Share

02. Makan Siang

Pagi-pagi itu, Kaivan duduk di sisi pembaringan Arawinda. Kamarnya sudah berantakan tak terhingga, pecahan kaca ada di mana-mana sehingga Kaivan harus berhati-hati untuk melangkah.

Nampak di atas pembaringan sana, tubuh Arawinda yang sangat kurus masih terbaring lelap. Dokter keluarga yang biasanya datang setiap sebulan sekali selalu mengeluhkan tentang berat badan sang istri.

Semenjak menikah dengannya, meski makan bersama sesekali di akhir pekan, Arawinda hanya mengambil sedikit dan sepotong buah. Tak jarang bahkan kepala pelayan juga memberikan laporan bahwa Arawinda tak makan sama sekali selama seharian.

Kaivan kemudian melihat Arawinda mulai tersadar dari alam mimpi. Kala mata kelamnya dan mata cokelat tua Arawinda saling menatap, gadis itu langsung terbangun dan meloncat jauh dari kasur.

Semalam Arawinda sudah melemparnya dengan vas sampai-sampai kepala Kaivan bocor dan harus segera diobati. Jadi mereka tak sempat membicarakan apa-apa.

"Apa-apaan? Siapa yang memberikan kamu ijin untuk masuk ke dalam kamar saya?"

Selalu seperti ini, pembicaraannya dengan Arawinda akan dipenuhi dengan emosi.

"Kita perlu bicara." Arawinda kini berdiri di depan jendela kamar. Kulit putih pucatnya yang jarang terkena sinar matahari menjadi perhatian Kaivan.

"Saya sedang tidak ingin berbicara."

"Papi akan datang untuk makan siang di rumah."

Arawinda menaikan alis mata. Kaivan pikir ia akan mempedulikan hal tersebut? Tentu tidak. Tidak akan sama sekali. Bukan urusannya. Tak ada keuntungan bagi Arawinda untuk makan siang bersama Papi nanti.

"Saya harap kamu bisa bersiap-siap dan makan bersama kami."

"Untuk apa? Makan siang untuk apa?"

"Papi yang ingin bertemu."

"Saya tak peduli Papi ingin bertemu atau tidak sekalipun."

"Kesehatan Papi semakin menurun setiap harinya. Jadi, saat ada waktu begini, temuilah beliau."

Tangan Arawinda terkepal. Buku-buku jarinya memutih. Mendengar hal tersebut, pendiriannya untuk tidak bertemu dengan Rajendra sedikit goyah.

Tapi kalau diingat-ingat, haruskah ia sepeduli itu? Dulu ... saat Arawinda sedang sakit, Papi meninggalkannya sendirian. Papi tak menjenguk atau mengurusnya sama sekali jadi, untuk apa mereka bertemu dan untuk apa Arawinda mempedulikan orang yang tidak peduli juga terhadapnya.

"Saya tidak akan bertemu. Saya tidak peduli tentang apapun yang menyangkut Papi, meski ... dia mati sekalipun."

Mendengar penuturan itu, tatapan Kaivan pada Arawinda berubah menjadi sorot dingin dan marah. "Saya tak ingin banyak berbicara."

Arawinda benci nada suara penuh penakanan dan tegas itu. Arawinda benci dengan tatapan Kaivan yang selalu merendahkannya. Seolah-olah ia hanya parasit di rumah ini.

"Apapun yang kamu mau, Arawinda. Apapun. Akan saya wujudkan, hanya saja, kamu harus bersiap untuk makan siang nanti. Saya tidak ingin mendengar penolakan. Kalau saja saya mendengar dari kepala pelayan kamu tetap kukuh dan keras kepala untuk tidak menemui Papi, saya akan memberikan kamu hukuman."

Arawinda mengigit bibir dalamnya penuh Amarah.

"Hanya dua pilihan kamu sekarang, menemui Papi dan mendapatkan apapun yang kamu mau. Tidak menemui Papi dan kamu mendapatkan hukuman. Tempat sempit yang kamu takuti itu."

Mendengar kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Kaivan membuat Arawinda seketika merinding.

Claustrophobia.

Arawinda memiliki kelemahan, claustrophobia, ia merasa takut pada tempat sempit, gelap dan tertutup.

Dan parahnya, Kaivan memanfaatkan kelemahannya dengan sangat maksimal.

Tak menjawab apa-apa, Arawinda memandangi punggung Kaivan yang kini berlalu, menghilang di balik pintu kamar sesaat kemudian.

Arawinda menjatuhkan tubuh terduduk di atas lantai kamar. Kenapa ia selalu begini? Kenapa ia lemah dan tak bisa melawan Kaivan? Kenapa hidupnya benar-benar tidak berdaya?

^^^^^^^^

Sebuah mobil mewah berhenti di pekarangan rumah. Sesaat kemudian, seorang laki-laki tua keluar dari dalam sana. Tubuhnya sudah nampak bungkuk, cara berjalannya sudah lumayan mengkhawatirkan, dibantu oleh tongkat kayu. Rambut di kepala lelaki itu juga memutih secara keseluruhan.

Kaivan buru-buru turun dari teras dan menyambutnya. Membungkuk pada sosok tersebut sebagai salam. "Selamat datang, Pak Rajendra."

Sosok di depan Kaivan ini memang mertuanya, tapi Kaivan selalu menghormati Rajendra sebagai seorang presdir perusahaan.

"Kenapa kamu tidak menunggu saya di dalam saja?"

Kaivan tersenyum tipis. "Mana mungkin saya seperti itu."

"Bagaimanapun, saya sudah menjadi mertua kamu sekarang. Dari satu tahun yang lalu."

Keduanya masuk ke dalam rumah, langkah mereka sama-sama terhenti kala menemui Arawinda yang kini berdiri di ruang tamu. Memakai gaun soft pink yang nampak elegan untuk menyambut Rajendra.

Tak berekspresi, Arawinda pun menyilangkan tangan angkuh untuk menyambut Rajendra.

"Saya sudah siapkan hidangan. Mari kita semua langsung menuju ke meja makan." Kaivan buru-buru mengintrupsi.

Mereka kemudian berjalan ke arah meja makan.

Arawinda mengikuti dari belakang sembari mendengarkan Papi yang mulai membicarakan bisnis.

Lihat kan? Keberadaan Arawinda tak lebih dari bayangan yang tak dianggap. Ia harus puas diam dan ikut duduk di meja yang sama lalu diabaikan.

"Arawinda."

Untuk pertama kalinya, setelah hampir lima belas menit, Rajendra akhirnya menyadari keberadaan Arawinda.

Iya, sejauh itulah hubungan antara Arawinda dan Rajendra. Mereka bahkan sanggup tak bertegur sapa saat ada di ruang yang sama.

Rajendra mengembuskan napas. Umur anaknya sudah tepat dua puluh lima sekarang. "Sesekali datanglah ke kantor dan belajar dunia bisnis dari suamimu."

Sosoknya yang selama setahun terakhir selalu terperangkap di dalam kamar yang tertutup. Sosoknya yang kesepian dan tak lagi punya semangat hidup diminta untuk mengurusi bisnis sekarang?

"Untuk apa? Papi sudah memberikan semuanya kan pada Kaivan."

Meski umur Kaivan terpaut cukup jauh dengannya, sekitar enam tahun tapi Arawinda tak sudi untuk memberikan panggilan hormat pada lelaki itu.

"Bagaimana pun kamu istrinya."

Istri?

Dibandingkan menjadi seorang istri, selama ini, Arawinda malah diperlakukan seperti tahanan yang tidak boleh keluar dari dalam rumah.

Lagi dan lagi, kehidupan dan kebebasan Arawinda terenggut setelah menikah dengan Kaivan.

Dan Papi ... mana tahu mengenai hal tersebut.

Arawinda menyimpan alat makannya di atas piring. Ia sudah tidak berselera sekarang. "Terserah Papi, biasanya juga begini kan? Semua orang menyetir arah hidup Arawinda. Semua orang merenggut kebebasan Arawinda sebagai manusia. Di mata kalian, Arawinda tak lebih dari binatang yang harus menurut dan selalu dikurung kan?"

"Arawinda!" Rajendra memanggil tegas.

Tak peduli, Arawinda pun berdiri sampai kursi yang ia duduki terjungkal. "Arawinda ... muak dengan semua ini."

Lalu, gadis itu memutuskan untuk meninggalkan meja makan dengan penuh rasa sesak. Ia membenci Papi, ia membenci semua orang, ia membenci hidupnya. Sungguh demi apapun, Arawinda ingin mati sekarang.

"Maafkan Arawinda." Kaivan mewakili.

"Dia memang sudah seperti itu sejak dulu. Tak sopan dan keras kepala. Tapi semua ada sebabnya, semua karena luka yang dia tanggung selama ini. Dan saya ... yang tahu mengenai luka-luka itu, malah terus menambah rasa sakitnya." Rajendra menyuapkan makanan ke dalam mulut dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Tapi mau bagaimana lagi? Kami berdua sama-sama memiliki luka. Kalau bisa, tolong kamu bantu sembuhkan Arawinda. Hilangkan sedih dari hidup Arawinda."

Kaivan untuk kali ini tak bisa menjawab secara tegas permintaan Rajendra.

Karena seperti yang paruh baya itu tahu bahwa, ia juga memiliki luka. Bagaimana ia bisa menyembuhkan luka orang lain di saat, lukanya sendiri masih menganga dan berdarah-darah.

Sesaat sebelum Kaivan menyuapkan makanan ke dalam mulut, tiba-tiba suara pecahan kaca kembali terdengar.

Sudah pasti, Tuan Putri di kamar sana tengah mengamuk dan memecahkan semua barang-barang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status