Share

04. Sisi Lain Arawinda

Arawinda menatap Kaivan yang berjalan di lantai dasar rumah mereka sembari berbincang dengan seorang wanita muda yang baru kali ini ada di pandangannya. Entah siapa sosok itu, hanya saja, nampak Kaivan sangat nyaman berada di dekatnya dan mengobrol begitu leluasa.

Tarikan napas dalam terlihat dari Arawinda. Dadanya untuk beberapa saat membusung naik sebelum Arawinda memutuskan untuk masuk ke tempat yang menurutnya aman dari jajahan Kaivan.

Sebuah ruangan di lantai tiga rumah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Ada sebuah kamar berisi banyak sekali bercak-bercak cat, kanvas yang sudah tercoret gambar-gambar dan kanvas-kanvas kosong lain yang nampak menumpuk sebagai persediaan.

Arawinda mengambil palet dan menuangkan warna-warni yang dikehendaki di atasnya. Kali ini, Arawinda akan menggunakan teknik goresan ekspresif saat melukis. Dengan begitu, ia bisa bebas mengekspresikan diri, menggunakan apapun untuk menggores indahnya perpaduan warna menggunakan jari, kuas dan benda yang amat sangat menarik di matanya.

Selama setahun terakhir, inilah yang Arawinda geluti untuk membunuh waktu.

"Permisi."

Gerak tangan Arawinda berhenti.

"Saya tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam ruangan ini."

"Terimakasih."

Sesaat kemudian, pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita berkacamata bingkai tipis. Mengenakan kemeja rapi dan celana panjang hitam. Terlihat rambutnya yang terkucir ke arah belakang sedikit berantakan.

Sosok yang tadi sempat mengobrol dengan Kaivan.

Alis mata Arawinda naik.

"Halo, Arawinda. Saya Zia."

"Saya sudah bilang sebelumnya, tak boleh seorang pun masuk ke dalam ruangan ini!"

Zia menganggukan kepala. Tapi ia tak mengindahkan perkataan Arawinda sama sekali. Dengan berani Zia menutup pintu ruangan tersebut dan mulai melihat-lihat sekeliling.

"Lukisan kamu banyak dan bagus sekali yaaa." Zia meringis setelah pujiannya melayang. Bagaimana tidak, banyak sekali kanvas dengan gambar mengerikan di sana.

Mungkin hal itu yang menggambarkan jiwa Arawinda saat ini. Sepotong wajah dan sepotong tengkorak. Mata yang nampak bercucuran cairan merah darah. Tubuh yang bagian dadanya menganga. Sebatang mawar yang menusuk tangan dan hal-hal lain yang tak bisa Zia jelaskan dengan gamblang.

"Saya akan menjadi teman kamu mulai hari ini."

"Saya tidak membutuhkan teman." Untuk apa Kaivan mengirim wanita ini? Bukannya sebentar lagi ia akan mati? Jadi karena itu Arawinda rasa, ia memang tidak membutuhkan teman.

"Saya yang membutuhkan teman." Zia mendekati Arawinda. Melihat lukisan yang ada di kanvas milik gadis yang tubuhnya kurus sekali itu. Kulitnya juga berwarna putih pucat. Sekilas, Arawinda akan nampak menakutkan. Untung saja, meski begitu, paras cantik Arawinda tidak pupus sama sekali.

Kesal, Arawinda akhirnya berdiri dengan sangat cepat, membuat cat dan barang-barang yang ada di pangkuannya terjatuh.

Tak menunggu waktu lama, Arawinda pergi meninggalkan Zia sendirian.

Melihat perlakuan itu, Zia pun menggelengkan kepala dan mengambil selembar kertas dari dalam tas-nya, mulai mengisi data-data yang ia peroleh setelah menemui Arawinda secara langsung.

^^^^^^^^^^^

"Sangat susah didekati dan tidak komunikatif sama sekali. Di mata saya ... dia malah seperti mayat hidup. Tolong awasi Arawinda dengan baik, takutnya dia mengambil tindakan nekat yang mengancam nyawa."

Kaivan menganggukan kepala. Kini ia dan Zia duduk berhadapan di ruang meeting rumah.

"Apa dia sulit tidur? Tidak berselera makan?"

"Selama ini, Arawinda memang makan sedikit. Bobot tubuhnya setahun terakhir berkurang sebanyak 20 kilo."

"Jadi sekarang beratnya berapa?"

"Tiga puluh lima kilo dan mungkin bisa sudah turun."

Pantas saja. "Saya tadi sempat memperhatikan tangannya. Kecil, rapuh dan kurus sekali. Saya akan meresepkan suplemen nafsu makan. Lalu pola tidurnya?"

"Dia kadang berkeluyuran malam ke lantai tiga. Atau duduk sendirian di rumah kaca. Kemungkinan besarnya, gadis itu mengalami insomnia."

"Baik kalau begitu. Saya sempat mendengar sebelumnya kalau dia phobia pada ruang kecil dan gelap. Phobia itu mempunyai pemicu. Apa Pak Kaivan tahu pemicu phobia pada nyonya Arawinda apa?"

Kaivan menatap bibir gelasnya lamat-lamat. Sebelum menggelengkan kepala. "Maaf tapi, saya tidak mengetahui hal ini. Arawinda tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya kepada saya. Dan kami tidak mempunyai hubungan yang cukup dekat untuk membicarakan hal-hal seperti itu. Tentang masalalu yang pernah masing-masing dari kami alami dan lewati. Tapi saya akan mencoba mencari tahunya melalui Pak Rajendra nanti."

"Baik, saya akan kembali besok ke sini. Tak perlu pendampingan Pak Kaivan lagi. Oh iya, sesekali, saya akan bergantian dengan teman saya untuk mengunjungi Arawinda. Saya harap metode tersebut bisa membuat Arawinda lebih nyaman untuk kembali menjalin hubungan sosial dengan orang-orang di dunia luar."

"Terimakasih, dokter Zia."

"Sudah tugas saya." Zia berdiri. "Saya akan pamit sekarang."

"Silahkan." Kaivan berdiri dan mengantar kepergian wanita itu dari rumahnya yang besar dan megah.

Namun semegah-megahnya rumah yang ia miliki saat ini, rasanya ... entah kenapa, semua hampa, semua kosong dan tidak menyenangkan sama sekali. Kadang Kaivan ingin meninggalkan semua yang sudah ada di dalam gengam tangannya kalau tak ingat tujuan besar yang selalu ia bicarakan pada Rajendra. Tujuan besar untuk mengubah hidupnya. Tujuan besar ini membawa Niko pada satu titik dimana ia harus menikahi putri presdir perusahaannya sendiri, Arawinda.

Setelah cukup lama memandangi kepergian mobil Zia, Kaivan pun membalikan tubuh untuk masuk ke dalam rumah. Di balkon lantai dua, ia menemui Arawinda yang berdiri dan menatapnya dengan sangat tajam.

Pasti gadis itu bertanya-tanya tentang sebenarnya siapakah sosok Zia yang ia kirim barusan kan?

^^^^^^^

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Kaivan saat menemui kepala pelayan.

"Nyonya Arawinda langsung tertidur."

Tidur?

Atau hanya pura-pura saja?

"Saya akan ke kamar atas untuk melihat secara langsung keadaan Arawinda."

"Tidak perlu. Bukannya saya lancang tapi, biarkan Nyonya beristirahat sebentar."

Kaivan membeku di tempat selama beberapa saat. "Bisa saya menanyakan beberapa hal tentang Arawinda?"

Setahunya, kepala pelayan sudah bekerja di kediaman Maheswara sejak Arawinda masih kecil.

"Silahkan."

"Saya ... ingin mengetahui sedikit masa kecil Arawinda. Bagaimana sosoknya dan apakah dia memang sudah seperti ini sejak dulu?"

Untuk pertama kalinya semenjak satu tahun menikahi Arawinda, Kaivan menanyakan hal-hal ini. "Nyonya Arawinda, saat ibunya masih ada, mempunyai kepribadian yang sangat cerah, ceria dan menyenangkan. Semua orang menyukai sosoknya yang hangat. Sosoknya yang banyak bicara dan sering tertawa lucu."

"Sebenarnya, apa yang membuat ibunya Arawinda meninggal dunia? Dan apa yang membuat Arawinda menjadi sosok yang begitu dingin dan pemarah seperti sekarang?"

Kepala pelayan itu mengembuskan napas. "Ada baiknya, Tuan Kaivan sendiri mendengar semua cerita tersebut dari Nyonya Arawinda. Soal kejadian masalalu itu, siapapun tak ada yang benar-benar mengetahui. Kecuali Nyonya Arawinda sendiri yang sampai sekarang, belum terbuka dan mau bercerita kepada siapa-siapa."

Meski merasa amat sangat langcang kerena telah mengungkapkan hal demikian tapi, Kepala Pelayan tetap mengutarakan.

"Sebenarnya, sampai saat ini, ada sisi yang belum Tuan Kaivan lihat dari Nyonya Arawinda. Sisi manis, manja dan bergantungnya. Sisi ... yang kalau Tuan Kaivan tahu, maka pandangan Anda terhadap Nyonya Arawinda akan berubah total jadi, saya harap kalian bisa akur dan baik pada satu sama lain."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status