Share

Chapter 2 - Keinichiro Alan

"Berhentilah! Berhentilah mencintaiku meski dengan cara terjun ke jurang, Kim!"

Ungkapan itu sekonyong-konyong keluar dari mulut Alan. Hati dan mulutnya yang tak sinkron membuat suasana menjadi panas padahal ruangan itu dilengkapi dengan pendingin ruangan.

Kim kembali merasakan sakit yang tak berdarah. Rasa sakit itu seakan menguliti tubuhnya, mencabik seluruh harapan yang senyatanya masih tersimpan di hati gadis itu.

"Y-- ya. Aku pasti akan berhenti. Aku pastikan aku akan berhenti mencintaimu.. Keinichiro Alan."

Kalimat terakhir yang diucapkan Kimberly sebelum berbalik arah meninggalkan sang paman yang masih terpaku di atas kursi kebesarannya membuat Alan mematung. Ingin menarik kata-katanya, namun lidahnya terasa kelu. Janji yang pernah terucap tak serta merta bisa ia ingkari begitu saja.

"Hhh.. kenapa kau harus mencintaiku, Kim? Kita bisa hidup bersama seandainya saja.... aaaaaakh......"

Alan pun tak bisa menyembunyikan kegalauannya. Meski tak mau mengakui apa yang kini ia rasakan terhadap sang keponakan, namun rasa itu tetap saja menyiksanya kala ia harus menerima kenyataan bahwa Kimberly akan kembali jauh dari jangkauannya.

*

"Nona Kim, Anda mau kemana?"

Bibi Jeni sedikit terkejut melihat Kimberly membawa koper yang diyakini berisi pakaian gadis itu.

"Aku harus pergi dari sini, Bi. Trimakasih sudah menjagaku selama ini." Sebuah senyum tipis disunggingkan Kimberly pada wanita tua itu.

"Anda mau pergi kemana? Apa tuan Alan memberi ijin?" tanya bibi Jeni lagi.

Kim hanya menunduk serta menguar senyum miris, "dia bahkan menginginkan aku pergi jauh darinya," gumam pelan gadis itu yang terdengar samar di telinga sang pelayan.

"Aku harus pergi sekarang, Bi. Skali lagi trimakasih telah menjagaku beberapa waktu ini," ucap tulus Kimberly yang langsung berlalu keluar dari mansion mewah milik sang paman.

Berhenti sejenak di depan halaman luas mansion milik Alan, Kimberly kembali menoleh ke belakang. Mengingat pertama kali ia datang kesana dengan wajah sumringah karena pada akhirnya bisa bertemu sang Kuda Putih yang bertahun-tahun telah tertambat di hatinya. Namun realita tak semanis harapannya, Alan tak menyambut cinta yang terang-terangan ia ungkapkan melalui kata dan perilaku. Pria itu justeru membawa sang tunangan ke hadapan Kimberly dengan maksud agar gadis itu menyerah dengan cinta yang ia rasakan.

Di tembok berlapis kaca, Kim tak menyadari jika pria pujaannya masih mengamati kepergian dirinya dengan hati yang sama-sama hancur.

"Mengapa Anda membiarkan nona muda pergi dari sini, Tuan?"

Suara bibi Jeni membuat Alan menoleh. Ia kembali mendekat ke kursi putar lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi itu.

"Aku tak boleh memberinya harapan yang tak bisa kukabulkan, Bi. Kimberly harus segera melupakan cintanya padaku," tukas pria itu.

"Jika tuan ingin gadis itu berhenti mencintai Anda, lalu mengapa kemarin tuan muda kalah dan membawanya kesini? Bukankah itu berarti Anda memberi harapan lalu mendorongnya ke jurang kekecewaan?"

Kalimat sarkas tak takut-takut dikeluarkan wanita tua yang sejak kedatangan Alan ke negeri ini menjadi orang yang menjaga dan melayaninya.

Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu pulang ke Indonesia setelah mendengar kematian kakak sepupunya, orang tua Kimberly. Kedatangannya selain untuk mengunjungi makam kakak sepupunya, juga untuk melihat keadaan sang keponakan serta memastikan bahwa Kimberly baik-baik saja. Satu tahun hanya menjadi bayang-bayang sang keponakan, nyatanya Alan tak sanggung terus berada di belakang gadis itu tanpa diketahui.

*

Satu Bulan yang Lalu..

"Selamat datang di Town Cafe, Kakak.."

Seorang pramusaji sebuah Cafe di pinggiran ibu kota menyambut pelanggannya dengan ramah di depan pintu kaca.

"Kim, meja nomor 9," seru Naina pada seorang gadis berponi dengan rambut kuncir kuda.

"Siap," sahut Kimberly dengan senyum manisnya.

Sudah beberapa bulan ini gadis itu bekerja di Town Cafe. Berasal dari keluarga kaya raya yang tiba-tiba harus merasakan jatuh sampai terperosok ke dalam jurang kemiskinan tak lantas membuat Kimberly menjadi seorang pemalas. Ia sadar, dirinya bukan lagi seorang nona muda yang dahulu bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah. Kejatuhan sang ayah hingga kematian sang ibu tak lantas membuat gadis itu kehilangan semangat hidup. Meski saat mengetahui ibunya bunuh diri di rumah sakit jiwa ia merasa dunianya gelap seketika, namun gadis itu tak pernah mau melakukan hal bodoh seperti perempuan yang melahirkannya. Bagi Kimberly bunuh diri hanya dilakukan oleh seorang pengecut.

'Aku yakin, hidup ini akan terus berputar seperti bumi yang berputar pada porosnya. Jadi kematian bukanlah jawaban dari semua masalah. Kemarin aku berpijak di roda bagian atas, dan kini aku tengah mengikuti perputarannya hingga ke bawah. Ini semua lumrah dalam kehidupan.'

Sebuah jawaban lugas yang selalu ia gaungkan saat beberapa orang bertanya tentang perasaannya setelah berada di titik terbawah.

"Naina, biar aku yang bawa ke depan."

Gadis itu berinisiatif membantu pekerjaan sahabatnya disaat pekerjaannya sendiri telah selesai.

"Oke!" Naina mengangkat jempolnya.

"Dua porsi B' steak Grill and Pancake dan dua Classic Hot Chocolate." Kim menyebut pesanan meja nomor 9.

"Jika ada yang kurang bisa panggil waiter atau waitress kami, ya, Kakak.." ujar Kim yang tak pelit menebar senyum.

"Oke, trimakasih," jawab seorang pelanggan wanita yang nampaknya kagum dengan keramahan Kimberly.

"Hai, anak koruptor!"

Suara seorang perempuan yang sangat dikenali oleh Kim membuat gadis itu membuang napas kasar.

Kimberly berbalik, "pergilah, Re. Jangan buat kekacauan disini," usirnya dan langsung gegas meninggalkan Rea, yang dulu pernah jadi sahabat karibnya di sekolah.

"Wah, wah, wah.. memang kau pemilik cafe ini, Kim? Seenaknya mengusir pelanggan. Dimana manager cafe ini? Waitress kalian sangat sombong mengusir pelanggan sepertiku!"

Rea setengah berteriak. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar seisi cafe heboh dan pada akhirnya Kimberly mendapat masalah.

"Rea, cukup! Masih tak bosan kau mengganggu hidupku, hah?"

Kimberly tak tahan lagi. Ini bukan pertama kalinya gadis itu membuat gaduh di tempat umum. Kim bahkan pernah langsung dipecat saat bekerja di sebuah restoran cepat saji akibat ulah Rea.

Rea mendekat hingga jaraknya hanya beberapa centimeter dengan Kimberly, "aku tak pernah bosan mengganggumu sebelum kau mati, Kimberly!" cetus gadis itu dengan senyum smirk tipis di bibirnya.

"Dasar perempuan gila!"

Umpatan Kimberly membuat mata Rea membola. Tanpa persiapan untuk mengelak rambut Kimberly menjadi sasaran kemurkaan Rea yang merasa dihina oleh gadis itu.

"Dasar gadis brengsek! Anak koruptor! Anak perempuan gila! Mati kau!"

Rea seperti orang yang tengah kesetanan. Namun Kimberly pun tak kalah berang dan kesetanan mendengar orangtuanya kembali dihina. Tangan Rea yang menjambak rambutnya ditangkap, lalu tangan yang lain ikut menjambak rambut ikal milik perempuan sombong itu. Jadilah sebuah kegaduhan disana. Para pelanggan Cafe berteriak histeris melihat dua gadis muda itu saling menjambak.

"Nona Rea!"

Seorang pria yang diyakini sebagai pengawal gadis itu menarik kasar tangan Kimberly hingga gadis itu melepas jambakannya dari rambut Rea. Teriakan dari mulut Kim terdengar pilu. Semua yang mendengar merasakan sakit yang gadis itu rasakan pasca satu tangannya dipelintir oleh pria tadi.

"KIM....!"

Naina keluar dari pantry Cafe setelah mendengar kegaduhan. Ia langsung menghampiri Kimberly yang masih meringis kesakitan.

"Kau tak papa?" tanyanya pada sang sahabat.

Kim menggeleng meski ringisan terlihat jelas di wajahnya.

"Hahahahha.. dua gadis miskin bersatu. Kalian memang harusnya bersama sejak dulu, Kim. Menyesal aku pernah bersahabat dengan gadis miskin dan tak tahu malu sepertimu Kimberly," ejek Rea yang kini bisa tertawa puas melihat Kimberly yang meringis kesakitan.

"Kau perempuan jahat, Re! Kimberly tak pernah punya salah apapun padamu, tapi kau selalu saja mengganggunya," decak Naina yang menyorot tajam pada Rea.

"Diam kau gadis miskin! Kau tak tahu apa yang dilakukan sahabat miskinmu itu padaku! Dia hanya berwajah lugu tapi hatinya busuk!"

"Siapa yang kau bilang berhati busuk, Nona?"

Suara seorang pria berusia 40-an membuat seisi Cafe menoleh padanya. Pria berwajah tampan dengan struktur wajah oriental khas Asia. Meski usianya tak bisa dikatakan muda, namun pesonanya tak kalah dengan pemuda berusia 20-an.

Kimberly menoleh pada sumber suara. Ia merasa mengenal suara itu, namun tubuh Rea menghalanginya untuk melihat wajah sang pria.

"Siapa Anda? Jangan katakan Anda adalah sugar daddy Kimberly," ejek Rea yang kembali menguar tawa puas karena berkali-kali membuat Kimberly malu.

"Keponakanku bukan perempuan jalang seperti yang kau katakan, Nona. Cepat minta maaf padanya sebelum aku berbuat sesuatu yang bisa membuatmu menyesal!"

Meski berkata dengan intonasi datar, namun kalimat itu cukup mampu membuat Rea menelan kasar salivanya.

"Keponakan?"

Kimberly lekas berdiri dari lantai. Ingin memastikan pria yang tadi mengaku sebagai pamannya adalah orang yang selama ini ia tunggu kedatangannya. Satu-satunya pria yang ia rindu dan beri cinta sejak gadis itu remaja.

"Minggir!"

Tak peduli, ia mendorong tubuh Rea ke samping agar tak menghalangi pandangannya.

Dua bola mata berwarna coklat itu kini bisa melihat dengan jelas pria di hadapannya. Kim mendekat perlahan, hingga jaraknya dengan pria itu hanya tinggal beberapa centimeter saja.

"Mengapa-- mengapa-- baru datang sekarang?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status