Mata Mazaya membola sempurna di saat melihat sang kekasih dan seorang wanita yang dikenalnya, berada dalam selimut yang sama dalam keadaan setengah telanjang.
"Jadi, selama ini yang kalian lakukan di belakangku?" cicit Mazaya sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya.Hal yang membuat Mazaya sakit hati dan sekaligus kecewa adalah wanita yang bersama sang kekasihnya itu adalah sahabatnya sendiri. Padahal sebelumnya begitu mengkhawatirkanya di telpon. Tapi, siapa sangka malah menusuknya dari belakang."Ya-Yaya ...."Pria yang merupakan kekasih Mazaya itu baru menyadari keberadaan sang kekasih di dekat pintu yang sedikit terbuka tersebut.Namun, Mazaya bukannya menanggapi atau menggila karena dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Tapi, ia langsung berbalik. Lalu dengan langkah cepat keluar dari apartemen tersebut dengan air matanya yang kian berderai.Mazaya tahu dirinya pun salah telah tidur dengan Devan. Tapi, sejak kapan hubungan sang kekasih dan sahabatnya dimulai? Apa selama ini mereka membohonginya?"Yaya, tunggu aku bisa jelasin," panggil seorang pria dari arah belakang dan berhasil menyusul langkah wanita tersebut.Mazaya menghentikan langkahnya. "Mulai sekarang kita putus dan jangan hubungi aku lagi, Ren. Aku juga mau bilang kalau aku punya cowok lain yang aku suka," ucapnya tanpa menoleh dan sengaja berdusta."Tapi, Yaya aku masih cinta sama kamu--""Aku udah enggak, Ren. Aku udah gak suka kamu lagi dan aku harap kamu lupakan aku ," tukas Mazaya. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, ia pun melangkahkan kakinya. Selain itu ia berusaha untuk tidak melihat kebelakang dan melihat dua orang tadi. Itu karena mungkin dirinya tidak bisa mengendalikan diri untuk memaki mereka berdua.'Aku gak boleh nangis! Bukannya ini yang aku harepin dengan putus sama dia,' batin Mazaya berbicara dengan dirinya sendiri sambil mengelap cepat air matanya yang tak hentinya mengalir di pipinya. Ia harus menguatkan hatinya karena ada banyak hal yang harus dilakukannya. Itu karena masih dirinya masih mempunyai sang ayah tempatnya bersandar.Ketika hendak masuk ke lift, Mazaya dengan mata yang sembab itu mendapatkan panggilan di layar ponselnya. Ia yang tidak memeriksa siapa yang menelepon langsung menjawabnya."Iya hallo," ucap Mazaya dengan suara yang sedikit sengau."Yaya, ini aku. Aku minta maaf soal yang tadi. Soalnya aku benar-benar suka sama Rendra dari sekolah. Aku yang lebih dulu kenal dia dan--'"Gak apa-apa, Nad," sela Mazaya mengatakannya dengan nada setenang mungkin. Meskipun dadanya terasa begitu sesak dan hampir saja kehabisan nafas. "Aku ke sana emang mau ajak putus Rendra kok.""Tapi, aku ngerasa gak enak hati karena ketahuan lagi--""Gak usah khawatir, Nad," sela Mazaya kembali. "Udah dulu ya, aku lagi di lift dan suaranya gak begitu jelas."Mazaya memilih untuk mengakhiri panggilan tersebut dengan sebisa mungkin menahan air mata yang kian berdesakan ingin keluar.Pintu lift terbuka.Mazaya dengan jiwa dan raganya yang terasa letih itu segera keluar dari lift, tapi panggilan telpon terus saja masuk dan mengusiknya. Ia pun kembali menerima panggilan itu dan mengira itu dari sang mantan sahabat."Hallo, Nad. Udah aku bilang aku gak apa-apa dan maaf kita gak bisa lagi untuk--""Ini aku, Devan," potong suara seorang pria di ujung panggilan."Kamu di mana sekarang? Kita harus bicara ...."Mazaya menghela nafasnya panjang. Ada apa lagi pria itu menghubunginya? Belum cukupkah ia dihina dan direndahkan ketika di hotel sebelumnya?"Gak ada yang harus kita bicarain lagi. Aku gak ada waktu buat itu."Mazaya yang benar-benar lelah itu langsung menyimpan ponsel di dalam tasnya dan mengabaikan panggilan yang masuk. Ia harus bergegas untuk pergi dari apartemen tersebut.Sialnya, langkah Mazaya mendadak terhenti di saat kebetulan berpapasan dengan Devan di tempat itu. Ia sama sekali tidak tahu, jika pria tersebut ternyata tinggal di area apartemen yang sama dengan mantan kekasihnya."Ternyata kamu di sini, Yaya. Kita harus bicara serius sekarang juga," ucap Devan dengan tersenyum tipis. Siapa sangka mereka kebetulan bertemu di tempat itu."Udah saya bilang. Gak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Pak Devan," tegas Mazaya yang berbicara formal layaknya mahasiswi dan dosennya. Ia dengan menghentakkan kakinya hendak pergi dari hadapan Devan.Namun, tangan Devan langsung menarik pergelangan tangan Mazaya dengan erat dan membawanya entah kemana."Kita pokonya harus bicara," ucap Devan yang tak kalah tegasnya dari Mazaya. Ia sama sekali tidak peduli sedang apa Mazaya di area apartemen tersebut. Tapi, dirinya harus bicara empat mata hari itu juga.Sementara Mazaya dibuat terkejut dengan perlakuan Devan yang kasar kepadanya."Lepas! Bapak mau apa sih? Saya gak mau ngomong sama Bapak."Sebisa mungkin Mazaya meronta. Tapi, lagi-lagi tenaganya jauh dibawah Devan. Bahkan semakin ia melawan maka pria itu semakin erat mencekal tangannya.Rupanya Devan membawa Mazaya menuju ke mobilnya yang terparkir di area apartemen tersebut."Masuk atau kalau enggak, saya akan buat lebih kasar lagi," ancam Devan.Mazaya mengigit bibir bawahnya dan terpaksa menurut. Bagian belahan intinya padahal masih sakit, lalu hatinya pun baru saja terluka dan kini Devan memperlakukannya seperti wanita rendahan dengan menyeretnya paksa."Saya gak ada niat buat kasar. Tapi, kamu sendiri yang keras kepala dan gak mau diajak bicara," terang Devan dengan raut wajah merah padam menahan kesal."Sebenarnya apa yang mau Pak Devan omongin hah?" sentak Mazaya bertanya dengan sinis dan panggilan hormatnya sebagai calon adik ipar Devan pun kian luntur di saat sudah melihat sikap angkuh dan kasar pria tersebut.Terdengar helan nafas panjang dari wajah Devan saat ini."Aku mau tanya soal apa yang terjadi dengan kita. Apa benar kita sampai melakukan melakukan itu dan--""Gak pernah sama sekali," sela Mazaya. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan Devan, apalagi meminta pertanggungjawaban dari pria tersebut. Terlebih lagi Devan akan menikah dengan kakaknya."Apa kamu yakin? Tapi, di kamar saya ada noda darah di sprei. Itu bisa aja kan noda darah perawan milik--""Saya bilang kita gak ngapain-ngapain di kamar, Pak Devan," sela Mazaya kembali sambil memegangi keningnya. Kepalanya rasanya mau meledak karena rentetan peristiwa yang menimpanya dan saat ini Devan malah menekannya.Sementara Devan membuang nafas berat. Ia pun tadinya tidak ingin berurusan dengan Mazaya. Tapi, mungkin saja ia tanpa sadar telah melecehkan gadis yang ada di sampingnya itu."Kamu yakin itu bukan darah perawan? Saya hanya gak mau sampai melakukan kesalahan dan--""Bukan!" sentak Mazaya. "Itu cuman noda darah dari jari tangan saya aja yang terluka," dustanya yang kebetulan jarinya di plester. Ia benar-benar ingin keluar dari atmosfer Devan saat ini yang membuatnya tidak bisa bernafas.Untuk sesaat Devan terdiam. Entah ia harus percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan oleh Mazaya. Masalahnya ia pun tidak begitu mengingat apa yang terjadi dan hal itu membuatnya frustasi. Meskipun begitu, ia pun tidak mungkin bertanggungjawab jika gadis tersebut nantinya sampai hamil. Semua rencana hidupnya akan berantakan. Terlebih lagi ia akan segera menikah."Gak ada lagi 'kan yang mau Bapak katakan? Apa saya bisa keluar sekarang?" tanya Mazaya dengan helaan nafas panjang."Tunggu sebentar," ucap Devan menatap Mazaya. "Meskipun saya gak ingat. Tapi, kalau memang kita sampai melakukanya, terus kamu sampai hamil. Saya harap kamu gugurkan janin itu ...."Jantung Mazaya rasanya ingin meledak detik itu juga, mendengar apa yang dikatakan oleh Devan saat ini."Saya yakin kamu juga gak mau 'kan masa depan kamu jadi hancur karena hamil di luar--""Cukup, Pak Devan!!" Untuk kesekian kalinya Mazaya menyela ucapan Devan. Tapi, kali ini hatinya rasanya sudah remuk redam, tapi air matanya sudah tidak mampu lagi untuk keluar.Bagaimana tidak. Ia pikir Devan setidaknya mengatakan kata menyesal dan ingin bertanggungjawab meskipun tidak sampai menikahinya. Tapi, sampai akhir pun pria itu sama sekali tidak ingin bertanggungjawab ataupun sampai ada masalah jika dirinya hamil dan akan menuntut. Lalu apa lagi yang diharapkannya dari pria yang tidak punya hati seperti Devan? Tidak ada!"Itu gak akan terjadi karena kita gak pernah melakukan apapun, Pak. Saya mohon apa bisa saya keluar sekarang?Saya mau pulang dan istirahat," ucapnya dengan memaksakan tenggorokannya yang begitu sulit untuk berbicara.Devan masih sedikit ragu apa yang dikatakan oleh Mazaya itu benar. Tapi, wanita itu sama sekali tidak menuntut apapun darinya saat ini dan mungkin saja memang
"Gak apa-apa, Mbak. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku juga masih punya sedikit tabungan. Jadi, Mbak jangan khawatir lagi," ucap Mazaya seraya memeluk sang kakak.Kakak dan adik itu saling berpelukan dengan erat. Mereka seakan saling menguatkan satu sama lainnya saat ini. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi mereka untuk menjalani hidup yang serba kesusahan.Usai sang kakak merasa lebih tenang, Mazaya pun memberitahukan pihak rumah sakit agar mengurus jenazah sang ayah.Prosesi pemakaman pun berjalan dengan lancar. Meskipun Nasuha kembali histeris di tanah kuburan sang ayah dan Mazaya lagi-lagi harus menenangkan kakaknya itu. Terlebih lagi selama ini tubuh kakaknya itu lemah dan sering sakit-sakitan.Di saat yang sama, keluarga Devan datang melayat dan mengucapkan belasungkawa kepada Nasuha dan Mazaya."Kamu jangan khawatir, Suha. Tante dan Om akan tetap tepati janji buat menikahkan kamu sama Devan," ucap Puspita- Ibunya Devan."Iya benar. Sebaiknya pernikahannya dipercepat
"Yaya, kamu kerja di sini?" sapa Nasuha dengan wajah semringah dan bergelayut manja di lengan Devan.Tampak Nasuha masuk menyusul Devan ke toko bunga tersebut. Kakaknya itu kian cantik dan terawat. Ia yakin kehidupan rumah tangga sang kakak dilimpahi kebahagiaan."I-iya, Kak. Gimana kabar Kak Suha?" balas Mazaya yang memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Alhamdulillah baik, kalau kamu gimana? Maaf ya, kakak lagi sibuk urus rumah sama suami belakangan ini. Jadi, gak sempet telpon kamu, tapi kamu baik-baik aja 'kan?" ucap Nasuha yang terdengar seperti menyesal telah mengabaikan Mazaya, padahal kenyataannya memang seperti itu."Gak apa-apa, Kak. Alhamdulillah aku baik-baik aja kok," balas Mazaya dengan senyuman yang sama terpaksa seperti sebelumnya."Aku mau pesan buket bunga mawar putih ukuran besar," ucap Devan tiba-tiba memecah pembicaraan dua kakak beradik itu, tapi ia seolah-olah tidak mengenal Mazaya dan bersikap dingin."Baik," jawab Mazaya dengan mengulas senyumannya. Ia sebisa m
"Ini gak mungkin kan? Aku tadi pasti salah dengar! Aku yakin kalau mereka baik-baik saja."Mazaya sebisa mungkin menepis atas apa yang didengarnya beberapa saat yang lalu. Hal itu juga tidak akan merubah apapun bagi dirinya. Sekalipun ia akan menuntut demi anaknya? Itu sama saja seperti menyerahkan sukarela anaknya itu pada mereka."Nggak! Nggak boleh! Aku gak bisa hancurkan rumah tangga Kak Nasuha. Dia pasti kecewa dan benci sama aku kan," gumam Mazaya lirih.Dengan langkah kaki yang berat, Mazaya pun pergi dari tempat tersebut. "Yaya, kenapa kamu ada sini?" panggil seseorang dari arah belakang.Mazaya mengenal betul suara yang memanggilnya tersebut. Ia tidak lain adalah mantan sahabat nya - Nadia. Meskipun enggan untuk bertemu, tapi pada akhirnya dirinya menyahut sapaan wanita tersebut."Hei, Nad. Apa kabar?" sapanya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Kabarnya gak terlalu baik sih .... Eh, tapi, kamu kemana aja sih, Yaya? Kamu udah gak kuliah lagi dan aku khawatir sama kam
"Apa saya bisa lihat perjanjian kerjanya dulu, Bu Erina?" ucap Mazaya yang sedikit ragu sebenarnya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan terlebih dahulu kontrak kerjanya."Silahkan, Mbak," ucap Erina menyerahkan beberapa lembaran kertas di atas meja yang ada di depan mereka.Mazaya pun membaca apa yang tertulis di lembaran kertas di tangannya itu, lalu yang membuatnya tercengang adalah nominal gaji yang ditawarkan benar-benar besar. Bahkan ada beberapa bonus tunjangan yang nilainya tidak sedikit."Apa ini gak salah, Bu. Gaji yang saya terima senilai sepuluh juta perbulan. Itu sudah dua kali lipat dari gaji gardener yang saya tahu," ucapnya heran."Itu karena mall kami sudah standar internasional dan tempat itu sering dikunjungi wisatawan asing serta para petinggi atau keluarga Kerajaan dari luar negeri. Selain itu ada satu hotel kami yang memakai jasa anda," terang Erina. "Anda juga akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan pribadi, jika bersedia menerima tawaran ini
"Mazaya? Kamu Mazaya 'kan? Apa dia anak kamu? Kapan kamu menikah?" Dengan rasa penasaran di hatinya, Devan bertanya pada Mazaya tentang anak yang saat ini digendong oleh wanita di depannya itu. Terlebih lagi wajah bocah laki-laki yang ada di depannya tanpa begitu mirip dengan dirinya. Hal itu seakan membuatnya merasa memiliki ikatan dengan anak tersebut Raut wajah Mazaya semakin pucat pasi karena karena tatapan Devan mengarah ke putranya. Hal itu membuatnya tidak nyaman, sekaligus khawatir seperti yang selama ini dicemaskannya."Yaya," ulang Devan karena Mazaya malah terdiam di tempatnya. Wanita di depannya kini lebih cantik, dewasa dan matang dari kali terakhir mereka bertemu."Ibu, ayo mamamnya. Aku lapel nih." Askara meronta dalam gendongan ibunya, entah karena lelah atau mungkin memang rasa lapar mengundang perutnya dan meminta untuk segera diisi."Iya, kita pergi sekarang," balas Mazaya yang berusaha menenangkan putranya.Kemudian Mazaya menghirup udara di sekitarnya dengan be
"Will, apa ada informasi lebih lengkap tentang nama penerima kerja atas nama Mazaya," perintah Devan kepada sekretarisnya melalui saluran telepon di kantor."Baik, Pak. Akan saya kirimkan. Tapi, Bu Mazaya salah satu karyawan yang direkomendasikan oleh Bu Erina, apa karena hal itu bukan?" William terdengar penasaran karena selama ini Devan tidak pernah terlalu tertarik dengan urusan karyawan.Untuk sesaat Devan terdiam ia tidak mungkin mengatakan maksud dan tujuan yang sebenarnya terhadap Mazaya. "Iya, kamu benar. Kalau bisa Bu Elina supaya datang ke kantor hari ini dan segera membuat tanda tangan kontrak dengan Mazaya. Maksudku dengan Bu Mazaya besok aku ada acara mendadak ke keluar kota dan tidak ada di kantor." Devan sengaja berdusta agar Mazaya segera menjadi karyawannya dan terikat kontrak. Bukan tanpa alasan, mungkin saja wanita Mazaya akan menolak jika tahu bahwa dirinya adalah pimpinan di perusahaan tersebut."Bu Erina sedang dalam perjalanan bisnis, Pak. Tapi, akan saya usa
"Selamat datang di Mahardika Grup, Bu Mazaya."Dengan ramah dan senyuman di wajahnya, Devan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mazaya yang ada di depannya itu.Tangan Mazaya rasanya begitu berat menyambut uluran tangan Devan. Itu sama saja dengan melemparkan diri di bawah aturan pria tidak berperasaan seperti Devan.'Apa gak bisa kontrak kerjanya dibatalkan aja?' batinnya yang menjerit saat ini."Bu Mazaya," ulang Devan karena Mazaya tak kunjung membalas uluran tangannya.Di saat yang sama Erina menyenggol lengan Mazaya agar segera berjabat tangan.Mazaya sejenak mengerjapkan katanya. "Ah, iya, terimakasih, Pak Devan," ucapnya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan berjabat tangan dengan Devan. Padahal ia sebelumnya menghindar dengan mengatakan bahwa bukan Mazaya, tapi kini ucapan itu malah dipatahkan dengan situasi mereka saat ini.Devan tersenyum kecil, lalu melirik pada Askara yang tertidur di atas sofa dengan lelapnya."Apa itu anak anda?" tanyanya."Iya, Pa