Share

Jebakan?

“Hai, Agil, kita bertemu lagi.”

Mila memutar kursinya, seusai mendengar sapaan sopan dari mulut pegawainya. Bibirnya tersenyum merekah, dan tangannya melambai manja.

Sedangkan pria di depannya syok. Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok bos yang selama ini belum pernah ditemui secara langsung.

Bagaimana tidak. Baru saja Agil duduk di kursi, ia sudah mendapat perintah untuk menghadap ibu pimpinan perusahaan. Dia cemas, takut melakukan kesalahan dan dipecat. Padahal dia masih anak baru.

Namun ternyata, wajah wanita yang duduk di kursi kebesarannya itu, adalah wanita yang sama dengan semalam.

"Bos ...." Lelaki itu tak sanggup berkata-kata.

Agil kaget, melihat orang yang semalam tidur dengannya ternyata adalah bos di perusahaannya.

Agil mendengus, ia memaki dalam hati kenapa harus bertemu dengan wanita yang berada di bar malam itu.

Sangat merepotkan!

Agil segera duduk setelah dipersilahkan oleh Mila. Firasatnya mengatakan pekerjaannya berada dalam bahaya karena nasibnya berada di tangan wanita yang sedang tersenyum penuh kemenangan itu.

“Agil, kamu harus menikahiku,” kata Mila langsung, lebih mirip paksaan.

Mila tak putus asa membujuk pegawainya untuk menikah dengan dirinya. Kali ini harus berhasil.

“Maaf, Bos, saya tidak bisa menikahi anda,” tolak Agil sopan.

Dia berdalih jika dirinya tidak pantas bersanding dengan atasannya itu. Dia hanyalah karyawan biasa, tinggal di kos kecil, tak memiliki harta kekayaan apapun. Membayangkan saja dia tidak berani.

Agil juga memikirkan bagaimana dia bisa memberikan nafkah, gajinya satu bulan tidak akan cukup untuk membiayai hidupnya. Mungkin juga hanya cukup untuk sekali makan.

“Aku tidak peduli kamu pegawai atau apapun. Aku hanya meminta pertanggungjawaban darimu.” Mila bersikeras agar Agil mau menikahinya. 

Agil memegang kepalanya, dia menyesal membantu atasannya ke hotel. Kini dia yang terjebak sendiri.

“Kamu sudah menanamkan benih di rahimku, bagaimana jika aku hamil. Apa kamu tega?” ucapnya sembari menatap Agil sendu, masih dengan akting murahannya. 

Mila mengusap perutnya, dengan cara yang begitu dramatis ia menanyakan apakah Agil tega melihat seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah? Bagaimana orang-orang akan memandang dirinya yang hamil tanpa suami?

Kepala Agil rasanya mau pecah mendengar ocehan Mila. Dia tidak bisa mengambil keputusan. 

“Baiklah, Agil, aku memiliki tawaran untukmu,” ujar Mila tiba-tiba, wajahnya berubah serius lagi.

“Apa?”

Agil mengangkat kepalanya. Ia masih berharap bosnya mengurungkan niatnya untuk menikah.

“Jika memang kau tak menyukaiku, menikahlah sementara denganku. Kita bisa menikah kontrak.” Mila menawarkan kesepakatan menarik untuk Agil.

“Lalu bagaimana jika anak itu lahir?” tanya lelaki itu polos, berpikir bahwa bosnya bisa saja benar-benar hamil akibat perbuatannya.

“Kamu tidak perlu memikirkan anak ini, itu urusanku. Kau ikuti saja apa yang aku mau,” kata Mila masih dengan drama sedihnya.

Gadis itu hanya membutuhkannya untuk memenuhi persyaratan ayahnya dan ia tetap bisa mendapatkan posisi pimpinan di perusahaannya. Setelah kontrak pernikahan selesai, Agil bisa bebas pergi.

“Berikan aku waktu berpikir, Bos.” Agil masih gamang untuk menyetujui permintaan Mila.

Dia akan terlihat brengsek jika membiarkan seorang anak lahir tanpa ayah. Meskipun dia tahu, jika anak yang akan lahir dari rahim bosnya itu bisa hidup bahagia tanpa dirinya.

Meskipun sang anak akan menikmati segala kemewahan dari ibunya, figur seorang ayah juga sangat dibutuhkan dan tak akan tergantikan oleh siap pun.

“Jangan terlalu banyak berpikir, Agil. Aku akan memberikan jaminan hidup enak selama kita menikah,” bujuk Mila sembari memasang muka memelas.

Jaminan hidup? Sangat menggiurkan.

Tapi Agil seorang lelaki yang harus berdiri sendiri tanpa bantuan dari seorang wanita. Harga dirinya pasti akan diinjak-injak kalau orang sampai tahu.

“Tidak, Bos, saya tidak bisa menikah dengan Bos.” Agil bersikeras menolak tawaran menikah dengan anak orang kaya.

“Baik, jika kamu tidak mau. Jangan salahkan aku jika foto ini tersebar di seluruh media.”

Mila menunjukkan foto mereka yang sedang berpelukan di tempat tidur.

Agil menatap tak percaya ke layar ponsel bosnya. Ia memandang wanita itu, dan sadar bahwa dirinya telah diperdaya oleh wanita muda itu. Ia sungguh geram.

Mila mengatakan bahwa dirinya bisa menuntut diri Agil kapan saja, serta menambahkan kalau dia bisa mudah memperbaiki nama baiknya sendiri dengan kekuasaan dan kekayaan yang dia punya, sedangkan Agil?

“Apa mau Nona sebenarnya?” Agil curiga jika sang pimpinan ini tidak beres. 

Kenapa dia terus mengejarnya? Padahal dia bisa mendapatkan orang yang lebih baik darinya. 

“Permintaanku tidak banyak Agil, ikut aku ke rumah. Maka semua masalah selesai.” Mila mengambil ponselnya kembali.

Gadis itu mengatakan bahwa ia akan memperkenalkan Agil sebagai calon suaminya. Pernikahan akan dilakukan secepatnya, semua akan Mila atur. Kontrak pernikahan akan mereka bicarakan lagi nanti.

“Baiklah,” jawab Agil putus asa.

Dalam hati Mila bersorak menang. Rencananya akan berhasil.

Lalu sekali lagi ia berucap kepada pemuda itu, "Ingat, Agil. Kau sudah menyetujuinya, kau tak bisa lari, atau kau akan merasakan akibatnya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status