Share

BAB V

“Saat itu hujan deras, saya sedang menyetir, pandangannya juga tidak cukup jauh. Dan, ada sebuah plan berwarna hijau,”

“Oke, bisa kau lihat lebih jelas apa yang tertulis di plang tersebut?”

“Ada tanda panah, lalu..”

“Lalu?”

“Seorang wanita tiba-tiba menjerit, badan saya juga terasa kaku. Seperti tidak bisa di gerakkan, hujan yang begitu deras terus menusuk wajah saya, dan...” Andre tiba-tiba mengerutkan wajahnya, nafasnya juga mulai tidak beraturan,.

“Oke, Andre. Dengarkan suara saya. Saya akan menghitung dari satu sama tiga. Dan pada hitungan ketiga, kamu akan membuka matamu seolah kenangan buruk itu tidak pernah terjadi. Satu.. dua... tiga..” ucap Bu Riska, psikiater yang sudah menangani Andre selama tiga bulan terakhir ini.

Sesuai dengan instruksi yang di berikan oleh Ibu Riska, Andre mulai bernafas dengan sebelum akhirnya membuka matanya pada saat Ibu Riska menyebutkan angka tiga.

“Semenjak kapan mimpimu yang ini muncul,”

“2 atau 3 hari yang lalu mungkin? Setelah saya pulang dari rumah orang tuaku,”

“Dan sebelumnya kamu tidak pernah memimpikannya?”

“Nope,”

“Oke,” Ibu Riska menjawab sambil menuliskan semua catatan terkait sesi hipnoteraphy hari ini di buku besar khusus untuk kasus milik Andre.

Melihat jam di dinding ruangan milik Bu Riska menunjukkan pukul 1 siang—yang artinya waktu istirahat kantornya sudah isai—Andre langsung berpamitan kepada Bu Riska.

Sudah seminggu setelah kejadian di kantor waktu itu. Hubungannya dengan Yunita bisa dibilang tidak ada perkembangan sama sekali walaupun mereka sudah melakukan ciuman yang terbilang cukup panas saat itu.

'Tanya saja ke orang tuamu' kata-kata itu terus mengantuinya. 

Tiba di kantor, Andre di kejutkan dengan kerumunan orang yang berkerumun di depan ruangan Timnya.

“Kenapa pada berkerumun di sini hah? Ngak punya kerjaan lain kalian?!” Andre tegas menegur kerumunan tersebut dengan suara yang lantang.

“Jadi kau yang namanya Andre?” seorang perempuan yang gaya bicaranya seperti sedang menantang tiba-tiba menyahut kepada Andre.

Andre mencoba menahan diri untuk tidak membentak balik perempuan di depannya ini. Karena jika di perhatikan secara sekilas, perempuan ini pasti jauh lebih tua darinya.

“Maaf bu, ada perlu apa ya?” Andre berusaha bersikap seramah mungkin,

“Ada perlu apa? Dasar laki-laki tidak tahu malu. Baru seorang Kepala Tim saja sudah merasa sok kamu. Berani-beraninya kamu menyakiti anak saya!”

Pernyataan mendadak yang terlontar dari mulut perempuan ini dengan suara yang nyaring, sontak langsung mengundang perhatian. Tidak hanya dari anggota Tim 8 saja, namun semua orang yang mendengar hal tersebut.

“Maaf ya bu, saya tidak mengeri maksud ibu apa. Dan juga, saya...”

“MOM!!” Andre mendengus begitu mendengar suara Linda, 

“Dasar orang-orang gila,” Andre berujar dalam hatinya; 

“Mama kenapa sampai ke sini sih,” Linda berbisik sambil mencengkeram lengan ibunya, “Maaf Ndre, maaf banget,”

“Kenapa kamu yang minta maaf? Dia sudah..”

“Maaf ya bu, saya tidak punya hubungan apa-apa dengan Linda. Jadi tolong jangan mencemarkan nama baik saja lebih jauh lagi. Dan kau Linda..” Andre berhenti sejenak, dia menarik nafas agak dalam demi menahan emosinya yang sudah siap untuk meluap kapan pun,

“Tolong jelaskan kepada ibumu dengan baik dan jelas,” lanjutnya dengan gigi yang terkatup.

“I.. iya, maaf semuanya, maaf sudah membuat keributan,” ucap Linda sembari memaksa ibunya untuk meninggalkan tempat itu. 

Begitu kembali ke mejanya, Andre yang merasakan kepalanya sedikit pusing, langsung mengambil obat yang biasa dia minum setiap kali habis marah-marah cukup hebat.

Yunita tampak khawatir saat Andre meminum 2 jenis obat yang di minum terpisah. Dia kemudian mengambil handphonenya dan mengirim pesan kepada Andre,

‘Taman yang waktu itu. Sekarang!!.’

Setelah membaca pesan tersebut, Andre menggunakan alasan rapat dengan Dodit untuk bisa pergi diam-diam dengan Yunita—yang biasa juga dia gunakan untuk sekedar istirahat diam-diam dari pekerjaannya.

***

“Sudah berapa lama kamu mengonsumsi obat-obatan itu?” Yunita langsung betanya tanpa berbasa-basi saat mereka tiba di taman tempat Andre menciumnya secara tiba-tiba.

“Gara-gara itu doang kamu nyeret aku ke sini. Jujur deh, kamu bukannya nyeret aku ke sini sini karena kangen kan?” Andre menggoda dengan senyumannya.

Semenjak kejadian seminggu yang lalu dia memang sudah bertekad untuk mendapatkan hati Yunita lagi, bagaimana pun caranya.

“Ngak usah cengengesan kamu, jawab saja pertanyaanku,”

“Sebegitu penasarannya?" Andre tersenyum tipis, "Begini saja, kamu temanin aku ke acara reuni universitas kita besok, bagaimana?” Andre bernegosiasi dengan menggunakan rasa penasaran Yunita.

“Untuk apa?” Yunita bertanya. Dia merasa curiga dengan ajakan Andre.

Akan tetapi, Andre tidak menjawab. Dia hanya tersenyum menatap Yunita sebelum kemudian berbalik dan berjalan pergi.

Yunita sebenarnya tidak ingin menuruti permintaan Andre tersebut. Akan tetapi rasa penasarannya memaksanya untuk setuju-setuju dengan persyaratan Andre tersebut. Terlebih lagi, hal ini sangat berkaitan dengan kesehatan Andre.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status