"Hentikan, Pak. Saya Yaya--"
Mazaya meronta sekuat tenaga dari kungkungan seorang pria di atas tubuhnya. Melawan cekalan tangan pria tersebut yang saat ini dan bahkan sedang menyusuri bagian leher serta hendak meraup bibirnya dengan paksa."Hentikan, Pak Devan. Sadar, Pak? Lepasin!"Mazaya dengan sekuat tenaga berhasil mendorong tubuh Devan yang jauh lebih besar dan tinggi darinya itu. Lalu dengan langkah cepat menuju ke pintu agar bisa keluar dari kamar tersebut.Sialnya, langkah gadis berusia dua puluh tahun tahun itu kalah cepat dengan langkah Devan dan berhasil meraih pinggangnya hingga dibawa kembali ke atas ranjang."Pak Devan. Hentikan! Eling, Pak," pekik Mazaya yang kembali meronta. Tapi, tenaganya yang tak seberapa itu, tidak bisa mengimbangi tenaga Devan yang semakin liar dari sebelumnya."Diam!!" desis Devan yang semakin erat mencekal kedua lengan Mazaya ke atas kepala gadis tersebut.Pria itu adalah -Devan Mahardika yang merupakan dosen killer di kampus dan sekaligus calon kakak ipar yang akan dijodohkan dengan kakaknya. Mazaya sendiri baru tahu perjodohan itu dari satu bulan yang lalu.Devan kini tanpa ampun melucuti pakaian Mazaya dan gadis itu pun semakin menjerit dengan apa yang dilakukan oleh pria tersebut.Bersamaan terdengar suara nyaring kembang api di luar kamar hotel tersebut dan meredam teriakan pilu Mazaya di saat kesuciannya yang direnggut paksa oleh calon kakak iparnya sendiri.Devan yang tampak kelelahan terbaring di atas ranjang yang dan mulai terlelap tidur.Sementara Mazaya meringkuk di sudut ranjang dengan memegangi lututnya, rambut hitam panjangnya yang berantakan dan terus saja terisak menangis.Tubuhnya pun bergetar dan mata yang semakin sembab karena terus-menerus mengeluarkan air matanya sejak tadi.Bersamaan ia melirik ke arah punggung polos Devan yang ada di sampingnya. Tatapannya saat ini dipenuhi dengan kebencian dan juga amarah.Keesokan harinya.KringKringTerdengar suara dering ponsel milik Mazaya dan Hal itu membuat Mazaya tercekat dan mencari-cari di mana ponselnya berada.Rupanya ada di bawah ranjang. Ia pun segera menjawab panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo--""Yaya, kamu di mana sih? Aku telpon gak diangkat. Kamu gak apa-apa 'kan?"Cecaran pertanyaan dari sang sahabat membuat Mazaya tidak tahu harus berkata apa lagi."Nanti aku jelasin, Nad. Aku tutup dulu telponnya.""Tapi, Yaya--"Mazaya segera mematikan panggilan tersebut, lalu melirik ke arah Devan yang tampaknya tertidur.Masih dengan air mata yang mengalir di pipi dan sakit di bagian selangkangannya, Mazaya turun dari atas ranjang. Kemudian memunguti pakaian yang berceceran di lantai.Mazaya dengan langkah tertatih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Namun, ia dibuat terkejut karena ada banyak sekali tanda merah di sekitar area bagian atas tubuhnya."Apa-apaan ini," lirihnya.Dengan sekuat tenaga, tangan Mazaya menggosok-gosok tanda merah itu dengan air dan sabun serta berharap hilang dari tubuhnya. Tapi, tentu saja itu tidak akan hilang begitu saja. Meskipun ia melakukan usaha sekeras mungkin saat ini.Ingatan Mazaya pun melayang di mana sebelumnya ia mendapatkan permintaan pesanan jasa titip makanan ke sebuah hotel. Lalu ia tanpa sengaja melihat Devan di lorong hotel dalam keadaan wajahnya tampak pucat , hingga hampir terjatuh. Tanpa pikir panjang dirinya pun membantu Devan.Akan tetapi, begitu Mazaya membawa masuk Devan ke kamar pria tersebut. Ia malah ditarik paksa dan mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya. Kehormatannya telah direnggut paksa.Mazaya masih tidak mengerti ada apa dengan Devan karena tidak menghirup aroma alkohol yang kuat dari mulut pria tersebut. Tapi, kenapa Devan yang selama ini bersikap dingin kepada semua orang dan termasuk dirinya yang merupakan calon adik iparnya sendiri, malah bersikap liar seperti beberapa saat yang lalu?Semua pertanyaan itu berputar di dalam kepala Mazaya saat ini. Tapi, ia tidak mendapatkan jawabannya. Itu karena semuanya sudah terlanjur terjadi dan hanya menyisakan rasa kecewa, marah dan sakit hatinya secara bersamaan.Mazaya mengelap cepat air mata yang masih membasahi wajahnya. Ia secepat mungkin membersihkan dirinya, lalu setelahnya keluar dari kamar mandi dan akan membangunkan Devan. Setidaknya mereka harus bicara empat mata atas apa yang terjadi.Ketika Mazaya baru saja keluar dari kamar mandi dan menutup pintu, di saat yang sama Devan pun terbangun.Devan tampak memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan terasa mual bersamaan. Tapi, ia tampak tidak terkejut dengan keadaannya yang sedang bertelanjang dada di balik selimutnya. Itu karena dirinya sudah terbiasa tidur tanpa memakai pakaian dan hanya memakai celana pendek saja. Selain itu kamarnya itu pun khusus untuk dirinya sendiri.Namun, hal yang membuat Devan lebih terkejut adalah ada seorang wanita di kamarnya dan saat ini tengah memunggunginya."Kamu siapa?"Mazaya masih berdiri dan membelakangi Devan, ia mengusap wajahnya agar tidak tampak menunjukkan wajah sedihnya. Kemudian memutar punggungnya dan memberanikan diri menatap ke arah pria tersebut.Bersamaan mata Devan melebar ketika melihat seorang gadis muda yang ternyata calon adik iparnya sendiri."Bukannya kamu Mazaya adiknya Nasuha?! Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Devan heran. Ia memang mengenal Mazaya yang selain calon adik iparnya, tapi juga merupakan salah satu anak kuliahan atau mahasiswinya di kampus. Meskipun begitu, tapi apa maksudnya Mazaya ada di kamarnya saat ini? Tidak mungkin kan Mazaya diam-diam menyukainya dan datang ke kamarnya?Mazaya menarik nafasnya dalam-dalam dan sebisa mungkin membendung air mata yang ternyata kian berdesakan ingin keluar."Apa Pak Devan gak ingat apa yang terjadi di antara kita?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.Pria berumur tiga puluh lima tahun itu mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi di antara mereka. Yang ia ingat adalah dirinya sedang bersama beberapa dosen menikmati makan malam di restoran hotel itu dan memang berencana menginap di sana. Tapi, mendadak kepalanya pusing dan kembali ke kamarnya. Setelahnya ia tidur di kamarnya. Meskipun begitu entah kenapa ia merasa bermimpi aneh."Saya gak ingat. Emangnya apa yang terjadi sampai kamu ada di sini?"Devan bertanya seraya turun dari atas ranjang dengan tubuhnya setengah telanjang itu.Bersamaan Mazaya mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menggigit bibir bawahnya. Itu karena ia semakin ragu untuk mengatakan jika mereka telah tidur bersama dan pria di depannya itu sudah mengambil kehormatannya. Apakah mungkin Devan akan percaya kepadanya?"Apa Pak Devan bener-bener gak ingat sama sekali apa yang terjadi di antara kita sekitar dua jam yang lalu?" tanya Mazaya kembali.Devan malah menarik ujung sudut bibirnya sambil menatap Mazaya dengan tatapan sinis."Saya udah bilang 'kan, saya gak ingat! Tapi, tunggu dulu, gimana kamu bisa masuk ke kamar ini? Jangan bilang kamu sengaja datang buat menggoda saya?" tuduhnya.Di saat yang sama Mazaya mendelikkan matanya atas tuduhan Devan."Maksud Pak Devan apa, menggoda? Itu benar-benar keterlaluan!" ucap Mazaya tidak terima. "Saya tadi nolongin Pak Devan yang hampir jatuh di lorong hotel. Tapi, Pak Devan malah buat yang--" Ucapan Mazaya tersekat dan lidahnya terasa begitu kelu karena rasanya ia tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, di mana mengingatkannya dengan lembaran ingatan semalam yang membuatnya hampir tidak bisa bernafas.Sementara Devan menaikkan sebelah alisnya melihat sikap Mazaya saat ini yang baginya seperti sedang bersandiwara. Ia sudah bertemu dengan berbagai wanita seperti Mazaya yang tampak polos dari luar tapi nyatanya tidak demikian. Di mana bersikap layaknya korban, tapi sebenarnya merekalah penjahat yang sebenarnya. Terlebih lagi di saat para wanita itu tahu tentang latar belakang keluarganya yang merupakan keturunan konglomerat."Apa kamu mau bilang kalau saya meniduri kamu dan kamu mau saya bertanggungjawab?! Kamu lupa kalau saya akan menikah sama kakak kamu," ucapnya dengan angkuh seray
Mata Mazaya membola sempurna di saat melihat sang kekasih dan seorang wanita yang dikenalnya, berada dalam selimut yang sama dalam keadaan setengah telanjang."Jadi, selama ini yang kalian lakukan di belakangku?" cicit Mazaya sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya.Hal yang membuat Mazaya sakit hati dan sekaligus kecewa adalah wanita yang bersama sang kekasihnya itu adalah sahabatnya sendiri. Padahal sebelumnya begitu mengkhawatirkanya di telpon. Tapi, siapa sangka malah menusuknya dari belakang."Ya-Yaya ...."Pria yang merupakan kekasih Mazaya itu baru menyadari keberadaan sang kekasih di dekat pintu yang sedikit terbuka tersebut.Namun, Mazaya bukannya menanggapi atau menggila karena dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Tapi, ia langsung berbalik. Lalu dengan langkah cepat keluar dari apartemen tersebut dengan air matanya yang kian berderai.Mazaya tahu dirinya pun salah telah tidur dengan Devan. Tapi, sejak kapan hubungan sang kekasih dan sahabatnya dimulai? Apa selama
"Saya yakin kamu juga gak mau 'kan masa depan kamu jadi hancur karena hamil di luar--""Cukup, Pak Devan!!" Untuk kesekian kalinya Mazaya menyela ucapan Devan. Tapi, kali ini hatinya rasanya sudah remuk redam, tapi air matanya sudah tidak mampu lagi untuk keluar.Bagaimana tidak. Ia pikir Devan setidaknya mengatakan kata menyesal dan ingin bertanggungjawab meskipun tidak sampai menikahinya. Tapi, sampai akhir pun pria itu sama sekali tidak ingin bertanggungjawab ataupun sampai ada masalah jika dirinya hamil dan akan menuntut. Lalu apa lagi yang diharapkannya dari pria yang tidak punya hati seperti Devan? Tidak ada!"Itu gak akan terjadi karena kita gak pernah melakukan apapun, Pak. Saya mohon apa bisa saya keluar sekarang?Saya mau pulang dan istirahat," ucapnya dengan memaksakan tenggorokannya yang begitu sulit untuk berbicara.Devan masih sedikit ragu apa yang dikatakan oleh Mazaya itu benar. Tapi, wanita itu sama sekali tidak menuntut apapun darinya saat ini dan mungkin saja memang
"Gak apa-apa, Mbak. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku juga masih punya sedikit tabungan. Jadi, Mbak jangan khawatir lagi," ucap Mazaya seraya memeluk sang kakak.Kakak dan adik itu saling berpelukan dengan erat. Mereka seakan saling menguatkan satu sama lainnya saat ini. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi mereka untuk menjalani hidup yang serba kesusahan.Usai sang kakak merasa lebih tenang, Mazaya pun memberitahukan pihak rumah sakit agar mengurus jenazah sang ayah.Prosesi pemakaman pun berjalan dengan lancar. Meskipun Nasuha kembali histeris di tanah kuburan sang ayah dan Mazaya lagi-lagi harus menenangkan kakaknya itu. Terlebih lagi selama ini tubuh kakaknya itu lemah dan sering sakit-sakitan.Di saat yang sama, keluarga Devan datang melayat dan mengucapkan belasungkawa kepada Nasuha dan Mazaya."Kamu jangan khawatir, Suha. Tante dan Om akan tetap tepati janji buat menikahkan kamu sama Devan," ucap Puspita- Ibunya Devan."Iya benar. Sebaiknya pernikahannya dipercepat
"Yaya, kamu kerja di sini?" sapa Nasuha dengan wajah semringah dan bergelayut manja di lengan Devan.Tampak Nasuha masuk menyusul Devan ke toko bunga tersebut. Kakaknya itu kian cantik dan terawat. Ia yakin kehidupan rumah tangga sang kakak dilimpahi kebahagiaan."I-iya, Kak. Gimana kabar Kak Suha?" balas Mazaya yang memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Alhamdulillah baik, kalau kamu gimana? Maaf ya, kakak lagi sibuk urus rumah sama suami belakangan ini. Jadi, gak sempet telpon kamu, tapi kamu baik-baik aja 'kan?" ucap Nasuha yang terdengar seperti menyesal telah mengabaikan Mazaya, padahal kenyataannya memang seperti itu."Gak apa-apa, Kak. Alhamdulillah aku baik-baik aja kok," balas Mazaya dengan senyuman yang sama terpaksa seperti sebelumnya."Aku mau pesan buket bunga mawar putih ukuran besar," ucap Devan tiba-tiba memecah pembicaraan dua kakak beradik itu, tapi ia seolah-olah tidak mengenal Mazaya dan bersikap dingin."Baik," jawab Mazaya dengan mengulas senyumannya. Ia sebisa m
"Ini gak mungkin kan? Aku tadi pasti salah dengar! Aku yakin kalau mereka baik-baik saja."Mazaya sebisa mungkin menepis atas apa yang didengarnya beberapa saat yang lalu. Hal itu juga tidak akan merubah apapun bagi dirinya. Sekalipun ia akan menuntut demi anaknya? Itu sama saja seperti menyerahkan sukarela anaknya itu pada mereka."Nggak! Nggak boleh! Aku gak bisa hancurkan rumah tangga Kak Nasuha. Dia pasti kecewa dan benci sama aku kan," gumam Mazaya lirih.Dengan langkah kaki yang berat, Mazaya pun pergi dari tempat tersebut. "Yaya, kenapa kamu ada sini?" panggil seseorang dari arah belakang.Mazaya mengenal betul suara yang memanggilnya tersebut. Ia tidak lain adalah mantan sahabat nya - Nadia. Meskipun enggan untuk bertemu, tapi pada akhirnya dirinya menyahut sapaan wanita tersebut."Hei, Nad. Apa kabar?" sapanya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Kabarnya gak terlalu baik sih .... Eh, tapi, kamu kemana aja sih, Yaya? Kamu udah gak kuliah lagi dan aku khawatir sama kam
"Apa saya bisa lihat perjanjian kerjanya dulu, Bu Erina?" ucap Mazaya yang sedikit ragu sebenarnya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan terlebih dahulu kontrak kerjanya."Silahkan, Mbak," ucap Erina menyerahkan beberapa lembaran kertas di atas meja yang ada di depan mereka.Mazaya pun membaca apa yang tertulis di lembaran kertas di tangannya itu, lalu yang membuatnya tercengang adalah nominal gaji yang ditawarkan benar-benar besar. Bahkan ada beberapa bonus tunjangan yang nilainya tidak sedikit."Apa ini gak salah, Bu. Gaji yang saya terima senilai sepuluh juta perbulan. Itu sudah dua kali lipat dari gaji gardener yang saya tahu," ucapnya heran."Itu karena mall kami sudah standar internasional dan tempat itu sering dikunjungi wisatawan asing serta para petinggi atau keluarga Kerajaan dari luar negeri. Selain itu ada satu hotel kami yang memakai jasa anda," terang Erina. "Anda juga akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan pribadi, jika bersedia menerima tawaran ini
"Mazaya? Kamu Mazaya 'kan? Apa dia anak kamu? Kapan kamu menikah?" Dengan rasa penasaran di hatinya, Devan bertanya pada Mazaya tentang anak yang saat ini digendong oleh wanita di depannya itu. Terlebih lagi wajah bocah laki-laki yang ada di depannya tanpa begitu mirip dengan dirinya. Hal itu seakan membuatnya merasa memiliki ikatan dengan anak tersebut Raut wajah Mazaya semakin pucat pasi karena karena tatapan Devan mengarah ke putranya. Hal itu membuatnya tidak nyaman, sekaligus khawatir seperti yang selama ini dicemaskannya."Yaya," ulang Devan karena Mazaya malah terdiam di tempatnya. Wanita di depannya kini lebih cantik, dewasa dan matang dari kali terakhir mereka bertemu."Ibu, ayo mamamnya. Aku lapel nih." Askara meronta dalam gendongan ibunya, entah karena lelah atau mungkin memang rasa lapar mengundang perutnya dan meminta untuk segera diisi."Iya, kita pergi sekarang," balas Mazaya yang berusaha menenangkan putranya.Kemudian Mazaya menghirup udara di sekitarnya dengan be