Share

05. Kematian

Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini.

"Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya.

"Halo Tuan Kaivan."

Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio."

Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting.

"Saya membawa kabar duka."

Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan?

"Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu."

Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima?

Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada.

Kaivan tanpa sadar mendesah dan menarik-narik rambut bagian depan.

"Tolong sampaikan pada Nyonya Arawinda dan tolong urus beliau." Gio menyampaikan. "Pemakaman akan digelar sekitar pukul tujuh pagi ini."

"Baik Tuan Gio." Kaivan menyingkirkan selimut dari atas tubuhnya dan turun dari ranjang. "Saya akan mengurus Arawinda di sini."

"Kaivan." Gio menjeda cukup lama. "Hanya kamu satu-satunya lelaki yang dipercaya oleh Tuan Rajendra."

Kaivan tahu kalau kini Gio tengah berbicara sebagai seorang teman dan sahabat dekat, bahkan Kaivan sudah menganggap lelaki itu sebagai kakak kandung sendiri. Selama ini, Gio-lah yang mengajarinya banyak hal tentang dunia kerja.

"Jadi tolong jaga Arawinda apapun yang terjadi. Dan jalankan tugas kamu, keinginan kamu. Sebelum meninggal beberapa hari lalu, kami sempat membahas itu. Perusahaan kita sedang berjaya dan ada di atas sekarang. Jadi tentang perjanjian kamu dan Tuan Rajendra, silahkan dimulai sebebas mungkin."

"Baik, terimakasih."

"Saya tutup telepon kita sekarang."

Lalu, di sisi sana, Gio benar-benar mengakhiri panggilan telepon mereka.

Kaivan lagi-lagi mendesah, seolah ada beban berat yang kini bertumpu dan bergelayut di dada. Sesaat sebelum keluar dari dalam kamar, Kaivan mengambil selembar jubah tidur untuk menutupi tubuh bagian atasnya dan kemudian bergerak untuk menemui Arawinda. Rumah saat itu sudah nampak sangat sepi sehingga langkah demi langkah Kaivan terdengar jelas.

Ketika tangan besar Kaivan menarik daun pintu dan mendorong penghalang tersebut, ia bisa menemui Arawinda yang kini terduduk di atas pembaringan. Melamun sembari memeluk lututnya.

"Arawinda," panggil Kaivan sembari mendekati gadis itu.

"Ada keperluan apa?" tanya Arawinda dengan intonasi dinginnya. Selama ini, Kaivan tak pernah sekalipun datang ke kamarnya malam-malam begini.

Mata Kaivan terpaku menatap Arawinda lamat-lamat sebelum sesaat kemudian kembali melangkahkan kaki, berdiri tepat di depan gadis itu.

"Papi meninggal dunia."

Arawinda tak bergeming, tak bersuara dan nampak terperangkap dalam hening.

Jadi untuk menyadarkan gadis itu, Kaivan pun berkata untuk yang kedua kalinya. "Papi ... baru saja meninggal dunia, Arawinda."

Tapi nihil, masih tak ada reaksi apa-apa dari Arawinda. Gadis itu tak menggerakan tubuh atau pun merespon dengan ucapan.

Kaivan mendekat dan memegang kedua sisi bahu Arawinda. "Arawinda!"

"Saya tahu, saya dengar, Kaivan." Dengan kasar Arawinda menyingkirkan tangan Kaivan dari bahunya. "Terimakasih atas informasi yang amat sangat berarti ini. Silahkan keluar dari kamar saya."

"Besok pagi, sebelum pukul enam, kamu harus sudah siap berganti pakaian. Kita pergi ke pemakaman." Kaivan berjalan meninggalkan Arawinda dalam gelapnya kamar. Ketika tubuhnya sudah mencapai tepat di depan pintu, langkah Kaivan terhenti. Lelaki itu menatap Arawinda selama beberapa detik sebelum benar-benar pergi tanpa menutup pintu.

^^^^^^^^^

Pagi dipemakaman, Arawinda memakai pakaian serba hitam di tubuhnya. Tak lupa, gadis itu juga menyelipkan kacamata hitam untuk menutupi mata.

Takut orang-orang bertanya. Mengapa putri satu-satunya, putri semata wayang yang dimiliki oleh Rajendra tidak menangis sama sekali di hari pemakaman sang ayah.

Sedari tadi, ia terus berdiri di samping Kaivan yang menjawab semua ucapan bela sungkawa yang terarah kepadanya. Arawinda terlalu malas berbasi-basi dan membahas hal-hal yang menurutnya tidak penting sama sekali.

Tidak penting ya?

Sama seperti hidupnya.

"Arawinda."

Kaivan yang bersikap lebih lembut dari biasanya memanggil Arawinda. "Pemakaman sudah selesai, kita pulang sekarang."

Seperti biasa, Kaivan tak pernah menunggu jawabannya. Dia langsung bergerak pergi sementara bagaikan ekor, Arawinda terus mengikuti dari belakang.

"Akan ada meeting besar dan panjang besok tentang perusahaan." Keduanya sudah duduk di dalam mobil yang kini melaju.

"Untuk sementara waktu, saya akan menjalankan perusahaan."

Sementara waktu itu sampai kapan?

Arawinda mencemooh di dalam hati. Ia sungguh kesal pada lelaki munafik sok baik yang kini berada di sampingnya.

Kenapa harus ragu-ragu begitu? Kalau memang benar dia ingin menguasai perusahan, silahkan saja.

"Saya akan menandatangani surat pemindahan kekuasaan. Setelah ini, saya akan pergi dan tidak akan mengusik apapun." Arawinda memutuskan.

"Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran kamu selama ini tentang saya, Arawinda?"

"Tak lebih dari seorang lelaki rendahan yang tengah melaksanakan misi licik untuk merebut sebuah perusahaan besar." Arawinda berkedip, tangannya saling bertaut, bermain-main. "Saya ... benci setengah mati pada kamu, Kaivan."

Kaivan mengembuskan napas dan membenahi posisi duduk. "Ayo kita bicarakan beberapa hal setelah memiliki waktu luang nanti."

Senyum miring penuh ejekan Arawinda terpampang. Ia tak lagi menjawab ocehan Kaivan sampai keduanya kembali ke rumah.

Tak menunggu lama, Arawinda bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Papi ... kini sudah pergi. Menyusul Mami. Meninggalkan Arawinda sendiri di dunia keji. Dunia yang membuat Arawinda lemah dan bertekuk lutut. Jadi Arawinda pikir, hidupnya juga sudah tidak berarti.

Pelan, tangan Arawinda bergerak untuk mengambil kain dari dalam lemari baju. Sebuah syal panjang yang susah payah ia gantungkan di langit-langit kamar. Erat mengait di besi penyangga lampu.

Tanpa ragu Arawinda mengikat ujung kain itu pada lehernya erat-erat.

Sebelum kaki Arawinda menendang kursi, gadis itu menutup mata, mengingat semua kenangan yang pernah ia lalui di dunia ini. Kenangan buruk yang tak akan pernah ia lupakan. Kenangan buruk yang akan terus terpatri perih di dadanya. Dan kenangan yang mendorongnya pada titik ini, titik kematian yang ia pilih.

Arawinda benar-benar menjatuhkan kursi dari kakinya. Leher gadis itu mulai tertarik oleh ujung kain. Perih, sakit dan panas. Mata Arawinda memerah dan kini berkaca-kaca. Udara mulai tidak bisa memasuki jalur pernapasannya. Sakit sekali, amat sangat sakit.

Tapi lebih sakit lagi kalau ia terus melanjutkan hidup. Ada banyak hal yang akan membunuhnya perlahan dengan cara yang tak akan pernah ia sangka-sangka jadi lebih baik ia menyerah lebih awal. Melewati semuanya pun tak akan berarti.

Arawinda ... benar-benar memilih untuk mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status