Share

Bagaikan Mimpi Buruk

"Maksud Pak Devan apa, menggoda? Itu benar-benar keterlaluan!" ucap Mazaya tidak terima. "Saya tadi nolongin Pak Devan yang hampir jatuh di lorong hotel. Tapi, Pak Devan malah buat yang--"

Ucapan Mazaya tersekat dan lidahnya terasa begitu kelu karena rasanya ia tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, di mana mengingatkannya dengan lembaran ingatan semalam yang membuatnya hampir tidak bisa bernafas.

Sementara Devan menaikkan sebelah alisnya melihat sikap Mazaya saat ini yang baginya seperti sedang bersandiwara. Ia sudah bertemu dengan berbagai wanita seperti Mazaya yang tampak polos dari luar tapi nyatanya tidak demikian.

Di mana bersikap layaknya korban, tapi sebenarnya merekalah penjahat yang sebenarnya. Terlebih lagi di saat para wanita itu tahu tentang latar belakang keluarganya yang merupakan keturunan konglomerat.

"Apa kamu mau bilang kalau saya meniduri kamu dan kamu mau saya bertanggungjawab?! Kamu lupa kalau saya akan menikah sama kakak kamu," ucapnya dengan angkuh seraya memakai pakaiannya.

Bibir Mazaya berkedut sambil mengepalkan tangannya, mendengar rentetan tuduhan Devan yang benar-benar merendahkannya.

"Pak Devan pikir saya serendah itu sampai melakukan hal licik seperti yang Pak Devan itu bilang? Saya masih waras dan saya juga punya pacar dan gak mungkin mau tidur dengan sembarang cowok, apalagi calon kakak ipar saya sendiri," ucapnya dengan nada kesal. Rasa sakit di belahan intinya saat ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan hinaan Devan kepadanya.

Mazaya semakin menatap tajam ke arah Devan saat ini. Ia memang awalnya ingin minta tanggungjawab. Tapi, apa sekarang? Pria itu malah menuduhnya seperti wanita murahan.

"Jangan bersikap polos di depan saya! Baiknya kamu keluar dari kamar saya sekarang juga atau saya adukan kamu sama ayahmu!" balas Devan yang secara tidak langsung mengelak bahwa terjadi sesuatu di antara mereka.

Mazaya semakin meradang dengan apa yang dikatakan oleh Devan. Jika tahu pria itu akan menghinanya seperti itu, ia mungkin tidak akan menuntut apapun dan akan langsung angkat kaki dari kamar tersebut sejak dari tadi.

Namun, belum sempat Mazaya membalas ucapan Devan, pria tersebut dengan wajah tidak bersalahnya masuk ke kamar mandi.

"Dosen apanya?! Aku harap 'anumu' itu gak bakalan hidup selamanya, Pak Devan," kecamnya menatap tajam ke arah pintu kamar mandi di depannya.

Mazaya dengan dada yang bergemuruh itu segera keluar dari kamar tersebut. Rasanya percuma saja meminta pertanggungjawaban dari pria seperti Devan yang begitu angkuh dan arogan. Dirinya akan menganggap malam itu seperti mimpi buruk yang harus segera dilupakannya.

Meskipun masa depannya mungkin akan lebih suram dari sebelumnya atau lebih buruknya akan hancur. Ya, tentu saja. Ia sudah memiliki kekasih dan hubungannya pun harus kandas karena dirinya yang sudah kotor dan tidak perawan lagi saat ini.

Sementara itu, Devan yang sudah selesai mandi segera memakai pakaiannya dan menyingkap selimut untuk mencari ponselnya. Tapi, di saat yang sama ia melihat bercak noda darah di atas sprei.

"Apa ini darah?" gumamnya dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Devan masih bertanya-tanya noda apa di kamarnya itu, tidak mungkin kan noda darah perawan dari Mazaya? Jika benar, bagaimana ia bisa tidak ingat apa yang terjadi diantara mereka?

Namun, Devan saat ini tidak mempunyai cukup waktu untuk memikirkan semua pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ia harus segera pergi ke suatu tempat.

Devan sudah berada di mobilnya , tapi pertanyaan tentang apa yang terjadi dengannya dan Mazaya kembali mengusiknya. Ia menghubungi satu-persatu teman-temannya untuk bertanya apa ada seorang wanita yang masuk ke kamarnya? Tetapi, dirinya sama sekali tidak mendapatkan jawaban yang puas. Hingga sebuah kemungkinan pun muncul dalam pikirannya.

Devan pun berpikir mungkin saja ada seseorang yang memasukkan obat di minumannya. Tapi, siapa? Ia mulai mengingat-ingat kembali apa yang terjadi kepadanya usai makan malam.

Hingga salah satu teman Devan yang kebetulan ada di hotel itu menelpon dan mengatakan melihat Devan dan seorang wanita masuk ke kamar hotel.

"Gimana, Van. Sukses?"

"Maksud kamu apa hah?!"

"Katanya sih 'anu' mu itu gak bangun-bangun. Tapi, aku lihat kamu bawa cewek ke hotel. Kalian lagi itu kan?"

"Kurang ajar!"

Devan langsung memutus panggilan tersebut dan melemparkan ponselnya di atas kursi mobilnya saat ini.

"Sialan! Gimana aku bisa bawa Mazaya ke kamar?"

Devan kesal sekaligus marah karena bisa-bisanya temannya itu mengatakan tentang miliknya yang tidak bangun dan menudingnya berhubungan dengan Mazaya. Meskipun pada kenyataannya ia sengaja menyebarkan rumor tentang dirinya yang 'impoten'.

Itu semata-mata dilakukan agar fokus dengan pekerjaan dan tidak ada yang mengganggunya. Selain itu masalahnya di kampus tidak ada yang tahu jika dirinya sudah dijodohkan dengan kakaknya Mazaya.

Devan segera melajukan kendaraan roda empat yang dikemudikannya itu dan entah akan pergi kemana.

Sementara itu di tempat lain.

Mazaya sendiri sudah berada di dalam taksi, lalu memilih untuk pulang ke rumah untuk menenangkan hati dan pikirannya.

Akan tetapi, pada akhirnya Mazaya memilih untuk tidak pulang dan akan menemui sang kekasih di apartemennya. Setidaknya hubungan mereka harus berakhir dengan cara yang baik. Meskipun ia yakin sang kekasih tidak akan terima dengan keputusannya yang mendadak untuk putus.

'Apa aku harus bicara jujur aja kalau udah tidur sama cowok lain? Apa iya harus bilang cowok itu Pak Devan?''

Mazaya bermonolog di dalam hatinya. Menebak-nebak dan berperang batin, apakah mungkin sang kekasih bisa menerima keadaannya yang sudah tidak perawan lagi?

'Ah, enggak! Aku gak boleh egois seperti ini. Aku udah kotor dan gak pantas lagi buat dia 'kan ....'

Mazaya pun memantapkan hatinya untuk menemui sang kekasih dan akan mengakhiri hubungan mereka. Siap atau tidak, ia harus melakukannya hari itu juga.

Tidak sampai satu jam, Mazaya tiba di sebuah apartemen mewah .

Kemudian Mazaya menuju ke apartemen kekasihnya. Tapi, begitu sampai ia malah berdiri cukup lama di depan pintu apartemen sang kekasih. Dirinya merasa ragu untuk masuk dan tidak punya cukup banyak keberanian untuk menyatakan putus. Hingga pada akhirnya tangannya pun menekan tombol sandi yang ada di sisi pintu.

Mazaya memang sudah mengetahui kata sandi tempat tinggal kekasihnya tersebut, lalu masuk layaknya tempat tinggalnya sendiri. Ia memang tidak mengabari akan datang karena yakin sang kekasih berada di apartemennya karena itu hari Minggu.

Baru beberapa langkah kakinya memasuki apartemen tersebut, ia mendengar suara desahan wanita dari kamar sang kekasih.

"Su-suara siapa itu?"

Mazaya bergumam lalu dengan langkah hati-hati menghampiri pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu. Ia pun mengintip apa sebenarnya yang terjadi di dalam sana.

'I-itu kan?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status