“Kenapa tidak juru masak yang membuat?”
Rosea melongo kaget, pertanyaan anak itu semakin terdengar sombong dan membuat jiwa susah Rosea meronta-ronta.
Siapa sebenarnya yang mendidik anak ini? Bagaimana bisa dia sudah seprofessional itu dalam berbicara tidak mengenakan?.
Rosea membuang napasnya dengan kasar, dia tidak bisa kesal dan tersinggung dengan anak kecil. Mereka masih polos dan tidak bersalah, yang bersalah adalah orang-orang yang di contoh olehnya.
“Aku tidak punya juru masak,” jawab Rosea dengan jujur.
“Kamu sungguh mau membaginya?” Prince kembali bertanya.
“Kalau kamu tidak mau, kembalikan saja,” kesabaran Rosea mulai hilang.
Mata Princa sedikit berkaca-kaca, anak itu teringat jika ini untuk pertama kalinya ada orang dewasa yang mau mengajaknya berbicara di taman dan menawarinya makanan, tanpa menanyakan di mana orang tuanya dan menganggap Prince anak yang tersesat.
“Aku mau,” bisik Prince samar.
Mendengar suara lemah bercampur sedih anak itu, Rosea langsung menggerakan wajahnya dan kembali melihatnya. Rosea terpaku memperhatikan bagaimana anak itu menyendokkan makanannya dengan ragu dan segera memasukannya ke dalam mulutya, lalu mengembalikan kotak nasi Rosea.
“Namamu siapa?” Tanya Rosea yang kini ikut menyuapkan makananya lagi.
“Prince.”
“Namaku Rosea, panggil aku Sea.”
Tidak ada jawaban apapun lagi dari Prince, namun anak itu kembali melihat kotak makanan Rosea dan memperhatikan bagaimana Rosea menyuapkan makanannya lagi dengan rakus seperti takut Prince mencuri makanannya dan meminta beberapa suap lagi.
Perasaan tidak tega menyentuh hati Rosea begitu melihat tatapan sedih di mata Prince karena Rosea tidak menawarinya lagi, dengan terpaksa akhirnya Rosea kembali menyodorkan kotak makananya. “Masih mau? Makan saja.”
Prince mengambil tas di belakangnya dan membukanya, Prince mengambil kotak makanannya sendiri dan memberikannya kepada Rosea. “Kita bertukar,” kata Prince terdengar bijaksana.
Rosea mendengus geli mendengarnya, ucapan Prince membuat Rosea cukup tersanjung. Dengan cepat akhirnya mereka saling bertukar makanan.
Hidung Rosea mengerut tidak suka, melihat kotak makanan Prince yang di penuhi buah-buahan segar dan spaghetti yang sudah dingin.
“Siapa yang suka saus tomat? Lebih enak saus mie instant,” gerutu Rosea tidak suka dengan isi kotak makanan milik Prince.
“Nenek yang menyiapkannya.”
“Nenek kamu tidak asik.”
Samar bibir Prince tersenyum, alih-alih marah karena ada yang tidak berkata baik tentang neneknya, justru Prince senang karena ada yang berpikiran sama seperti dirinya.
“Rumah kamu di mana?” Tanya Rosea lagi sambil memetik beberapa buah anggur dan memakannya. Rosea hanya bisa memakan buah-buah segarnya saja di dalam kotak karena lidahnya tidak terbiasa dengan makanan bercita rasa tidak kuat.
“Jauh.”
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
Prince menelan makananya dan mengusap bibirnya yang berkilauan dengan punggung tangannya. “Semua toko-toko di belakang itu milik nenekku,” Prince menunjuk semua deretan toko yang sempat Rosea kagumi.
Rosea memutar tubuhnya dan melihat ke belakang, bola mata Rosea membulat sempurna. Rosea tercengang melihat deretan toko mewah yang berjajar berada di belakangnya.
“Kamu serius?” tanya Rosea lagi dengan terbata.
Prince mengangguk, “Karena itu aku ada di sini, taman ini juga milik nenek, dia membangunnya agar aku tidak kesepian,” dengan entengnya Prince menunjuk lapangan dan seluruh taman besar di depannya.
“Uhuk,” Rosea tersedak sampai-sampai harus memukul dadanya beberapa kali agar bisa bernapas dengan normal lagi.
Semua yang keluar dari mulut Prince terdengar sangat mustahil dan lebih mirip seperti dongeng hayalan anak-anak pada umumnya. Akan tetapi, bila menilik penampilan dan tampangnya Prince, Rosea bisa merasakan getaran banyak uang pada anak itu.
“Kamu kenapa?” tanya Prince.
“Tidak apa-apa.”
Rosea mengatur napasnya beberapa kali sambil mengusap tenggorokannya yang masih menyisakan rasa sakit karena batuk, keterkejutan Rosea teralihkan pada kotak makanannya yang kini kosong, Prince menghabiskannya dengan baik.
“Kamu sudah selesai?” tanya Rosea.
“Ya, ini” Prince segera mengembalikan kotak makanan Rosea dan menukarnya kembali.
Rosea memasukan kotak makananya ke dalam tas, sekilas dia melihat arah jarum jam yang terpasang di pergelangan tangannya. “Aku harus segera pulang.”
Prince terdiam memeluk kotak makananya sendiri, anak itu tiba-tiba menatap Rosea dengan sedih, padahal Prince senang berbicara dengan Rosea, namun teman bicaranya itu terburu-buru harus pulang.
Rosea beranjak dari duduknya dan segera menggendong tasnya lagi, wanita itu tersenyum dengan tulus menatap lembut Prince. “Prince, terima kasih atas makanannya.”
Prince mengerjap bingung, diam-diam tangan mungilnya mengepal kuat meremas permukaan celananya, Prince terlihat kebingungan karena tidak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa kamu berterima kasih?” tanya Prince.
Rosea tersentak kaget, pertanyaan sederhana Prince membuat Rosea merasa sedih karena anak itu belum mengetahui arti sebuah terim kasih.
Sejenak Rosea terdiam, memikirkan kata yang pantas untuk dia ucapkan agar Prince langsung memahami perkataannya. Rosea berdeham, “Prince,” panggil Rosea dengan lembut.
Prince semakin mengangkat wajahnya dan menatap lekat Rosea, menunggu Rosea berbicara.
“Kita harus mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang sudah berbuat baik kepada kita. Itu adab menghargai kebaikan yang di berikan orang lain kepada kita,” jelas Rosea memberitahu.
Prince terpaku kaget mendengarnya, Rosea menjelaskan semua yang tidak Prince ketahui dengan senyuman lebar tanpa ada nada mendikte sedikitpun, cara Rosea berbicara sangat berbeda jauh dengan cara berbicara neneknya yang terkadang membuat Prince merasa takut.
“Ehm.. kalau begitu, terima kasih,” ucap Prince dengan suara yang sedikit bergetar.
Bibir Rosea menyunggingkan senyuman semakin lebar, wanita itu segera melambaikan tangannya. “Sama-sama Prince. Sampai jumpa,” pamit Rosea sebelum memutuskan pergi.
Kepala Prince bergerak memutar melihat kepergian Rosea, tanpa terduga Prince meletakan kotak makanannya di kursi dan berlari melintasi jalan untuk mengejar Rosea yang belum jauh darinya.
“Tunggu!” teriak Prince memanggil.
Langkah Rosea terhenti, dalam satu gerakan dia membalikan badannya dan melihat Prince lagi yang kini ada di hadapannya.
“Kamu suka makanan apa?” tanya Prince penasaran.
“Aku suka makanan berwarna merah muda,” jawab Rosea terdengar mengasal.
“Apakah besok kamu akan datang ke sini lagi?”
“Aku tidak tahu.”
“Kalau kamu datang ke sini lagi dan bertemu lagi, apa kita bisa bertukar makanan lagi?” Tanya Prince lagi di penuhi oleh banyak harapan.
“Ya, selama makanan yang kamu bawa enak,” jawab Rosea dengan spontan. “aku harus pulang, berhati-hatilah saat menyebrang.” Rosea kembali berbalik dan pergi meninggalkan Prince yang kini berdiri dan memperhatikan kepergian Rosea.
To Be Continued..
“Pah, lihatlah.” Seorang wanita paruh baya meletakan document di depan suaminya. “Ini hasil dari les Prince dua minggu terakhir.”Abraham menyesap kopinya, pria itu melirik isterinya yang kini menarik kursi dan segera duduk di sampingnya memasang raut wajah kecewa. Abraham mengambil document itu dan membacanya.“Kenapa lagi dengan hasilnya?” tanya Abraham.“Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan, jika seperti ini terus Prince bisa di pindahkan masuk ke sekolah anak-anak khusus dan tertinggal dengan anak-anak normal lainnya. Sepertinya kita harus mengganti guru les untuk Prince.”Abraham segera menutup kembali dokumentnya, “Tidak perlu Mah. Tidak perlu terlalu serius dengan hal ini, kita harus lebih memikirkan psikolog anak dan pengasuh yang cocok untuk Prince. Prince masih anak-anak, dia sedang mau berkembang.”“Mamah paham Prince masih anak-anak, tapi jika di biarkan seperti ini, bagaimana dengan masa depan dia? Satu tahun terakhir ini kita sudah menggantinya lebih dari empat guru k
“Bukan wanita simpanan yang kamu bayar Leo. Wanita yang bisa kamu jadikan secara resmi.”Leonardo mengusap rambutnya ke belakang, pria itu tersenyum dengan tenang. “Aku belum menemukan wanita yang sesuai dengan standarku,” jawabnya terdengar congkak.Jawaban singkat Leonardo berhasil membuat Abraham bungkam, jika menyangkut standar puteranya, Abraham memilih untuk tidak ikut campur lagi dan hanya bisa bisa menantikan kapan Leonardo akan memperkenalkan wanita yang benar-benar bisa dia ajak serius.Abraham membuang napasnya dengan berat, pria paruh baya itu menepuk bahu puteranya beberapa kali. “Segeralah pulang sebelum Prince tertidur,” ucap Abraham sebelum memutuskan pergi ke dalam rumah meninggalkan Leonardo sendirian.Sebuah hembusan napas kasar terdengar dari mulut Leonardo, pria itu menengadahkan kepalanya, melihat langit malam ini yang terlihat gelap pekat tanpa bintang.Leonardo bersedap, perlahan dia memejamkan matanya hanya untuk menyingkirkan sisa-sisa rasa lelah yang masih
Prince terbaring meringkuk di atas ranjangnya, anak itu termenung melihat berbagai macam mainan terpajang rapi. Rententan mainan yang memenuhi lemari itu adalah hadiah-hadiah yang sering Leonardo berikan setiap kali dia pulang bertugas dari luar negeri, sayangnya Prince jarang membukanya apalagi memainkannya karena dia tidak tertarik dan tidak mengerti.Leonardo memberikan banyak mainan karena dia berpikir hal itu dapat menebus sedikit rasa bersalahnya karena sudah sering meninggalkan Prince sendiri dan membuat anaknya kesepian.Setiap kali Leonardo pergi dinas jauh, Prince akan pergi ke rumah kakek neneknya untuk menginap, dan jika kakek neneknya berada di luar negeri juga, maka Prince akan tinggal sendirian di rumah di temani Adam, pengawal pribadinya.Sementara ibunya Prince?Prince tidak mengetahui keberadaan ibunya, jarang sekali Prince bertemu dengannya. Ibu Prince hanya datang satu tahun sekali ketika Prince sedang ulang tahun saja. Sekalinya bertemu, mereka jarang berbicara da
Suara keras musik terdengar sejak satu jam yang lalu, samar tawa orang-orang terdengar di luar, satu persatu orang mulai berdatangan ikut memeriahkan pesta yang berlangsung.Jari-jari Rosea bergerak cepat di atas keyboard tengah mengerjakan pekerjaannya, sesekali Rosea mengumpat kesal karena imajinasinya menghilang dan hancur karena keramaian pesta orang-orang di luar sana.Jari Rosea menekan keyboard dengan sedikit keras, kakinya mendorong ke lantai menggerakan kursi yang di dudukinya untuk mendekati jendela. Rosea menyibak gorden dan melihat langsung ke arah rumah di sebelahnya yang kini kian ramai di penuhi oleh banyak orang.Setengah jam yang lalu Rosea masih bisa sabar mendengarkan keramaian pesta, namun sekarang dia benar-benar sangat terganggu karena tidak bisa berkonsentrasi bekerja.Rosea melihat ke arah jarum jam yang kini masih menunjukan pukul sepuluh malam. Ini tidak bisa di biarkan sama sekali, jika pekerjaan Rosea malam ini belum selesai karena gangguan pesta tetanggany
Pagi-pagi sekali Rosea sudah terbangun, wanita itu menghabiskan waktunya untuk melakukan olahraga di pagi sebelum memulai aktivitasnya yang lain.Rosea menekan layar treadmill mempercepat langkahnya menjadi berlari.Suara ceburan terdengar di sebelah tembok pagar rumah Rosea. Jarak rumahnya dengan rumah tetangga sebelah hanya terpisah oleh dua buah pagar yang saling berdampingan, karena itu Rosea bisa mendengar suara berisik pesta semalam.Jika mengingat kejadian pesta semalam, Rosea kini tersenyum geli mengingat bagaimana pesta yang meriah berakhir dengan kedatangan polisi, setengah jam setelah itu tetangganya memanggil banyak tukang bersih-bersih untuk merapikan rumahnya di pagi buta.Suara ceburan air terdengar lagi menandakan tetangga Rosea tengah berenang.Setelah lama Rosea bergerak, dia memutuskan turun dari treadmill untuk minum dan mengusap peluh keringat yang membasahi wajahnya. “Hallo tetangga.”“Uhuk” Rosea tersedak kaget melihat kehadiran Atlanta yang kini muncul tiba-t
Terik panas matahari siang itu terasa sedikit lebih menyengat dari biasanya, Prince duduk di bangku tempat pertemuannya dengan Rosea hari kemarin. Tangan Prince memeluk sebuah kotak makanan berisi macaron merah muda yang dia sengaja siapkan untuk Rosea.Kepala Prince bergerak ke sana kemari menunggu kedatangan Rosea yang belum dia lihat kehadirannya sejak tadi.“Prince” Adam datang untuk menjemput Prince. “Waktunya pulang.”“Sebentar Adam.”“Kenapa?”“Aku menunggu kenalanku.”Kening Adam mengerut, siapa kenalan Prince? Tidak seperti biasanya Prince memiliki perhatian kepada orang lain. Batin Adam bertanya-tanya. “Sudah waktunya pulang, satu jam lagi kamu ada les bahasa Prancis. Sekarang, ayah kamu ingin mengajak makan siang bersama,” Adam mengingatkan.Prince tertunduk sedih mendengarnya, dengan terpaksa dia segera beranjak dan pergi mengikuti Adam yang menuntunya pergi masuk ke dalam mobil.Adam segera menutup pintu dan berlari pergi menyusul masuk, pria paruh baya itu segera melaju
Rosea memeluk kotak makanan yang di berikan oleh Prince, ada sepercik kesenangan yang menyentuh hatinya memikirkan Prince dengan tulus menyiapkan makanan berwarna merah muda untuknya.“Aku akan mengembalikan kotak makananmu lagi nanti. Aku akan membalasnya, kamu suka makanan apa?” tanya Rosea.Mata Prince berbinar senang, “Aku suka makanan laut dan kue keju. Jadi, mulai besok kita akan saling bergantian memberikan makanan?” tanyanya dengan polos. Prince berpikir saling membalas makanan layaknya surat menyurat.Prince tidak tahu jika Rosea akan membalas kebaikan Prince hanya sebagai formalitas saja. Perhatian Rosea beralih ke sisi, melihat Adam yang keluar dari mobil.Rosea menatap jam di tangannya dan menyadari bahwa dia sudah lebih dari tiga menit bicara dengan Prince.Rosea segera berdiri, “Om” sapa Rosea dengan canggung. “Maaf saya tidak bermaksud mengganggu perjalanan Anda dengan putera Anda,” tambah Rosea lagi langsung menjelaskan.Adam memasang wajah datar tidak bersahabat. “S
Rosea menarik napasnya dalam-dalam, wanita itu terlihat kaget melihat sosok pria yang sudah dipanggil ‘ayah’ oleh Prince. Wajah Rosea memerah karena terpesona, namun di detik selanjutnya wajahnya berubah pucat seakan seluruh darah di tubuhnya membeku ketika tidak sengaja pandangan mata mereka bertubrukan. Mendadak saja rasa percaya percaya diri dan keberanian Rosea hilang di bawah tatapan tajam milik Leonardo yang secara terang-terangan penuh penilaian. Bibir Rosea mengatup rapat, lidahnya terasa kelu tidak memiliki keberanian untuk menyapanya lebih dulu. Ada atmosfer yang begitu kuat Rosea rasakan ketika dia berhadapan dengan Leoardo. Sebuah perasaan terintimidasi, takut dan tertekan langsung Rosea rasakan dalam waktu bersamaan. “Ayah, ini temanku. Sea ini ayahku yang tadi kamu tanyakan,” Prince manarik tangan Rosea agar semakin mendekati ayahnya. Prince ingin Rosea memperkenalkan dirinya sendiri seperti saat Prince memperkenalkan diri di depan kelas. Rosea tertunduk malu kare