Kimberly naik ke lantai tiga, tepatnya ruang kerja Alan berada. Seperti biasa, semenjak memutuskan untuk ikut sang paman ke mansion megahnya beberapa minggu lalu, Kim setiap pagi tak pernah absen mengantarkan secangkir kopi dan camilan ke ruang kerja pria blasteran Indo-Jepang itu. Ritual yang tak pernah dilewatkan Alan semenjak ia tinggal di Jepang.
Langkah gadis berusia 20 tahun itu beriringan dengan senyum cerah di bibirnya. Kimberly kembali menemukan senyumnya setelah bertemu lagi dengan sang paman, lelaki yang selama beberapa tahun ini, atau mungkin selama dirinya mengenal arti cinta, selalu ia rindukan."Om Alan, aku bawa--prank.....Sebuah nampan bersama secangkir kopi dan camilan yang berada di atas piring cristal jatuh ke lantai. Suaranya mengagetkan dua insan yang tengah bercumbu di atas meja kerja Alan. Kanaya, perempuan yang dikenal sebagai tunangan Alan tengah berada di atas paha pria itu. Ciuman intens yang tadi berlangsung diantara mereka mampu membuat Kimberly termangu setelah menjatuhkan nampan yang ia bawa. Gadis itu bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Jika Alan sadar, tangan sang keponakan sudah bergetar hebat namun Kimberly langsung menyembunyikannya di belakang punggung."Ma-- maaf-- aku-- aku--"Apa Kakakku tak pernah mengajarkan sopan santun padamu, Kim! Tak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dulu saat masuk ke ruang kerjaku?!"Omelan Alan terasa kembali mencabik hati gadis itu. Airmata jatuh seketika, namun segera diseka agar raut memalukan tak terlalu kentara di wajahnya."Maaf, Om! Aku kira-- tak ada mba Kanaya disini," sahut gadis itu yang hanya bisa tertunduk.Ia ingin berlari, tapi bodohnya kaki itu terasa berat. Seketika ia merasa jika kedua kakinya tak lagi bertenaga, hingga untuk sekedar berdiri saja Kimberly harus mengerahkan seluruh usahanya agar tak jatuh."Ada atau tak ada Kanaya disini kau seharusnya mengetuk pintu lebih dulu, Kim. Pergilah!"Alan menghentikan omelannya saat melihat gadis itu kembali menyeka airmatanya. Ia tahu, kata-kata kasarnya pasti sudah menyakiti sang keponakan, namun entah sadar atau tidak, perbuatannya lah yang lebih menyakiti dan mencabik-cabik perasaan gadis itu.Kimberly berjongkok memunguti pecahan gelas dan piring crystal yang ia jatuhkan, namun suara Alan kembali menyadarkannya jika ia harus cepat-cepat pergi dari sana."Biarkan pecahan itu disana, kau pergi saja dari sini. Dan pastikan untuk mengetuk pintu lebih dulu ketika masuk ke kamar atau ruang kerjaku, Kimberly!" tegas Alan tanpa melihat wajah keponakannya."Iya. Aku akan mengingatnya, Om."Suara itu tercekat, namun masih terdengar jelas di telinga Alan dan Kanaya.Kimberly keluar dan menutup pintu ruang kerja pamannya. Namun entah kebodohannya yang bertubi-tubi atau masih ingin memastikan sesuatu, gadis itu tak menutup rapat pintu kerja ruangan Alan. Ia mengintip di sela pintu yang terbuka, menunggu adegan apa yang akan dilakukan sang paman bersama tunangannya setelah ia pergi."Alan, jangan terlalu keras pada, Kim. Kau lihat dia begitu terpukul saat kau bicara keras padanya tadi."Kanaya mulai menasehati lelakinya. Ia yang hanya bisa diam seribu bahasa karena malu tertangkap basah tengah bercumbu, kini membela Kimberly. Wanita itu memang sangat baik terhadap keponakan sang tunangan, meski Kimberly selalu berwajah dingin padanya."Kau jangan terlalu memanjakan gadis itu, Nay. Dia terlalu dimanja oleh kakakku dulu. Kimberly harus mengerti posisinya sekarang. Ia bukan lagi anak perempuan yang bisa melakukan semua sesuai kehendak hatinya. Ia juga harus diajarkan bagaimana menjadi dewasa."Alan tak mau berlama-lama membahas keponakannya dengan Kanaya. Pria itu kembali mendudukkan sang tunangan di atas pahanya. Mencumbu leher jenjang milik perempuan yang sejak dua tahun lalu berstatus sebagai tunangan pria itu.Saat Alan masih mencumbu tunangannya hingga terdengar suara lenguhan dari mulut Kanaya, mata pria itu menyelidik ke arah pintu yang ia sadari tak tertutup sempurna. Satu senyum smirk tersungging di bibirnya saat melihat sosok gadis yang masih mengintai di balik pintu ruang kerjanya.*"Satu pelayan naik ke ruang kerjaku dan bersihkan pecahan gelas disini!"Suara datar menggema di telepon yang menghubungkan sang tuan dengan beberapa pelayan yang ada di mansion itu. Telepon di ruang kerja Alan memang berfungsi untuk memanggil atau menitahkan sebuah perintah pada pelayan-pelayannya. Tak lama berselang seorang pelayan setengah tua mengetuk pintu dan meminta ijin untuk membersihkan kegaduhan yang dibuat oleh Kimberly."Tuan Alan, apa tangan Anda terluka?"Bibi Jeni, sang pelayan takut jika tetesan darah yang ada di lantai adalah darah dari majikannya."Tidak. Mengapa kau bertanya begitu, Bi?""Ini, ada beberapa tetesan darah di dekat pecahan gelasnya. Syukurlah kalau ini bukan darah tuan Alan," sahut wanita tua itu.Alan yang tadi sibuk dengan ipad di tangannya termangu seketika.(”Darah? Apa Kimberly terluka?”)"Dimana Kimberly, Bi?"Rasa khawatir langsung menyeruak ke dalam tubuh pria itu saat mendengar ada tetesan darah pada pecahan gelas yang berserakan di lantai."Nona Kimberly sepertinya ada di kamarnya, Tuan. Tadi saya lihat setelah turun dari sini langsung masuk ke kamarnya," jawab Bibi Jeni.Tanpa menunggu lama Alan langsung turun ke bawah menuju kamar keponakannya di lantai dua. Pria itu semakin khawatir saat melihat beberapa tetes darah lagi yang tercecer di tangga dan sepanjang lorong menuju kamar Kimberly."Kim!" teriak Alan yang langsung merangsek masuk ke dalam kamar gadis itu.Kimberly menoleh saat mendengar teriakan pamannya. Satu tangannya tengah membalut tangan lain yang terluka karena pecahan gelas."Hhh.. kenapa tak bilang kalau tanganmu terluka, Kim!"Lagi, Alan kembali mengomel. Namun omelannya kali ini karena rasa cemas saat melihat luka di tangan keponakannya."Ini hanya luka kecil, Om.. (luka yang lebih besar telah lebih dulu kau torehkan di hatiku).""Tapi tetap saja ini akan terasa menyakitkan, Kim."Alan mengambil alih membalut luka Kimberly. Satu tube obat untuk menghentikan pendarahan ia ambil dari kotak P3K yang berada di atas ranjang gadis itu."Sakit?" tanyanya.Kim menggelengkan kepalanya."Kalau sakit jangan ditahan, kau boleh berteriak, Kim," goda pria itu yang tersenyum tipis."Seandainya aku bisa berteriak.."Senyatanya Kimberly masih berwajah datar. Ia justeru menanggapi gurauan sang paman dengan kalimat ambigu yang membuat Alan terdiam meski hanya beberapa detik.Pria itu tahu apa yang dimaksud keponakannya, namun Alan tetap berusaha acuh dan tak ingin terbawa perasaan yang bisa membuatnya lemah.(”Terus saja seperti itu, Kim. Sampai kau bisa melupakan cintamu padaku. Aku akan tetap menjadi pria brengsek dan tak punya hati di hadapanmu?”)*Beberapa hari berlalu sejak peristiwa menyakitkan itu. Hubungan antara Alan dan Kimberly tak lagi sedekat pertama kali mereka bertemu. Kim menjaga jarak dengan pria itu, dan Alan justeru merasa lega dengan sikap keponakannya. Meski kadang ada rasa tak tega dan ingin memeluk gadis yatim piatu itu, namun tekad Alan untuk tetap menjaga janji yang ia ikrarkan beberapa tahun yang lalu pada mendiang kakak sepupunya membuat pria itu menepis jauh-jauh rasa iba di hatinya.TokTokTok"Masuklah!""Om," sapa Kimberly saat masuk ke ruang kerja pamannya."Hem?""Aku-- aku mau pamit."Kalimat itu langsung membuat Alan menoleh padanya."Pamit?""Iya. Aku mau kembali tinggal bersama Naina, sahabatku. Aku juga akan kembali bekerja di Town Cafe."Alan terdiam sejenak, menyandarkan punggungnya di atas kursi kebesaran pria itu."Mengapa tiba-tiba kau ingin kembali bekerja, Kim?" tanyanya menyelidik."Aku bosan disini. Aku ingin melakukan kegiatan daripada hanya berdiam diri saja," cetus gadis itu."Oke. Kau kuliah saja. Gadis seusiamu memang harusnya masih berada di bangku kuliah, Kim.""Tidak! Aku ingin bekerja. Aku ingin menjadi gadis dewasa dengan caraku sendiri.""Aku tak menerima penolakan, Kim--"Dan aku tak berkewajiban mengikuti perintahmu, Om!" tegas Kimberly yang membuat Alan terdiam."Kau sendiri, kan, yang bilang? Di usiaku seperti ini aku harus sudah belajar dewasa. Dan aku ingin menjadi dewasa dengan caraku sendiri.""Kimberly aku tak sedang main-main." Suara Alan terdengar dingin."Tidak ada yang sedang bermain-main disini kecuali kau, Om Alan!"Alan terkejut dengan nada suara tinggi yang dicetuskan keponakannya. Baru kali ini gadis itu bersuara kerasa padanya. Jika Alan marah pun Kimberly biasanya hanya bisa menangis, tanpa menjawab."Jangan membuatku marah, Kim. Cepat kembali ke kamarmu, besok kita akan datang ke universitas terbaik di kota ini. Kau akan kudaftarkan disana.""BERHENTILAH BERSIKAP SEAKAN-AKAN KAU ADALAH PENGGANTI ORANG TUAKU, OM!""KIMBERLY!"Kimberly tak lagi bisa menahan amarahnya. Ia benci saat Alan bersikap seperti orang tuanya. Gadis itu hanya ingin cintanya dibalas dengan cinta yang sederhana, seperti cinta laki-laki pada perempuan, bukan cinta seorang paman terhadap keponakannya.Suara Alan tak kalah menggelegar. Saat mendengar gadis itu berteriak lantang emosi Alan pun ikut tersulut.”Ternyata mencintaimu itu menyakitkan. Aku menyerah, Om! Aku akan berhenti merasakan cinta yang sejatinya hanya menambah lukaku semakin lebar.”Airmata itu jatuh satu per satu. Diseka pun percuma, ia kembali mengalir dan justeru semakin deras.Dada Alan terasa terhimpit mendengar ungkapan perasaan Kimberly yang ia pun tak tahu, apa yang ia rasakan terhadap gadis itu. Ada rasa tak rela jika cinta yang telah ia ketahui lama bersemi di hati sang keponakan, harus dipatahkan dengan paksa, meskipun itu semua akibat ulahnya."Berhentilah! Berhentilah mencintaiku meski dengan cara terjun ke jurang, Kim!"***"Berhentilah! Berhentilah mencintaiku meski dengan cara terjun ke jurang, Kim!"Ungkapan itu sekonyong-konyong keluar dari mulut Alan. Hati dan mulutnya yang tak sinkron membuat suasana menjadi panas padahal ruangan itu dilengkapi dengan pendingin ruangan.Kim kembali merasakan sakit yang tak berdarah. Rasa sakit itu seakan menguliti tubuhnya, mencabik seluruh harapan yang senyatanya masih tersimpan di hati gadis itu."Y-- ya. Aku pasti akan berhenti. Aku pastikan aku akan berhenti mencintaimu.. Keinichiro Alan."Kalimat terakhir yang diucapkan Kimberly sebelum berbalik arah meninggalkan sang paman yang masih terpaku di atas kursi kebesarannya membuat Alan mematung. Ingin menarik kata-katanya, namun lidahnya terasa kelu. Janji yang pernah terucap tak serta merta bisa ia ingkari begitu saja."Hhh.. kenapa kau harus mencintaiku, Kim? Kita bisa hidup bersama seandainya saja.... aaaaaakh......"Alan pun tak bisa menyembunyikan kegalauannya. Meski tak mau mengakui apa yang kini ia rasakan
"Awasi dan jaga keponakanku. Aku tak mau terjadi sesuatu seperti bulan lalu. Jika ada yang berusaha menyakitinya, kau boleh bertindak, Mike."Alan memberi titah pada seorang anak buahnya untuk menjaga Kimberly."Baik, Tuan. Apa.. Anda mengijinkan nona Kim untuk kembali bekerja di Cafe itu?" tanya Mike, pria bertubuh tinggi besar dengan bulu menghiasi sebagian rahangnya."Aku tak bisa melarangnya. Kimberly adalah gadis keras kepala. Orang tuanya saja tak bisa membuatnya jadi gadis penurut," sahut Alan seraya membuang napas panjang."Tapi Anda bisa membuatnya menjadi gadis yang penurut, Tuan. Setidaknya mengikuti semua kata-kata Anda."Ucapan dan senyum tipis Mike membuat Alan mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud perkataan anak buahnya itu."Apa maksudmu? Aaah.. sudahlah! Ikuti saja perintahku Mike. Aku tak mau mendengar Kim terluka. Kau tahu itu, kan?"Mike kembali menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Meski baru satu tahun bekerja pada Alan, namun pria itu cukup memahami t
"Kimberly, ada yang mencarimu!" seru seorang waitress dengan suara sedikit lantang."Ya Tuhan.. kenapa hari ini aku disibukkan dengan orang-orang yang membuatku pusing. Siapa lagi yang mencariku?!""Apa kau kenal dengan orang yang mencariku, Jen?" tanya Kimberly pada gadis yang tadi berseru padanya."Mana aku tahu! Lagi pula kau tinggal lihat sendiri di depan. Pemuda itu tak mau dilayani selain denganmu, Kim. Hh.. jangan buat keributan lagi disini, Kimberly! Kau membuat kami sibuk beberapa minggu karena keributan bulan lalu."Jeni menampakkan wajah tak sukanya. Ia merasa kesal karena setelah keributan bulan lalu Cafe menjadi ramai pengunjung, akibatnya semua karyawan diminta lembur dan tak mendapat jatah libur.Kimberly keluar dari ruang khusus karyawan dan melangkah ke depan. Sekeras apapun ia memikirkan kiranya siapa orang yang ingin bertemu dengannya, namun tak ada nama selain Alan di otaknya."Tak mungkin dia, kan?" gumamnya seraya melangkah."Hai, My Princess."Lambaian tangan se
TIGA TAHUN YANG LALU.."Hai, Kim.."Seperti biasa, Genta menyapa Kimberly dengan senyum seorang player. Pemuda bermata sipit itu selalu bersikap sok ganteng. Ya.. memang benar, sih. Genta memang termasuk dalam kategori remaja tampan dan idola di sekolah bertaraf internasional itu, meski ketenarannya masih kalah jauh dari Borne."Hem.."Kimberly membalas sapaan pemuda genit itu dengan wajah acuh. Kim orang yang tak suka berbasa basi, apalagi dengan anggota genk Playboy macam Genta dan kawan-kawannya."Dih, galak banget jawabnya. Jangan galak-galak, Kim, nanti hilang cantiknya.""Iiiiish.. gombalanmu sangat norak!" Kim mencebikkan bibirnya seraya menatap malas pemuda itu. Tanpa mau menjawab ocehan Genta, ia gegas meninggalkan ruang kantin. Gadis itu tak tertarik untuk meladeni ocehan Genta."Kim, mau kemana?""Balik ke kelas!""Dih, makananmu belum habis, Kim!""Biarin! Buat kucing ibu kantin!" jawab Kim sekenanya."Kim, tunggu!"Ia tak peduli dengan seruan Rea yang memanggil namanya. L
"BRENGSEK!"Umpatan kasar tercetus begitu saja dari mulut Borne setelah dirinya berhasil menghindari sebuah kecelakaan. Pemuda itu langsung menoleh pada gadis di sampingnya, "Kim, kau tak papa?" tanyanya cemas.Kimberly hanya menggeleng kaku. Nampak sekali sebuah keterkejutan dan ketakutan di wajahnya, namun Kim berusaha untuk tenang dan tak membuat Borne panik.Borne membuka pintu mobilnya dengan kasar. Baru saja ia mau melangkah untuk melabrak pengemudi ceroboh yang hampir membuat mereka celaka, seorang pria sudah lebih dulu menghampiri mobilnya dan berjalan mendekati pintu sebelah tempat Kimberly berada."Kim, keluar!"Alan membuka kasar pintu mobil sebelah kanan dan meminta keponakannya untuk keluar dari sana."Om?""Cepat keluar Kimberly!"Kimberly tahu, itu bukan sebuah permintaan, tapi lebih pada perintah yang mendominasi. Wajah Alan yang dingin mampu membuat gadis itu tak mampu mengucapkan sebuah penolakan."Hei, Brengsek! Siapa kau?!"Suara Borne terdengar menggema. Di depan
DUA TAHUN YANG LALU..Seorang pria matang dengan garis wajah tegas mengepalkan tangannya di atas meja. Ia baru menerima berita tentang kematian kakak sepupu sekaligus kakak iparnya. Raut sedih dan menyesal tampak jelas di wajah pria itu. Apalagi kematian dua orang yang dianggap berjasa atas kesuksesannya sekarang begitu tragis. Kakak iparnya harus meninggal di meja operasi karena serangan jantung. Begitupun dengan kakak sepupunya, Merli Sita, wanita itu juga meninggal dengan cara mengenaskan. Merli ditemukan bunuh diri di Rumah Sakit Jiwa. Tubuhnya tergantung di kamar mandi karena tak kuat menerima kejatuhan dan kepergian suaminya."Cari keponakanku berada. Telusuri semua wilayah yang sekiranya didatangi Kimberly. Aku tak mau sesuatu terjadi padanya. Dua hari! Kau ku beri waktu dua hari untuk menemukannya."Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu membuat sang asisten menelan paksa salivanya. Bagaimana mungkin dalam dua hari ia bisa menemukan seseorang yang bahkan tak pernah i
Bi..""Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan."Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu."Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni."Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu."He em. Kau benar, Bi. Om Alan hany
TIGA TAHUN YANG LALU"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya. 'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongny