Share

Ancaman

“Apa? Pergi dari rumah?” Mila tertawa mendengar persyaratan yang diajukan oleh ibu tirinya itu.

Perempuan itu menggelengkan kepala. Dia mulai berpikir jika ibu tirinya semakin aneh. Wanita itu mulai mengambil alih dan mengatur rumah sesuka hatinya.

“Mila, seorang istri memang sepatutnya mengikuti suaminya. Ah, aku lupa dia kan pria miskin,” ejek Delvin sembari tertawa.

Dada Mila bergemuruh, dia kecewa dengan keluarganya. Terutama sang ayah yang hanya diam melihat putri kandungnya terus disudutkan.

“Baiklah, saya akan membawa Mila keluar dari rumah ini,” sahut Agil tiba-tiba.

Mila terkejut, dan menoleh cepat ke arah Agil.

“Agil, aku minta kamu diam!” desis Mila sambil melotot ke arah calon suami kontraknya itu.

Mila sebal. Bagaimana bisa Agil lancang memutuskan hal itu tanpa izin darinya? Dia tak memikirkan resikonya, Mila bisa kehilangan rumah yang sudah ia tinggali sejak kecil.

Sarah tersenyum, dia senang mendengar jawaban dari Agil. Satu usahanya telah tampak hasilnya, yaitu menguasai rumah sang suami. Menurutnya setelah rumah ini bisa dikuasai, tak sulit baginya untuk segera mengambil perusahaan.

"Maaf, Pa, Mila harus bicara dulu dengan calon suami Mila," ujar Mila sembari menarik tangan Agil dan menyeretnya ke halaman belakang.

“Kau bicara apa tadi?” bentaknya sambil menghempaskan tangan Agil. “Kau itu harusnya berada di pihakku, bukan mereka!”

"Saya batalkan saja perjanjian ini," ucap Agil dengan nada serius.

Ia memilih untuk berhenti, sebelum mereka berjalan terlalu jauh. Pemuda itu lebih baik mundur, daripada terus mendapatkan serangan dari Mila dan keluarga besarnya.

Dia pikir bosnya itu berbeda dengan keluarganya, ternyata sama saja angkuhnya. Hal ini membuat Agil berubah pikiran.

"Jangan macam-macam kamu, Agil. Semua rahasiamu ada di tanganku!” Mila menggertak balik.

Sang atasan dibuat ketar-ketir dengan pengunduran diri Agil. Rencananya pasti akan semakin hancur, jika calon suami kontraknya itu benar-benar meninggalnya di titik ini. Dia bisa kehilangan semuanya.

"Bos, silakan mencari laki-laki lain saja.” Agil menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan berlalu meninggalkan halaman rumah Mila. Dia tidak peduli bila nama baiknya akan hancur.

“Agil!” teriak Mila yang diabaikan begitu saja oleh lelaki itu.

Agil pergi dengan taksi yang sudah dipesan olehnya saat masih berada di rumah Danu. Dia sudah memiliki firasat bahwa dirinya akan diusir, sehingga ia berjaga-jaga dengan memesan taksi agar bisa segera pergi dan tak terlalu malu.

Mila mengejar taksi yang ditumpangi oleh sang pegawai. Dia ingin melakukan negosiasi agar Agil tidak membatalkan perjanjiannya.

Mila tidak mungkin mendapatkan penggantinya begitu cepat, terlebih lagi hal ini akan menjadi pertanyaan keluarganya, kalau dia mendadak mengganti calon suaminya.

Gadis itu mendapati Agil pergi ke tempat kosnya.

"Agil, buka!” Mila menggedor-gedor pintu kamar kos Agil.

Gadis itu mengabaikan rasa malunya ketika menjadi pusat perhatian orang-orang yang tinggal di sebelah Agil. Bahkan, dia tidak peduli jika kedatangannya akan mengganggu mereka.

“Agil, kau harus bertanggung jawab atas anak di dalam kandunganku!” teriak Mila begitu keras.

Agil akhirnya membuka pintu sebelum Mila mengatakan hal-hal yang tidak diinginkan olehnya. Dia bisa diusir dari kos, andai mereka salah paham. Dia mengatupkan tangan di dada dengan sedikit menundukkan kepala di hadapan penghuni kos yang lain permintaan maaf karena telah membuat keributan.

"Bos, ada apa lagi?” tanya Agil, raut wajahnya lelah menanggapi Mila.

“Agil, tolonglah aku, kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini.” Mila memohon, ucapannya pun melembut agar Agil mau mengasihaninya.

“Saya tidak bisa, lebih baik cari orang lain saja,” jawab Agil seraya duduk di kasur.

Dia sudah tidak berminat membantu bosnya. Hidupnya menjadi kacau semenjak kehadirannya dalam hidupnya.

Gadis itu mencoba memutar otak untuk mengetahui alasan kenapa sang pegawai menolak mentah-mentah tawaran yang dia berikan, padahal itu bisa menyokong kehidupannya.

Lalu dengan berani wanita itu berucap, “Baiklah, bila tawaranku kurang tinggi, aku akan membayarmu dua kali lipat.”

“Tidak, Nona, saya tidak menginginkan bayaran,” timpalnya lelah. Dia sudah putus asa berhadapan dengan Mila, yang tak memahami apa yang dia ucapkan padanya.

Mila pun sudah hilang kesabaran. Gadis itu melipat tangan di dada. “Jika kau tetap menolak, aku akan memecatmu detik ini juga. Dan ingat, Agil, aku punya foto kita berdua di hotel. Bisa kupastikan kamu tidak akan mendapatkan pekerjaan di manapun!” ancamnya keras.

Agil tersentak. Ia tak menyangka Mila akan bertindak sejauh ini. “Jangan, Bos, kasihanilah saya.” Pemuda itu memohon.

Mencari pekerjaan di kota besar tidak mudah, sebelum memasuki kantor ini dia sudah ditolak banyak perusahaan. Bahkan, dia sudah sempat ingin menyerah karena tak kunjung mendapat panggilan.

Hatinya bimbang. Ia belum ingin kembali ke desa sebelum sukses.

Mila menyunggingkan senyum. “Jadi, kamu setuju?” tanyanya sembari menatap wajah tampan pegawainya itu.

Agil memejamkan mata sebentar, memantapkan diri sebelum menerima tawaran dari bosnya. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain pasrah.

Agil membalas pandangan Mila, lalu berucap hati-hati, “Baiklah, saya terima, tetapi dengan dua permintaan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status