaimana bisa mendapatkan calon suami dengan cepat?

Perempuan yang sudah setengah mabuk itu turun dari kursi. Ia memindai seluruh lelaki yang ada di tempat itu.

Rata-rata lelaki di sana sudah memiliki wanita, entah satu, dua, atau tiga wanita sekaligus. Mila mendengkus, dan kembali minum sambil mencari pria lain.

"Apakah sungguh tidak ada lelaki baik-baik dan polos di tempat ini?" cibir Mila, lalu meneguk kembali vodkanya.

Netra mulai menjelajahi sisi lain dari bar, dan akhirnya matanya tertuju ke sofa paling pojok.

Dia menatap lekat lelaki berparas tampan yang sedang meneguk minuman sendirian. Lelaki itu memakai kemeja hitam pas bodi, dengan dua kancing atas yang terbuka.

Wajahnya tampak tenang, dan tangannya yang kekar terus memutar-mutar gelas minumannya. Sebuah pemandangan langka di tempat penuh dosa ini.

Mila jadi bertanya-tanya, untuk apa lelaki itu datang ke sini? Atau inilah jawaban dari Tuhan untuk masalahnya?

Mila tersenyum miring, lalu berjalan ke arah lelaki itu. Sesekali langkahnya gontai, tapi buru-buru bisa dikendalikan.

“Malam yang membosankan, bukan?” celetuk Mila sembari tersenyum manis, dan duduk di depannya.

Pria itu hanya meliriknya malas, tipe pria yang suka playing-hard-to-get, yang justru membuat Mila tertantang untuk menaklukkannya.

“Malam yang begitu syahdu, apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengusir kesepian ini?” imbuhnya dengan suara yang lebih lantang agar pria yang masih sibuk dengan gelasnya itu memberinya lebih banyak perhatian.

Dan Mila berhasil, lelaki itu tersenyum, lalu kembali meneguk minuman yang ada di depannya.

Matanya mulai memperhatikan Mila yang memang terlihat cantik dengan dress merah yang menantang.

“Gelasmu sudah kosong, keberatan kalau kubelikan lagi?” usulnya sembari mengangkat tangan ke arah sang bartender.

“Mas, tambah,” serunya cepat.

Mila memesankan minuman tanpa persetujuan dari lelaki itu. Dia masih asyik menikmati sisa minuman miliknya.

“Perempuan secantik dirimu, datang sendiri?” tanya pria itu, pandangannya beredar di area tempat duduknya.

Mila menganggukkan kepala, sembari mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Dan pria setampan dirimu tak memiliki teman?" Ia balik menggodanya. Pria itu tertawa.

Mila tersenyum, ia berhasil memancing pemuda tampan itu.

"Dan kau datang untuk menemaniku?" tanya pria itu lagi.

Mila tertawa. Sepertinya pria ini lawan yang sepadan untuknya. Mila semakin gemas dibuatnya.

“Aku tak keberatan," jawab gadis itu terus terang.

"Tetapi, apakah kamu belum memiliki kekasih? Tak mungkin pria setampan dirimu belum laku.” Ia kembali bermain api dengan wajah sok polos.

Lelaki itu menaruh gelas, memandang Mila sembari menyeringai.

“Aku masih lajang, tanpa kekasih, apalagi istri. Kenapa? Kau tertarik kepadaku?” Pria itu merasa heran dengan perempuan asing yang terkesan berani dan ingin tahu tenang dirinya itu.

“Menikahlah denganku,” ujar Mila tiba-tiba.

Pria tampan itu melebarkan kedua matanya. “Menikah?”

Ia menertawakan ucapan Mila. Perempuan itu gila! Bukan hanya mengajak berpacaran, atau menghabiskan malam bersama, tetapi menikah?

Dia kembali meneguk vodka yang baru datang, dan mengabaikan omong kosong Mila.

Perempuan itu tak tinggal diam, sudah kepalang tanggung. Apa yang dimulainya harus diselesaikan.

Ia mendekat lalu mengalungkan lengannya ke leher pria incarannya itu.

“Kenapa kau diam? Takut?” tanya gadis itu dengan senyuman nakal.

Karena tak kunjung mendapat balasan, Mila mulai menggodanya.

Dia menyentuh dagu pria itu, dan memberikan ciuman kecil di lehernya. Ia memainkan jakunnya, hingga pria itu kehilangan kesabarannya.

Ia mendorong gadis di sampingnya itu agar sedikit menjauh. Selanjutnya pemuda itu menatap Mila tajam.

Mulutnya berucap lirih, tapi penuh ancaman, “Berhenti, Nona, selagi aku bisa mengendalikan diriku ... atau kau akan menerima akibatnya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status