ACT I : MASA LALU YANG TERKUAK
“ARGH...” Andre mengerang. Dia berusaha menahan Filona dengan tangan kanannya dan menjaga tangan kirinya agar tidak terlepas dari batu yang menjorok ke luar tebing. tempat dia bergelantungan sekarang ini demi bertahan agar mereka berdua tidak terjatuh.
“STOP IT!! Tidak akan ada gunanya? Kita berdua akan terjatuh kalau kamu terus memaksakan diri seperti itu. Kamu tahu, padahal tadi pagi...”
“Kalo kamu ngak punya ide, lebih baik diam saja. Kita berdua pasti selamat, PASTI!!”
“Terkadang Ndre, kita harus belajar kapan untuk melepaskan beban yang terlalu berat agar bisa bertahan hidup. Dan di saat ini..”
“Don’t do it, memikirkannya pun jangan. Atau...” semakin dia membuka mulutnya, tubuhnya terasa makin lelah. Jari-jari tangan kanannya mulai terasa tidak sanggup lagi untuk menahan kami berdua. Angin senja yang terasa dingin juga mulai meniup pori-pori kulitnya dan membuat tangannya sedikit gemetar.
“Just let me go, semuanya bukan salahmu. Kamu boleh menangisiku..”
“Don’t,” air mata Andre mulai mengalir ketika Fiona menggerakkan tangannya, seperti ingin melepaskan genggaman tangan mereka berdua yang menahannya untuk tidak terjatuh ke tanah.
“Tapi jangan terlalu lama ya,”
Mata keduanya sempat saling bertatapan untuk beberapa detik sebelum akhirnya Fiona dengan paksa betul-betul melepaskan tangannya.
“TIDAK!!”
Andre berteriak begitu keras dan mendapati dirinya ternyata berada di atas tempat tidur. Mimpi buruk itu terus terngiang di kepalanya walau kejadian itu sudah 3 bulan berlalu.
“Selamat pagi honey, bagaimana harimu di sana? Pasti baik-baik saja kan?” ucapnya dalam hati sambil menatap foto kelulusan mereka berdua di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya.
Terdengar seperti orang gila? Dia sudah terbiasa mendengar hal itu dari keluarganya atau kolega-kolega mereka berdua. Mungkin hanya psikolog yang merawatnya saja yang memahami dirinya saat ini—yang mengatakan kalau itu semua dikarenakan perasaan bersalah yang belum tertebus sampai sekarang.
Dia sudah mencoba semua obat penenang yang bisa diresepkan secara legal, namun kenangan buruk tersebut terus saja kembali, lagi dan lagi.
‘Tok.. Tok.. Tok..’
Mendengar ada yang mengetuk pintu apartemennya, dia berjalan dengan agak santai; karena sudah bisa menebak siapa itu. Kalau bukan ibu-ibu pemilik unit 2004, pasti perempuan dari unit 2001, hanya itu dua yang kerap mengunjungi unitnya saat dia masih tinggal berdua dengan Fiona. Yah, sebagian karena Fiona yang pintar menjaga hubungan dengan tetangga juga sih.
“Eh, kupikir sudah ke kantor ki,”
Dugaannya terbukti benar. Kali ini yang datang adalah Linda, pemilik unit 2001 di sebelahnya. Wanita yang berasal dari Makassar ini memang baru setahun tinggal di Jakarta, sehingga masih ada sedikit logat-logat Makassarnya saat berbicara.
“Kenapa? Mau nebeng lagi ya?”
“Iye,” Linda menjawab pertanyaannya dengan tersenyum malu-malu dan menggulung bibirnya ke dalam beberapa saat.
“Tunggu sebentar ya, saya ganti pakaian dulu,”
Keberadaan perempuan satu ini sama sekali tidak membuatnya risih, malah sedikit mengingatkannya dengan Fiona. Sebab Fiona dan Linda memang cukup akrab, meski hanya 3 bulan mengenal. Bahkan, Linda menjadi salah satu pelayat yang menangis cukup lama selama acara pemakaman Fiona.
“Kamu masih susah tidur ya?”
Di dalam lift, Linda menanyainya dengan pertanyaan yang menurutnya agak private.
“Tahu dari mana?” dia menjawab pertanyaan tersebut dengan santai; walau sebenarnya timbul sedikit perasaan kurang senang dalam dirinya.
“Your eyes, semuanya terlihat dari situ. Seperti sedang ada yang kamu pendam dalam hati,”
“Hmm, cuma masih kepikiran saja sih dengan insiden itu,”
“Sudah konsultasi?”
“Sudah,” dia menangguk, “Rasanya sama saja, tidak ada perkembangan yang terlalu signifikan sebulan belakangan ini. Mungkin hanya butuh sedikit waktu saja lagi sebelum aku bisa melupakan dia sepenuhnya,”
“Bagaimana kalau tiba-tiba seseorang mengatakan dia menyukaimu?”
Pertanyaan yang di lontarkan Linda membuat diirnya kembali terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Entah apa maksud Linda menanyakan hal seperti itu. Dia sempat menatap Linda agak lama sebelum lift yang mereka berdua naiki berbunyi—pertanda kalau mereka sudah sampai di basemen.
Dia memilih untuk tidak menjawab dan mengacuhkan pertanyaan Linda barusan, hanya berjalan keluar dari dalam lift dengan mulut tertutup rapat sambil masih berpikir keras alasan Linda menanyakan pertanyaan seperti itu. Namun, saat mendekati mobil miliknya, dia menghentikan langkah kakinya lalu berbalik menatap Linda dan bertanya,
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Tidak ada alasan khusus, hanya saja..”
“Akan aku tolak,”
Entah apa yang merasuki dirinya saat ini, kata-kata itu langsung keluar dari mulutnya sebelum dia sendiri bisa mencerna dan menimbang baik buruknya terlebih dahulu.
“Apakah ini adalah jawaban yang benar?” hatinya sebenarnya cukup ragu-ragu saat memikirkan kata-kata penolakan tadi.
“Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Mau sampai kapan? Dia sudah tidak ada, dan kamu harus melanjutkan hidupmu tahu. Kalo dia bisa datang ke mimpimu, dia pasti akan mengatakan untuk tidak berlama-lama dalam kesedihan seperti ini!!
Jadi Ndre,”
Untuk sesaat, saat mendengar kata-kata terakhir Linda, dia sekilas melihat wajah Fiona malam itu. Wajah yang tersenyum walau tahu hidupnya mungkin akan berakhir. Wajah yang tampak begitu damai di tengah dinginnya malam itu hingga menjelang akhir hidupnya. Dan tanpa dia sadari, air matanya mulai menetes dan sedikit membasahi pipinya.
“DIAM!!” dia membentak Linda dengan suara yang lantang hingga menggema di basemen tempat mereka berada sekarang ini.
“Jangan terlalu lama? Kejam sekali kamu mengatakan itu dengan mudahnya,” ingin sekali rasanya dia mengatakan kalimat itu kepada Fiona saat ini juga. Namun apa daya, semua itu tinggal angan-angannya saja.
***
Selama perjalanan menuju stasiun KRL terdekat, suasana dalam mobil begitu hening, hanya suara penyiar radio dan hiruk pikuk lalu lintas di luar yang terdengar di telinga Andre dan Linda. Mereka tidak berbicara sama sekali karena apa yang terjadi di basemen tadi.
Saat tiba di salah satu stasiun KRL dekat apartemen mereka, dia melihat Linda tampak seperti memikirkan sesuatu. Tidak seperti biasanya, yang langsung turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam stasiun.
“Soal yang tadi, aku..”
“Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan itu sama sekali,” Andre menyela perkataan Linda karena tidak ingin moodnya rusak lebih parah hari ini. Apalagi hari ini ada pekerjaan besar dan penting yang harus dia tangani.
“Sejujurnya, alasanku bertanya tadi karena aku menyukaimu Ndre,”
“...” pengakuan Linda yang keluar begitu cepat sebelum Andre sempat menyela membuat dia sangat terkejut bukan main.
Namun sebelum dia hendak sempat membalas, Linda sudah buru-buru turun dari mobilnya dan berlari masuk ke dalam stasiun.
‘..karena aku menyukaimu..’Kata-kata yang keluar dari mulut Linda terus terngiang di kepala Andre saat ini.“Hei?”“Hmm?”“Apa ngak kepanjangan itu huruf i nya pak?”“Hah?”Saat menengok ke layar komputer, dia baru tersadar kalau jarinya sedari tadi menekan tombol i secara terus menerus hingga satu halaman di penuhi dengan huruf i. “Lagi banyak pikiran ya?” tanya Karto, salah satu pegawai yang bekerja di timnya. Sedikit lebih tua darinya, namun sangat dekat dengannya.“Ya lumayan lah, ada cicilan ini itu, dan masalah-masalah kehidupan lainnya,” “Pak, bukannya bapak hari ini harus menggantikan Pak Direktur untuk interview pelamat ya?” tanya salah satu bawahan Andre lagi, Gideon.Andre menepuk jidatnya. Dia langsung berdiri dari kursinya, mengambil pulpen dan sebuah map dari atas tumpukan dokumen di atas mejanya.“Thanks ya,” ucapnya sebelum meninggalkan timnya.Harinya betul-betul menjadi kacau hari ini gara-gara ucapan Linda tersebut.“Andre!! Dari mana saja lu? Hampir saja di mu
‘Dari semua bagian di kantor ini, kenapa gua harus masuk Timnya dia’ ujar Yunita dalam hati.Setelah sampai di lantai 10—atas bantuan Dodit—dia berjalan menuju bagian Marketing and Expansion sesuai dengan yang di beritahukan salah satu pegawai yang dia tanyai barusan.Walau begitu, pikirannya tetap menyuruh kakinya untuk terus berjalan maju. Begitu melihat papan nama Tim 8 menggantung dari kejauhan, Yunita menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya. Dia memkirkan cara yang benar untuk menyapa Andre nantinya. Apalagi ketika mengingat kalau mereka tidak putus dengan cara baik-baik.Tiba di ruangan Tim 8, Yunita tidak langsung masuk, dia mengintip terlebih dahulu; untuk mencari keberadaan Andre.“Kenapa hanya berdiri di depan pintu,”Kaget mendengar suara Andre dari belakang, Yunita sempat menjatuhkan tabletnya. Dia memungut tabletnya lalu berbalik untuk menyapa Andre.“A.. Andre. H.. Hai,” dia menyapa dengan terbata-bata, pikirannya seketika langsung kosong dan tidak tahu harus berkata
Yunita terdiam, walau sudah menduga pertanyaan itu pasti akan keluar dari mulut Andre begitu dia diterima. Namun, dia tidak menyangka kalau Andre akan langsung menanyakan di hari pertama mereka bertemu kembali.“Aku tidak bisa mengatakan ke kamu alasannya, tapi...”“Tidak bisa?” Andre mendengus, rasa penasaran yang ada dalam hatinya perlahan sekarang berubah menjadi rasa benci, “Jadi betul-betul karena pria itu,”“Dia tidak ada hubungannya dengan penyebab kita putus,”“Tidak ada? Kamu pikir aku bodoh Yun? Aku sudah tahu kamu selingkuh dengan dia saat kalian pertukaran pelajar ke London. Dan tidak hanya itu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia merangkulmu, bagaimana kalian terlihat mesra bersama. Dan kamu masih mau bilang kalau dia tidak ada hubungannya sama sekali? Dan juga..”Andre tiba-tiba merasakan sakit yang amat hebat di kepalanya, begitu sakit hingga dia tidak bisa menahan badannya untuk berdiri tegak.Melihat hal itu, Yunita merasa cemas dan berusaha untuk m
“Saat itu hujan deras, saya sedang menyetir, pandangannya juga tidak cukup jauh. Dan, ada sebuah plan berwarna hijau,”“Oke, bisa kau lihat lebih jelas apa yang tertulis di plang tersebut?”“Ada tanda panah, lalu..”“Lalu?”“Seorang wanita tiba-tiba menjerit, badan saya juga terasa kaku. Seperti tidak bisa di gerakkan, hujan yang begitu deras terus menusuk wajah saya, dan...” Andre tiba-tiba mengerutkan wajahnya, nafasnya juga mulai tidak beraturan,.“Oke, Andre. Dengarkan suara saya. Saya akan menghitung dari satu sama tiga. Dan pada hitungan ketiga, kamu akan membuka matamu seolah kenangan buruk itu tidak pernah terjadi. Satu.. dua... tiga..” ucap Bu Riska, psikiater yang sudah menangani Andre selama tiga bulan terakhir ini.Sesuai dengan instruksi yang di berikan oleh Ibu Riska, Andre mulai bernafas dengan sebelum akhirnya membuka matanya pada saat Ibu Riska menyebutkan angka tiga.“Semenjak kapan mimpimu yang ini muncul,”“2 atau 3 hari yang lalu mungkin? Setelah saya pulang dari
"KEHADIRAN YANG TIDAK DI HARAPKAN" PART II‘Pokoknya, hari ini kita harus berhasil’, Andre berucap dalam hatinya saat menunggu tidak jauh dari Rumah Yunita—sebab, Yunita agak khawatir dengan respon keluarganya saat melihat Andre secara tiba-tiba.“Hai, kamu terlihat cantik hari ini,” Andre melontarkan pujian saat melihat Yunita yang tampak cantik dengan long dress berwarna kremnya.Akan tetapi, Yunita tidak termakan oleh rayuan yang banyak di lontarkan oleh buaya darat tersebut,“Ngak usah banyak gombal kamu, jalan saja,” ucapnya sambil memakai sabuk pengamannya saat Andre mulai menginjak gas.Yunita sebenarnya merasa agak gugup kali ini. Sebab saat upacara kelulusan, dia waktu itu tidak hadir karena sedang sakit dan di gantikan oleh kakaknya. Juga, baru kali ini dia mengikuti acara reuni angkatan kampusnya.Sedangkan bagi Andre sendiri, kali ini merupakan pertama kalinya dia hadir tanpa di temani Fiona.“Apa saja yang biasa angkatan kita lakukan saat acara reuni seperti ini?” Yunita
“Maaf, maaf, saya agak buru-bu..” Yunita diam membisu saat menatap wajah orang yang tidak sengaja dia tabrak dan orang itu ternyata adalah Yoshua. “Hai,” “H.. hai,” dia menjawab dengan terbata-bata. “Sudah lama ya?” Yoshua bertanya. Seperti Andre, wajah Yoshua juga tidak banyak berubah semenjak jaman kuliah dulu. “Cukup lama. Mungkin..” “Ternyata ada satu lagi wajah yang cukup akrab ya,” di tengah-tengah Yunita yang sedang berbicara, Andre datang menyela; dia bahkan sengaja menggandeng tangan Yunita secara terang-terangan. Dia tidak tahan melihat Yoshua berada di dekat Yunita. Terlebih lagi karena Yoshua merupakan salah satu saingannya demi memperebutkan Yunita. Dan setelah mendengar dari Dodit dan beberapa teman angkatannya kalau Yoshua ternyata masih sendiri sampai sekarang, Andre menjadi merasa was-was terhadap Yoshua. “Kalian...” “Yup, persis seperti yang lu pikirkan,” ingin menyingkirkan Yoshua secepat mung
“Hai,” Linda menyapa Andre dengan senyuman tipis di wajahnya.Akan tetapi, Andre hanya menatap Linda dengan tatapan yang dingin. Dia memang sudah muak dan kesal karena Linda tidak pernah menyerah sama sekali meski dia sudah menolaknya berkali-kali.“Tidak usah bersikap sok akrab, ada urusan apa kau ke sini?” Andre sengaja berbicara dengan gaya bicara yang biasa dia pakai untuk menghadapi orang yang dia tidak suka, agar Linda tidak merasa tenang sedikit pun.“Kenapa tidak, kita sudah bertetangga satu sama lain? Apakah itu bukan akrab namanya?”“Dulunya, hingga akhirnya kau sendiri yang menghancurkannya dengan sifat keras kepalamu itu,”“Baiklah, tapi suka atau tidak. Kau tetap harus menerimaku bekerja di sini,” ucap Linda sambil menyerahkan selembar kertas yang di masukkan ke dalam map plastik berwarna biru.Dia juga sempat melirik ke arah Yunita dan dengan sengaja memperlihatkan tat
“Yunita, mana laporan untuk Grand Launchnya Ibu Tari?” pinta Andre,Tidak butuh waktu lama bagi Yunita untuk memberikan apa yang Andre minta, sebab dia sudah terbiasa dengan alur kerja dari Tim 8 yang serba gesit.“Oke, Gideon, kalian berdua ikut saya,” ujar Andre setelah melihat sekilas laporan Yunita dan cukup puas dengan hasilnya. Dia juga sempat memberikan kedipan kepada Yunita untuk menggodanya.Namun bagi Linda yang kebetulan melihat semua itu, adegan rayu merayu yang di lakukan keduanya membuatnya semakin merasa cemburu,“Kneapa giliran wanita itu kamu malah bisa tersenyum seperti itu,” gumamnya.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap menekan emosinya. Sekarang ini, dia lebih memilih untuk fokus mengambil hati semua Tim 8 dengan kinerjanya; tentu juga sambil memikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan Yunita.“Ini pak, refrensi yang bapak minta,”“Thanks. Oh iya,