Share

03. Siap Mati

Saat menjelajahi taman kaca di area belakang rumahnya yang sangat luas, Kaivan menemui Arawinda yang tengah duduk memeluk lutut. Mata cokelat tua gadis itu telaten menatap kupu-kupu yang hinggap di salah satu mawar merah darah yang merekah indah.

Mawar adalah bunga kesukaan Arawinda. Saat musimnya, rumah kaca dan halaman di depan akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna-warni dan cerah. Hari ke hari kelopaknya berjatuhan dan Arawinda, nampak menyukai hal tersebut.

Kaivan berjalan lebih dekat, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku celana.

Hari masih terlalu pagi untuk berada di rumah kaca. "Bagaimana?"

Mata dengan tatap lembut Arawinda berubah membara panas kala mendengar suara Kaivan.

"Apa yang kamu inginkan Arawinda?"

Gadis inikah yang harus ia sembuhkan? Gadis lemah, cengeng dan egois? Gadis yang sudah tak memiliki gairah hidup. Sejak dulu. Hanya lebih terlihat dan nampak padam kala dia ada dalam kungkungan hubungan pernikahan bersama Kaivan.

Arawinda diam membisu.

"Saya akan menuruti apapun. Tapi tidak dengan keluar dan minum-minum." Tubuh Arawinda bisa semakin rusak jika terus digunakan untuk minum-minum.

"Tak ada yang lebih saya inginkan dari dua hal tersebut. Jadi kalau tidak bisa, tidak perlu."

Menemui tangan Arawinda yang nampak terperban, Kaivan pun bertanya, "Tidak bisakah kamu mengelola emosi?"

"Untuk apa?"

"Untuk kebaikan kamu sendiri." Meski sebenarnya akan sangat merepotkan, tapi Kaivan akan tetap menyampaikan keputusannya. "Mulai minggu depan, di hari Senin, bersiaplah, kamu akan mendampingi saya menyiapkan pesta untuk para kolega."

Arawinda membeku. Kaivan ... bukannya ingin merebut Maheswara Hotel setelah Papi meninggal nanti dan akan membuangnya? Dan akan menghancurkannya? Jadi untuk apa laki-laki itu repot membawa ia untuk mengunjungi hotel?

"Saya tidak akan dan tidak ingin mendengar penolakan. Kamu harus pergi, Senin depan."

"Kurunglah saya sesukamu, Kaivan." Dingin suara Arawinda keluar. "Saya hidup untuk mati. Dan saya ada di sini untuk itu. Sejak semalam, saya sudah berpikir panjang, panjang dan jauh sekali, bahwa saya ... sudah siap mati ditanganmu."

Untuk itu, Arawinda tak lagi memimpikan tentang kehidupan indah dan bahagia serta penuh tawa. Ia sudah terlalu muak dengan semua hal yang terjadi selama ini. Arawinda sudah lelah dengan harapan dan segala kesedihan yang memeluk batinnya. Jadi, lebih baik ia pasrah dan menunggu mati di tangan Kaivan.

Punggung kecil dan rapuh itu Kaivan tatap tajam. "Maka tunggulah hari kematian itu."

Toh Arawinda sudah mendengar semuanya. Percakapan Kaivan dengan seseorang. Bahwa lelaki itu ... akan menyingkirkan semua orang setelah bisnis hotel benar-benar ada di tangannya. Termasuk Arawinda sendiri kan? "Saya menunggu dengan sangat tenang di sini Kaivan Yudhistira."

Untuk sesaat hening memeluk mereka. Baik Kaivan maupun Arawinda tak lagi mengeluarkan suara. Mereka berdua sama-sama terdiam seribu bahasa.

Sebelum sesaat kemudian, derap langkah terdengar menjauh tepat di telinga Arawinda. Kaivan sekarang sudah pergi. Dan ia kembali sendiri.

Ya, sendiri.

Seperti satu tahun terakhir. Ia terus begini. Tak mempunyai teman, tak mempunyai akses untuk bersosialisasi. Ia ... di jaman yang maju dan modern ini bahkan sudah tidak memiliki ponsel. Jadi kesendirian itu, sudah menjadi tempat nyaman bagi Arawinda.

Kembali, Arawinda memeluk lututnya. Gadis itu mendesah menghilangkan pekat di dada setelah membicarakan hal-hal berat bersama Kaivan barusan.

^^^^^^^^^

Rajendra menatap halaman rumahnya dari kursi roda. Di samping, pada meja kayu bundar putih, ada teh herbal yang masih menerbangkan asap tipis.

Mata paruh baya tersebut nampak semakin sayu.

Hari tua yang menyedihkan.

Tak ada yang bisa ia ajak berbicara.

Dan sejujurnya saja, jika sudah begini, Rajendra merasakan sesal yang amat sangat dalam.

Seharusnya dulu, ia bisa sedikit meluangkan waktu untuk bisa menikmati hidupnya. Sekedar berbincang santai dengan Arawinda kecil, bermain dengan sang anak sesekali juga mengobrolkan hal-hal ringan penuh candaan dengan sang istri.

Sekarang semuanya sudah berlarut dalam pedih.

Hidupnya, hidup istrinya dan hidup anaknya sama-sama hancur karena kesuksesan yang Rajendra kejar. Karena kejayaan yang ingin ia gapai.

"Saya ingin menyerahkan laporan perusahaan kepada Anda."

Rajendra menganggukkan kepala, menerima sebuah dokumen di tangannya.

"Maheswara group sekarang sedang ada di puncak tertingginya untuk pertama kali, pendapatan perkapita perusahaan juga sangat baik. Investor mulai berdatangan dan menginvestasikan uang secara besar-besaran. Sekarang Kaivan tengah melebarkan Maheswara Group untuk membangun sebuah perumahan kawasan elit di daerah tanah strategis yang tengah diperebutkan oleh banyak perusahaan lain juga. Tapi sepertinya, tanah itu akan berada di tangan Kaivan sesegera mungkin."

"Saya tahu kemampuan anak itu." Rajendra membaca dengan seksama kertas yang kini masih dipegangnya. "Kaivan ... sudah saatnya menjalankan misi yang seharusnya. Perjanjian kami berdua, mungkin sudah mulai bisa berjalan dari sekarang."

"Baik, Kaivan memang sudah memulai langkah pertamanya."

"Dan Arawinda, bagaimana dia?"

"Masih seperti itu. Hanya saja, seperti yang Anda lihat kemarin, Nyonya Arawinda menjadi lebih tempramental. Apa menurut Bapak keputusan Kaivan untuk mengurungnya seperti itu sudah tepat?"

"Saya ... tidak tahu." Karena Rajendra bukan seorang ayah yang baik. Tidak pernah pula mengurus Arawinda. Yang ia tahu, selama ini, ia memberikan Arawinda semuanya. Tentang materi. Berapapun yang Arawinda pinta, barang apapun yang Arawinda inginkan, semuanya akan ada untuk menutupi kebawelan anak itu. "Kami tidak pernah dekat satu sama lain. Dan seumur hidupnya, Arawinda belum pernah saya urus."

Ada jeda hening selama beberapa saat.

"Tapi saya sudah meminta Kaivan untuk bergerak. Agar Arawinda bisa mulai belajar menjadi pengusaha. Sudah setahun lebih mereka menikah. Memang masih banyak hal yang membuat Kaivan kewalahan dalam mengurusi Arawinda tapi saya juga tak bisa menunggu lebih lama."

"Kenapa?"

"Karena bisa jadi umur saya habis di waktu-waktu dekat ini."

Sekertaris Rajendra hanya terdiam seribu bahasa. Topik ini adalah hal yang paling dan sangat ia hindari.

"Dan tolong awasi, orang-orang yang mendekati Arawinda. Siapapun itu, kita tidak tahu musuh menyelundup di sisi mana. Saya tidak mau Arawinda terluka lagi seperti dulu. Bukan hanya bagi saya, kejadian itu ... juga pasti sangat mengguncang kesehatan mental Arawinda."

"Betul sekali, mental Nyonya masih hancur saat ini, Nyonya Arawinda takut tempat gelap, sempit dan pengap. Kelemahan yang selalu menghantui beliau."

Rajendra sudah menduganya. Kenangan buruk di masalalu benar-benar membuat Rajendra sebagai seorang ayah saja sangat terluka.

Sebagai seorang pengusaha, ada banyak orang yang tidak menyukai dan memusuhinya di luar sana. Jadi, mereka mencoba menyerang berbagai sisi, mencari apa kelemahan yang Rajendra miliki.

"Hubungan Kaivan dan Arawinda selama ini, tidak pernahkah mereka mempunyai sisi romantis atau apapun itu?"

Gio menggelengkan kepala. "Selama pengamatan saya, dari satu tahun terakhir, tak pernah menemui satu kalipun mereka berinteraksi dengan hangat dan baik. Selalu ada emosi dan perpecahan di antara keduanya."

"Saya harap, mereka bisa menjadi lebih dekat. Dan saya harap, Kaivan mau benar-benar menerima Arawinda di dalam kehidupan yang akan ia jalani kelak. Karena di dunia ini, dia adalah satu-satunya lelaki yang saya percayai untuk menjadi pendamping Arawinda."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status