Share

Chapter 8 - Pemuda Bodoh

Bi.."

"Ya?"

"Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"

Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan.

"Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.

Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu.

"Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni.

"Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."

Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu.

"He em. Kau benar, Bi. Om Alan hanya memiliki aku di dunia ini."

'Jadi aku tak boleh meninggalkannya.'

Kening bi Jeni sedikit mengerut setelah menangkap raut aneh di wajah Kimberly. Namun perempuan tua itu mengindahkannya dan permisi keluar dari kamar.

*

Pagi hari Alan dan Kimberly sudah duduk di kursi makan. Keduanya tak berinteraksi sama skali hingga suasana tampak dingin.

"Ehm.." Bi Jeni mencoba mencairkan suasana kaku tersebut.

"Saya buat sup miso kesukaan tuan. Makanlah selagi masih hangat."

Bi Jeni menuangkan sup ke dalam mangkok. Sup miso adalah sup yang biasa menjadi menu sarapan masyarakat Jepang. Sup yang berbahan dasar rebusan ikan cakalang, sarden, dan jamur, serta tambahan sayuran dan produk laut itu dilengkapi dengan miso, bumbu khas Jepang yang berasal dari fermentasi kedelai.

"Trimakasih, Bi."

Meski terkenal kaku dan tak banyak bicara, namun Alan sangat menjaga kesopanannya terhadap orang yang lebih tua.

"Nona Kim, apa Anda juga mau mencoba sup miso?" Bi Jeni beralih pada Kimberly.

Kimberly menggeleng," aku tidak suka baunya yang amis," cetusnya.

"Kau harus makan ini, agar otakmu tak terlalu bodoh dengan menerima siapa saja yang datang menawarkan bantuan."

"Iiish..."

Ucapan pedas Alan membuat Kimberly mencebik kesal. Pria itu tengah menyindirnya karena dengan mudah menerima ajakan Borne yang ingin mengantarnya pulang.

"Nona bisa makan menu yang lain. Mungkin selera nona Kim tidak sama dengan tuan." Bi Jeni menengahi.

"Ya.. aku kan masih muda. Jadi tak membutuhkan makanan untuk menguatkan tulang," sindir gadis itu membalas ucapan Alan.

Kini berbalik, Alan yang merasa tersindir. Tatapan tajma ditujukan pada Kimberly yang dengan santai menyuap sebuah sandwich di piringnya. Senyum mengejek ia layangkan pada pria yang masih menatapnya dengan dingin.

"Kau pagi ini mau kemana?"

"Ke Cafe," sahut Kimberly pendek.

"Tak perlu kembali kesana. Kau harus kuliah, Kim!"

"Tak mau. Otakku lemah, aku sudah malas berpikir tentang pelajaran. Aku mau bekerja saja."

Kimberly menolak perintah sang paman dengan kalimat santai.

"Hhh.. tapi kau harus--

"Aku sudah dewasa, Om. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula Borne itu teman sekolahku dulu. Dia pemuda yang baik. Jadi kau tak perlu khawatir dengannya."

"Orang itu mudah berubah, Kim. Dulu mungkin ia terlihat baik. Tapi lambat laun seseorang bisa berubah karena keadaan." Alan memperingatkan.

"Hm? Bukankah om bilang tak ada orang yang berubah di dunia ini? Jika kita baru melihat sisi lain darinya, itu berarti kita belum mengenal dia dengan baik. Karena apa yang ia perlihatkan hari ini adalah sisi dari dirinya yang sebenarnya. Baru kemarin kau bilang seperti itu padaku. Hhh.. kau sudah harus istirahat lebih banyak, Om, sepertinya usiamu yang semakin tua membuat kau jadi pelupa."

Wajah Alan seketika mengeras mendengar ocehan Kimberly. Bukan hanya Alan, bi Jeni pun wajahnya turut memucat. Selama ini tak ada yang berani menghina tuannya, bahkan Kanaya sekalipun. Namun gadis polos itu masih dengan santai dan tanpa dosa menyuap habis sandwich di piringnya.

"Aku sudah selesai. Aku harus berangkat bekerja. Oh, ya.. nanti aku akan pulang ke rumah sewaku, Om. Dan tenang saja.. aku tak akan sembarangan menumpang pada pria lain."

Sebelum Alan protes, Kimberly sudah menyela lebih dulu.

Kimberly melangkah keluar dan sebelumnya mengulas senyum serta melambaikan tangannya pada bibi Jeni. Gadis itu melangkah dengan ceria, meski detak jantungnya berpacu dengan cepat. Baru kali ini ia berani mendominasi sang paman. Namun tampaknya Alan sedang tak ingin berdebat dengan Kimberly. Pria itu meloloskan keponakannya begitu saja.

"Tuan, apa nona tak perlu diantar?" tanya bi Jeni sedikit khawatir.

"Biarkan dia pergi sendiri. Gadis nakal itu semakin dilarang akan semakin melawan."

Alan masih menyuap sup miso di mangkoknya seraya sesekali memainkan ipad. Hari ini pria itu akan terbang ke Jepang untuk beberapa hari, melarang Kimberly dan mengurungnya di mansion hanya akan membuat gadis itu kabur dan memungkinkannya pergi jauh. Alan sangat mengenal watak keras keponakannya. Namun meski membiarkan Kim tetap bekerja, Alan telah menitahkan Mike untuk menjaga Kimberly 24 jam.

*

"Ya, Tuhan.. Kimberly, kukira kau tidak akan kembali kesini."

Naina baru bisa bernapas lega setelah melihat sahabatnya muncul. Kemarin sore gadis itu merasa panik karena Kim tak kunjung kembali ke rumah sewa mereka. Ponsel gadis itu pun tak aktif.

"Hehe.. kau pasti merindukanku, kan, Nai?"

Alih-alih meminta maaf karena telah membuat sahabatnya cemas, gadis nakal itu justeru memilih untuk bergurau.

"Cih! Dasar gadis nakal! Kau tahu Borne membuatku tak bisa beristirahat. Dia menunggumu di halaman kost-kost an kita sampai malam." Wajah Naina pura-pura merajuk.

"Waaaaw.. kalian berdua sampai malam? Semoga selanjutnya ada kemajuan."

Kimberly berkata dengan santai seraya meletakkan tas slempangnya di dalam loker karyawan. Kalimat ambigu yang barusan ia katakan membuat kening Naina mengerut. Gadis itu tak mengerti maksud kata-kata Kimberly.

"Kemajuan? Kemajuan apa, Kim?" tanya Naina.

"Kemajuan hubungan kalian. Kau.. dan Borne."

Gadis nakal itu meninggalkan Naina yang wajahnya memerah seketika. Dengan satu kerlingan mata, Kimberly lagi-lagi menggoda sahabatnya.

"KIMBERLY....!"

*

"Jangan buat papamu kembali masuk rumah sakit, Borne! Kepulanganmu yang mendadak sudah membuat tensi darah papamu naik. Sekarang kau malah membuang-buang waktumu tiap hari untuk menemui gadis itu. Kau seperti pemuda bodoh, tahu!"

Seorang wanita berusia empat puluhan tengah memarahi putera tunggalnya. Perempuan itu terlihat berang setelah tahu puteranya masih saja mengejar gadis yang digilai semasa sekolah dulu.

"Aku memang bodoh jika sudah berhadapan dengan Kimberly," sahut Borne santai.

Erika semakin geram dengan tingkah puteranya. Setelah mengirim pemuda itu ke Australia untuk melanjutkan pendidikannya, Borne justeru kabur dari sana dan memilih kembali pulang. Erika yakin, alasan kuat puteranya pulang tak lain karena Kimberly Batara. Perempuan paruh baya namun masih terlihat cantik itu sangat mengenal Borne, puteranya telah lama memuja Kimberly. Bahkan semasa sekolah Borne selalu saja merengek agar orang tuanya menjodohkan mereka.

"Hhh.. jangan sampai mama bertindak, Borne! Mama tidak main-main kali ini."

Sendok di tangan Borne seketika terjatuh ke atas piring, memberikan suara nyaring yang membuat Erika sedikit tersentak.

"Jangan macam-macam, Ma. Kali ini aku juga tak akan tinggal diam. Kau dan papa sudah membuat hidup Kimberly menderita. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan jika kalian membuat Kimberly jatuh untuk kedua kalinya."

Mata Erika membola, ancaman sang putera senyatanya membuat wanita itu sedikit gentar. Namun ia tak mau terlihat kalah dari pemuda itu. Erika mengulas senyum tipis dan mengejek ke arah puteranya,

"Jangan coba-coba mengancam mama, Sayang.. mama tak suka mempunyai putera pembangkang."

Erika pergi meninggalkan Borne yang masih duduk di kursi makan. Perempuan itu tahu, dirinya harus segera bertindak cepat jika tak mau puteranya lebih bertindak bodoh.

"Kimberly, Kimberly, apa istimewanya gadis itu! Dasar Borne anak bodoh! Banyak gadis lain dari keluarga terhormat yang lebih cantik dari Kimberly, tapi kau malah terus saja memuja anak koruptor itu!"

Erika berada di dalam mobil menuju satu tempat. Mulutnya masih saja berkomat kamit merutuki kebodohan puteranya. Ia tak lagi tinggal diam melihat perilaku Borne yang membuatnya naik darah. Surat Drop Out dari kampus sudah ia terima, itu karena Borne meninggalkan kampus tanpa alasan. Sontak saja hal itu membuat suaminya masuk rumah sakit. Borne adalah satu-satunya tumpuan keluarga Brahmaja. Jika Boni Brahmaja meninggal, Borne lah yang akan menggantikan kursi kepemimpinan di perusahaan pria itu. Erika merasa sudah harus membuat Borne menjadi pemuda yang matang dan mandiri, serta berpikir dewasa agar nantinya siap memegang tongkat estafet kepemimpinan Brahmaja Corporation.

*

"Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe."

"Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status