“Pah, lihatlah.” Seorang wanita paruh baya meletakan document di depan suaminya. “Ini hasil dari les Prince dua minggu terakhir.”
Abraham menyesap kopinya, pria itu melirik isterinya yang kini menarik kursi dan segera duduk di sampingnya memasang raut wajah kecewa. Abraham mengambil document itu dan membacanya.
“Kenapa lagi dengan hasilnya?” tanya Abraham.
“Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan, jika seperti ini terus Prince bisa di pindahkan masuk ke sekolah anak-anak khusus dan tertinggal dengan anak-anak normal lainnya. Sepertinya kita harus mengganti guru les untuk Prince.”
Abraham segera menutup kembali dokumentnya, “Tidak perlu Mah. Tidak perlu terlalu serius dengan hal ini, kita harus lebih memikirkan psikolog anak dan pengasuh yang cocok untuk Prince. Prince masih anak-anak, dia sedang mau berkembang.”
“Mamah paham Prince masih anak-anak, tapi jika di biarkan seperti ini, bagaimana dengan masa depan dia? Satu tahun terakhir ini kita sudah menggantinya lebih dari empat guru karena Prince membuat ulah. Mamah benar-benar tidak mengerti. Dulu, Leo tidak seperti ini.”
“Jangan samakan Leo dan Prince, mereka jelas berbeda. Bersabarlah,” nasihat Abraham begitu tenang sangat berbeda jauh dengan Berta isterinya.
“Nenek” Suara Prince terdengar memanggil dari kejauhan, Prince berlari membawa kotak pensil warna.
Pembicaraan serius di antara Abraham dan Berta langsung selesai, begitu pula dengan ketegangan di bahu Berta yang kini mengendur karena Prince berada di sekitarnya.
“Jangan berlari seperti itu! Nanti kamu jatuh,” kata Berta dengan sedikit teriakan, Prince yang berlari tersentak kaget dan langsung berjalan dengan normal.
“Ada apa?” Tanya Berta begitu cucunya sudah berada di sampingnya.
Prince berjinjit dan membuka kotak pensil warnanya di atas meja makan. “Mana warna merah muda?” tanya Prince.
Dengan cepat Berta menunjuknya tanpa mempedulikan untuk apa cucunya bertanya warna itu.
Kaki Prince berhenti menjinjit, Prince langsung teringat macaron yang pernah di makannya memiliki warna yang sama degan warna yang Berta tunjuk. “Besok aku mau membawa macaron dengan warna seperti ini.”
“Rima akan menyiapkannya besok. Sekarang kamu pergilah ka kamar dan belajar.”
“Baik, Nenek.”
“Prince.”
Suara familiar seorang pria terdengar memanggil namanya, Prince langsung berbalik dan melihat ke arah Pintu, Prince melihat kehadiran ayahnya yang sudah satu minggu ini berada di Berlin untuk keperluan bisnis.
“Ayah,” sapa Prince dengan kaku, anak itu sedikit terkejut karena Leonardo pulang lebih cepat dari apa yang di jadwalkan.
Leonardo melangkah lebar dan membuka tangannya hendak memeluk, namun Prince masih berdiri di tempatnya, kaki kecilnya ragu untuk mendekat dan menyambut kedatangan Leonardo.
Leonardo yang melihat keraguan Prince memutuskan untuk semakin mendekat, dia memahami kecanggungan puteranya karena mereka sudah lama tidak bertemu.
“Prince, hay jagoan,” sapa Leonardo dengan senyuman menawannya, pria itu segera membungkuk, meraih tubuh Prince untuk dia gendong dan di peluknya.
“Hay,” balas Prince seraya memeluk leher Leonardo.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik.”
“Ayah membawa hadiah untukmu.” Leonardo menunjuk beberapa kotak mainan yang di bawa Adam.
Prince tersenyum samar menatap tumpukan mainan baru yang di bawa oleh Adam.
“Terima kasih, Ayah.”
Leonardo menegang kaget, sekilas pria itu melihat Berta dan Abraham dengan tatapan penuh tanya karena tidak seperti biasanya Prince mengucapkan terima kasih ketika di beri mainan.
***
Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan berisi sebotol anggur dan gelas kosong, wanita itu meletakannya di meja dekat balkon dan segera menuangkannya, lalu memberikannya kepada Leonardo yang kini tengah berdiri bersandar pada pagar tengah melepas rasa lelah dan penatnya usai melewati perjalanan panjang.
Sepasang mata berwarna biru milik Leonardo bergerak menatap tajam ke penjuru tempat. Hembusan angin menggerakan rambut halus Leonardo yang kini sedikit memanjang dari sebelumnya. Ekspresi di wajah Leonardo tidak berubah sejak dia berdiri di tempat itu beberapa menit yang lalu.
Sangat di sayangkan, Leonardo menyia-nyiakan ketampanan di wajahnya karena pria itu minim ekspresi.
“Bagaimana pekerjaan kamu?” Tanya Abraham selepas kepergian pelayan rumahnya.
Leonardo menyesap anggurnya perlahan, pria itu segera menjawab, “Seperti biasa, sedikit melelahkan.”
“Apa ada masalah?”
“Masalah bisnis selalu sama, yaitu tantangan.”
“Mengenai Prince, ibumu memberikan laporan jika pembelajaran Prince, dia tidak memiliki perkembangan sedikitpun, dan tiga hari yang lalu, pengasuhnya mengundurkan diri karena Prince sudah membuat keributan. Kamu harus mencari jalan keluarnya, jika di biarkan lebih lama mungkin akan menjadi masalah.”
Leonardo tersenyum samar, “Satu-satunya yang menjadi masalah adalah ibu yang terlalu ikut campur dengan Prince.”
Abraham langsung terdiam, dia tidak menyangkal perkataan Leonardo karena selama ini Berta selalu mengatur Prince secara berlebihan.
“Leo” Abraham kembali angkat suara setelah beberapa menit diam. “Sebaiknya kamu liburan bersama Prince, sudah tiga tahun ini kamu tidak mengambil cuti sama sekali.”
“Kami bisa liburan sambil bekerja saat dinas ke luar negeri.”
Abraham menghela napasnya dengan berat, “Waktu untuk keluarga dan waktu untuk berbisnis itu berbeda Leo. Ini untuk kebaikan Prince, dia membutuhkan banyak waktu denganmu,” koreksi Abraham.
Abraham tidak habis pikir dengan Leonardo sangat gila kerja, seluruh waktunya dia dedikasikan hanya untuk pekerjaan dan Prince.
Abraham sangat bangga dengan sifat pekerja keras yang di miliki Leonardo. Kecerdasan Leonardo dalam mengelola perusahaan dan kepribadian yang bekerja keras selalu berhasil menguntungkan perusahaan, namun sayangnya di balik cemerlangnya karier Leonardo, ini sama sekali tidak terlalu menguntungkan kehidupan pribadi Leonardo.
Leonardo sudah berusia tiga puluh lima tahun, bila sepanjang hidupnya Leonardo hanya memikirkan pekerjaan, ini akan menjadi masalah bagi keluarga besar Abraham karena Leonardo adalah putera tunggalnya. Tidak mungkin Leonardo selamanya sendiri dan tidak memiliki pasangan meski kini sudah ada calon penerus selanjutnya, yaitu Prince.
Abraham berdeham tidak nyaman, sesekali dia melihat Leonardo dan menimang-nimang sesuatu yang ingin dia tanyakan.
“Leo, tidakkah kamu sekarang sudah memikirkan seorang pasangan?” tanya Abraham dengan hat-hati.
“Aku sudah memiliki pasangan, Ayah.”
“Bukan wanita simpanan yang kamu bayar Leo. Wanita yang bisa kamu jadikan secara resmi.”
Tu Be Continued..
“Bukan wanita simpanan yang kamu bayar Leo. Wanita yang bisa kamu jadikan secara resmi.”Leonardo mengusap rambutnya ke belakang, pria itu tersenyum dengan tenang. “Aku belum menemukan wanita yang sesuai dengan standarku,” jawabnya terdengar congkak.Jawaban singkat Leonardo berhasil membuat Abraham bungkam, jika menyangkut standar puteranya, Abraham memilih untuk tidak ikut campur lagi dan hanya bisa bisa menantikan kapan Leonardo akan memperkenalkan wanita yang benar-benar bisa dia ajak serius.Abraham membuang napasnya dengan berat, pria paruh baya itu menepuk bahu puteranya beberapa kali. “Segeralah pulang sebelum Prince tertidur,” ucap Abraham sebelum memutuskan pergi ke dalam rumah meninggalkan Leonardo sendirian.Sebuah hembusan napas kasar terdengar dari mulut Leonardo, pria itu menengadahkan kepalanya, melihat langit malam ini yang terlihat gelap pekat tanpa bintang.Leonardo bersedap, perlahan dia memejamkan matanya hanya untuk menyingkirkan sisa-sisa rasa lelah yang masih
Prince terbaring meringkuk di atas ranjangnya, anak itu termenung melihat berbagai macam mainan terpajang rapi. Rententan mainan yang memenuhi lemari itu adalah hadiah-hadiah yang sering Leonardo berikan setiap kali dia pulang bertugas dari luar negeri, sayangnya Prince jarang membukanya apalagi memainkannya karena dia tidak tertarik dan tidak mengerti.Leonardo memberikan banyak mainan karena dia berpikir hal itu dapat menebus sedikit rasa bersalahnya karena sudah sering meninggalkan Prince sendiri dan membuat anaknya kesepian.Setiap kali Leonardo pergi dinas jauh, Prince akan pergi ke rumah kakek neneknya untuk menginap, dan jika kakek neneknya berada di luar negeri juga, maka Prince akan tinggal sendirian di rumah di temani Adam, pengawal pribadinya.Sementara ibunya Prince?Prince tidak mengetahui keberadaan ibunya, jarang sekali Prince bertemu dengannya. Ibu Prince hanya datang satu tahun sekali ketika Prince sedang ulang tahun saja. Sekalinya bertemu, mereka jarang berbicara da
Suara keras musik terdengar sejak satu jam yang lalu, samar tawa orang-orang terdengar di luar, satu persatu orang mulai berdatangan ikut memeriahkan pesta yang berlangsung.Jari-jari Rosea bergerak cepat di atas keyboard tengah mengerjakan pekerjaannya, sesekali Rosea mengumpat kesal karena imajinasinya menghilang dan hancur karena keramaian pesta orang-orang di luar sana.Jari Rosea menekan keyboard dengan sedikit keras, kakinya mendorong ke lantai menggerakan kursi yang di dudukinya untuk mendekati jendela. Rosea menyibak gorden dan melihat langsung ke arah rumah di sebelahnya yang kini kian ramai di penuhi oleh banyak orang.Setengah jam yang lalu Rosea masih bisa sabar mendengarkan keramaian pesta, namun sekarang dia benar-benar sangat terganggu karena tidak bisa berkonsentrasi bekerja.Rosea melihat ke arah jarum jam yang kini masih menunjukan pukul sepuluh malam. Ini tidak bisa di biarkan sama sekali, jika pekerjaan Rosea malam ini belum selesai karena gangguan pesta tetanggany
Pagi-pagi sekali Rosea sudah terbangun, wanita itu menghabiskan waktunya untuk melakukan olahraga di pagi sebelum memulai aktivitasnya yang lain.Rosea menekan layar treadmill mempercepat langkahnya menjadi berlari.Suara ceburan terdengar di sebelah tembok pagar rumah Rosea. Jarak rumahnya dengan rumah tetangga sebelah hanya terpisah oleh dua buah pagar yang saling berdampingan, karena itu Rosea bisa mendengar suara berisik pesta semalam.Jika mengingat kejadian pesta semalam, Rosea kini tersenyum geli mengingat bagaimana pesta yang meriah berakhir dengan kedatangan polisi, setengah jam setelah itu tetangganya memanggil banyak tukang bersih-bersih untuk merapikan rumahnya di pagi buta.Suara ceburan air terdengar lagi menandakan tetangga Rosea tengah berenang.Setelah lama Rosea bergerak, dia memutuskan turun dari treadmill untuk minum dan mengusap peluh keringat yang membasahi wajahnya. “Hallo tetangga.”“Uhuk” Rosea tersedak kaget melihat kehadiran Atlanta yang kini muncul tiba-t
Terik panas matahari siang itu terasa sedikit lebih menyengat dari biasanya, Prince duduk di bangku tempat pertemuannya dengan Rosea hari kemarin. Tangan Prince memeluk sebuah kotak makanan berisi macaron merah muda yang dia sengaja siapkan untuk Rosea.Kepala Prince bergerak ke sana kemari menunggu kedatangan Rosea yang belum dia lihat kehadirannya sejak tadi.“Prince” Adam datang untuk menjemput Prince. “Waktunya pulang.”“Sebentar Adam.”“Kenapa?”“Aku menunggu kenalanku.”Kening Adam mengerut, siapa kenalan Prince? Tidak seperti biasanya Prince memiliki perhatian kepada orang lain. Batin Adam bertanya-tanya. “Sudah waktunya pulang, satu jam lagi kamu ada les bahasa Prancis. Sekarang, ayah kamu ingin mengajak makan siang bersama,” Adam mengingatkan.Prince tertunduk sedih mendengarnya, dengan terpaksa dia segera beranjak dan pergi mengikuti Adam yang menuntunya pergi masuk ke dalam mobil.Adam segera menutup pintu dan berlari pergi menyusul masuk, pria paruh baya itu segera melaju
Rosea memeluk kotak makanan yang di berikan oleh Prince, ada sepercik kesenangan yang menyentuh hatinya memikirkan Prince dengan tulus menyiapkan makanan berwarna merah muda untuknya.“Aku akan mengembalikan kotak makananmu lagi nanti. Aku akan membalasnya, kamu suka makanan apa?” tanya Rosea.Mata Prince berbinar senang, “Aku suka makanan laut dan kue keju. Jadi, mulai besok kita akan saling bergantian memberikan makanan?” tanyanya dengan polos. Prince berpikir saling membalas makanan layaknya surat menyurat.Prince tidak tahu jika Rosea akan membalas kebaikan Prince hanya sebagai formalitas saja. Perhatian Rosea beralih ke sisi, melihat Adam yang keluar dari mobil.Rosea menatap jam di tangannya dan menyadari bahwa dia sudah lebih dari tiga menit bicara dengan Prince.Rosea segera berdiri, “Om” sapa Rosea dengan canggung. “Maaf saya tidak bermaksud mengganggu perjalanan Anda dengan putera Anda,” tambah Rosea lagi langsung menjelaskan.Adam memasang wajah datar tidak bersahabat. “S
Rosea menarik napasnya dalam-dalam, wanita itu terlihat kaget melihat sosok pria yang sudah dipanggil ‘ayah’ oleh Prince. Wajah Rosea memerah karena terpesona, namun di detik selanjutnya wajahnya berubah pucat seakan seluruh darah di tubuhnya membeku ketika tidak sengaja pandangan mata mereka bertubrukan. Mendadak saja rasa percaya percaya diri dan keberanian Rosea hilang di bawah tatapan tajam milik Leonardo yang secara terang-terangan penuh penilaian. Bibir Rosea mengatup rapat, lidahnya terasa kelu tidak memiliki keberanian untuk menyapanya lebih dulu. Ada atmosfer yang begitu kuat Rosea rasakan ketika dia berhadapan dengan Leoardo. Sebuah perasaan terintimidasi, takut dan tertekan langsung Rosea rasakan dalam waktu bersamaan. “Ayah, ini temanku. Sea ini ayahku yang tadi kamu tanyakan,” Prince manarik tangan Rosea agar semakin mendekati ayahnya. Prince ingin Rosea memperkenalkan dirinya sendiri seperti saat Prince memperkenalkan diri di depan kelas. Rosea tertunduk malu kare
Perjalanan pulang ke rumah Rosea membutuhkan waktu setengah jam, tapi entah mengapa Rosea merasa waktu kali ini berjalan terasa sangat lambat. Beberapa kali Rosea melihat ke jalanan, dia sudah tidak sabar untuk segera sampai rumah. Dari sudut matanya, Rosea diam-diam melihat Prince dan Leonardo yang kini tengah duduk di sampingnya. Kedua laki-laki itu duduk dengan posisi yang sama, satu kaki terangkat menumpang satu kaki lainnya, tubuh mereka berada dalam posisi tegak sempurna seperti seorang tuan muda yang sering kali Rosea lihat hanya di dunia komik saja. Tanpa sengaja pandangan Rosea bertubrukan dengan Leonardo melalui spion tengah mobil, tatapan mereka saling mengunci. Rosea langsung tersenyum masam karena lagi-lagi Leonardo menatap dirinya dengan penuh penilaian. Rosea tidak tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Leonardo, apa yang di pikirkan pria itu tentang dirinya, tatapannya yang penuh penilaian sedikit menginjak harga diri Rosea yang sejak awal tidak pernah memiliki n