"Saya yakin kamu juga gak mau 'kan masa depan kamu jadi hancur karena hamil di luar--"
"Cukup, Pak Devan!!"Untuk kesekian kalinya Mazaya menyela ucapan Devan. Tapi, kali ini hatinya rasanya sudah remuk redam, tapi air matanya sudah tidak mampu lagi untuk keluar.Bagaimana tidak. Ia pikir Devan setidaknya mengatakan kata menyesal dan ingin bertanggungjawab meskipun tidak sampai menikahinya. Tapi, sampai akhir pun pria itu sama sekali tidak ingin bertanggungjawab ataupun sampai ada masalah jika dirinya hamil dan akan menuntut. Lalu apa lagi yang diharapkannya dari pria yang tidak punya hati seperti Devan? Tidak ada!"Itu gak akan terjadi karena kita gak pernah melakukan apapun, Pak. Saya mohon apa bisa saya keluar sekarang?Saya mau pulang dan istirahat," ucapnya dengan memaksakan tenggorokannya yang begitu sulit untuk berbicara.Devan masih sedikit ragu apa yang dikatakan oleh Mazaya itu benar. Tapi, wanita itu sama sekali tidak menuntut apapun darinya saat ini dan mungkin saja memang tidak terjadi apapun di antara mereka."Kamu boleh keluar," ucapnya.Mazaya tanpa banyak bicara lagi, segera turun dari mobil Devan tersebut, lalu melangkahkan kakinya tanpa menoleh ke belakang.Bersamaan entah kenapa air mata itu kian menetes di pipi Mazaya. Namun, ia memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum. Baginya sang mantan kekasih, mantan sahabat atau pun Devan. Mereka akan menjadi masa lalu yang akan dihapus dari ingatan untuk selama-lamanya.Bersamaan turun hujan mengiringi langkah Mazaya di waktu tengah malam itu, seakan langit pun tahu bahwa wanita tersebut sedang dalam keadaan yang sehancur- hancurnya saat ini.Sedangkan Devan menatap punggung Mazaya yang semakin menjauh dari pandangannya hingga masuk sebuah taksi.Sementara itu Mazaya sudah berada di dalam taksi dengan tatapan kosong. Tapi, menit selanjutnya ia pun menghembuskan nafasnya pelan. Ia harus cepat bangkit dan membuktikan pada orang-orang yang telah menyakitinya, bahwa dirinya tidak lemah dan baik-baik saja.Lagi-lagi ponsel Mazaya berdering dan hal itu mengingatkannya kepada Devan.Hampir saja Mazaya tidak mengangkat panggilan itu, kalau saja ia tidak memeriksa siapa yang menelepon dan ternyata itu dari sang kakak- Nasuha. Atau lebih tepatnya kakak angkat.Ya, itu karena Mazaya adalah anak adopsi yang diangkat anak oleh orangtuanya Nasuha. Maka dari itu ia tidak mempunyai hak untuk menghancurkan kebahagiaan kakaknya itu. Selain itu kematian sang ibu angkatnya beberapa bulan yang lalu masih menyisakan luka bagi Nasuha."Halo, Mbak Ada apa?" tanya Mazaya dengan suara parau kali ini."Yaya kamu di mana? Cepat pulang. Kita dalam masalah besar. Ayah sakit. Cepetan pulang, Yaya," ucap Nasuha yang terdengar panik."A-apa, Mbak?" tanya Mazaya dengan terbata."Cepetan pulang pokoknya."Panggilan itu pun ditutup oleh sang kakak. Tapi, Mazaya langsung membeku di tempatnya.Bagaimana tidak. Ia saat ini seperti sudah jatuh malah tertimpa tangga usai mendengar tentang keadaan ayahnya.."Tolong cepat sedikit, Pak," ucapnya pada sopir taksi.Selang satu jam kemudian.Mazaya tampak turun dari taksi yang dinaikinya. Sepanjang perjalanan tadi pikirannya benar-benar kalut, bahkan hampir saja lupa tidak membayar ongkos taksinya. Untung sang si supir taksi tersebut mengingatkan.Mazaya membayarkan sejumlah uang kepada supir taksi tersebut, lalu setelahnya berjalan dengan cepat menuju pintu gerbang rumahnya.Kemudian segera masuk dan lurus ke lantai dua."Pah, bangun, Pah ... Cepat panggilkan ambulans," teriak Nasuha.Pupil mata Mazaya langsung menggelap ketika melihat Nasuha yang memegangi sang ayah yang tak sadarkan diri di kamar utama.Tidak lama kemudian mobil ambulans pun tiba dan sang ayah- Dwidarma segera dinaikkan ke mobil tersebut. Berikut juga dengan Mazaya dan Nasuha.Sepanjang perjalanan itu, Nasuha tak hentinya menangis sambil memegangi tangan sang ayah. Hal serupa pun terjadi kepada Mazaya saat ini yang turut berderai air mata melihat kondisi sang ayah."Pah, bangun Pah. Papah harus cepat sehat dan lihat aku lulus kuliah nanti," ucap Mazaya dengan terisak.Tidak memakan waktu lama kendaraan roda empat itu pun tiba di rumah sakit dan sang ayah langsung mendapatkan penanganan di ruang gawat darurat. Bahkan harus mendapatkan penanganan operasi secepatnya.Mazaya dan Nasuha diminta untuk menunggu di luar dalam keadaan yang benar-benar memperihatinkan. Meskipun begitu, Mazaya tidak bisa terus-terusan menangis karena sang kakak pun saat ini berada dalam keadaan terpuruk."Mbak, aku mau beli air dulu ya. Tunggu di sini sebentar."Dengan sisa-sisa tenaga dan kewarasannya, Mazaya beranjak hendak membeli air minum untuk kakaknya agar sedikit lebih tenang.Namun, begitu kembali membeli minuman, Mazaya melihat kakaknya yang kembali histeris."Kenapa Papah tega! Tega tinggalkan aku sendirian. Bangun Pah Bangun ...."Ya, ayah Mazaya tutup usia karena gagal jantung dan tindakan operasinya pun tidak berjalan dengan lancar karena terlambat penanganan.Di saat yang sama, Mazaya langsung menjatuhkan botol air mineral yang ada di tangannya, lalu terduduk di lantai dengan tatapan kosong."Papah," ucap Mazaya lirih yang kini mulai terisak kembali.Padahal Mazaya sangat membutuhkan sandaran ayahnya saat ini. Tapi, kini keluarganya luluh lantah. Belum cukupkah rasa sakit yang yang dialaminya? Bahkan dalam kurang dari dua puluh empat jam kehidupannya langsung dijungkirbalikan ke titik paling terendah.Untuk beberapa saat suasana di ruang perawatan itu cukup memprihatinkan karena Nasuha terus saja histeris menangis. Hal itu pun membuat sebagian orang yang melihatnya turut menaruh iba.Hingga pihak rumah sakit menyarankan agar jasad pasien yang sudah meninggal segera dikebumikan."Demi kebaikan anda dan keluarga. Pihak rumah sakit akan membantu sebisanya," ucap salah satu dokter di sana. Selain itu ia pun kenal dengan mendiang ayahnya Mazaya.Mazaya sendiri menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mengelap air mata dari matannya yang semakin sembab. Bahkan mungkin semakin membengkak karena terus-menerus mengeluarkan air mata sejak tadi. Kemudian menghampiri sang kakak yang tampak belum merelakan kepergian ayahnya."Mbak, udah. Ikhlasin Papah. Dia udah gak sama kita lagi. Mbak Suha gak usah khawatir, aku akan tetap di samping Mbak dan kita bisa melewati ini semua sama-sama," tutur Mazaya dengan suara yang sedikit bergetar. Sungguh saat ini ia benar-benar hancur luar dan dalam. Tapi, ia harus lebih tegar untuk bisa mendampingi kakaknya melewati masa sulit saat ini."Yaya, gimana kita bisa hidup tanpa Papah sekarang? Dia sama sekali gak tinggalkan uang sepeserpun buat kita, Yaya. Perusahaannya bangkrut," isak Nasuha kembali. Perusahaan sang ayah telah bangkrut, rumah dan beserta isinya tidak lama lagi akan disita dan entah akan kemana mereka pergi nantinya.Mazaya kembali meneteskan air matanya melihat kakaknya saat ini. Ia paling tidak kuasa jika melihat salah satu keluarga menangis.'Apa jadinya kalau Mbak Suha tahu kalau aku udah tidur sama Mas Devan,' batin Mazaya dengan menjerit."Gak apa-apa, Mbak. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku juga masih punya sedikit tabungan. Jadi, Mbak jangan khawatir lagi," ucap Mazaya seraya memeluk sang kakak.Kakak dan adik itu saling berpelukan dengan erat. Mereka seakan saling menguatkan satu sama lainnya saat ini. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi mereka untuk menjalani hidup yang serba kesusahan.Usai sang kakak merasa lebih tenang, Mazaya pun memberitahukan pihak rumah sakit agar mengurus jenazah sang ayah.Prosesi pemakaman pun berjalan dengan lancar. Meskipun Nasuha kembali histeris di tanah kuburan sang ayah dan Mazaya lagi-lagi harus menenangkan kakaknya itu. Terlebih lagi selama ini tubuh kakaknya itu lemah dan sering sakit-sakitan.Di saat yang sama, keluarga Devan datang melayat dan mengucapkan belasungkawa kepada Nasuha dan Mazaya."Kamu jangan khawatir, Suha. Tante dan Om akan tetap tepati janji buat menikahkan kamu sama Devan," ucap Puspita- Ibunya Devan."Iya benar. Sebaiknya pernikahannya dipercepat
"Yaya, kamu kerja di sini?" sapa Nasuha dengan wajah semringah dan bergelayut manja di lengan Devan.Tampak Nasuha masuk menyusul Devan ke toko bunga tersebut. Kakaknya itu kian cantik dan terawat. Ia yakin kehidupan rumah tangga sang kakak dilimpahi kebahagiaan."I-iya, Kak. Gimana kabar Kak Suha?" balas Mazaya yang memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Alhamdulillah baik, kalau kamu gimana? Maaf ya, kakak lagi sibuk urus rumah sama suami belakangan ini. Jadi, gak sempet telpon kamu, tapi kamu baik-baik aja 'kan?" ucap Nasuha yang terdengar seperti menyesal telah mengabaikan Mazaya, padahal kenyataannya memang seperti itu."Gak apa-apa, Kak. Alhamdulillah aku baik-baik aja kok," balas Mazaya dengan senyuman yang sama terpaksa seperti sebelumnya."Aku mau pesan buket bunga mawar putih ukuran besar," ucap Devan tiba-tiba memecah pembicaraan dua kakak beradik itu, tapi ia seolah-olah tidak mengenal Mazaya dan bersikap dingin."Baik," jawab Mazaya dengan mengulas senyumannya. Ia sebisa m
"Ini gak mungkin kan? Aku tadi pasti salah dengar! Aku yakin kalau mereka baik-baik saja."Mazaya sebisa mungkin menepis atas apa yang didengarnya beberapa saat yang lalu. Hal itu juga tidak akan merubah apapun bagi dirinya. Sekalipun ia akan menuntut demi anaknya? Itu sama saja seperti menyerahkan sukarela anaknya itu pada mereka."Nggak! Nggak boleh! Aku gak bisa hancurkan rumah tangga Kak Nasuha. Dia pasti kecewa dan benci sama aku kan," gumam Mazaya lirih.Dengan langkah kaki yang berat, Mazaya pun pergi dari tempat tersebut. "Yaya, kenapa kamu ada sini?" panggil seseorang dari arah belakang.Mazaya mengenal betul suara yang memanggilnya tersebut. Ia tidak lain adalah mantan sahabat nya - Nadia. Meskipun enggan untuk bertemu, tapi pada akhirnya dirinya menyahut sapaan wanita tersebut."Hei, Nad. Apa kabar?" sapanya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Kabarnya gak terlalu baik sih .... Eh, tapi, kamu kemana aja sih, Yaya? Kamu udah gak kuliah lagi dan aku khawatir sama kam
"Apa saya bisa lihat perjanjian kerjanya dulu, Bu Erina?" ucap Mazaya yang sedikit ragu sebenarnya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan terlebih dahulu kontrak kerjanya."Silahkan, Mbak," ucap Erina menyerahkan beberapa lembaran kertas di atas meja yang ada di depan mereka.Mazaya pun membaca apa yang tertulis di lembaran kertas di tangannya itu, lalu yang membuatnya tercengang adalah nominal gaji yang ditawarkan benar-benar besar. Bahkan ada beberapa bonus tunjangan yang nilainya tidak sedikit."Apa ini gak salah, Bu. Gaji yang saya terima senilai sepuluh juta perbulan. Itu sudah dua kali lipat dari gaji gardener yang saya tahu," ucapnya heran."Itu karena mall kami sudah standar internasional dan tempat itu sering dikunjungi wisatawan asing serta para petinggi atau keluarga Kerajaan dari luar negeri. Selain itu ada satu hotel kami yang memakai jasa anda," terang Erina. "Anda juga akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan pribadi, jika bersedia menerima tawaran ini
"Mazaya? Kamu Mazaya 'kan? Apa dia anak kamu? Kapan kamu menikah?" Dengan rasa penasaran di hatinya, Devan bertanya pada Mazaya tentang anak yang saat ini digendong oleh wanita di depannya itu. Terlebih lagi wajah bocah laki-laki yang ada di depannya tanpa begitu mirip dengan dirinya. Hal itu seakan membuatnya merasa memiliki ikatan dengan anak tersebut Raut wajah Mazaya semakin pucat pasi karena karena tatapan Devan mengarah ke putranya. Hal itu membuatnya tidak nyaman, sekaligus khawatir seperti yang selama ini dicemaskannya."Yaya," ulang Devan karena Mazaya malah terdiam di tempatnya. Wanita di depannya kini lebih cantik, dewasa dan matang dari kali terakhir mereka bertemu."Ibu, ayo mamamnya. Aku lapel nih." Askara meronta dalam gendongan ibunya, entah karena lelah atau mungkin memang rasa lapar mengundang perutnya dan meminta untuk segera diisi."Iya, kita pergi sekarang," balas Mazaya yang berusaha menenangkan putranya.Kemudian Mazaya menghirup udara di sekitarnya dengan be
"Will, apa ada informasi lebih lengkap tentang nama penerima kerja atas nama Mazaya," perintah Devan kepada sekretarisnya melalui saluran telepon di kantor."Baik, Pak. Akan saya kirimkan. Tapi, Bu Mazaya salah satu karyawan yang direkomendasikan oleh Bu Erina, apa karena hal itu bukan?" William terdengar penasaran karena selama ini Devan tidak pernah terlalu tertarik dengan urusan karyawan.Untuk sesaat Devan terdiam ia tidak mungkin mengatakan maksud dan tujuan yang sebenarnya terhadap Mazaya. "Iya, kamu benar. Kalau bisa Bu Elina supaya datang ke kantor hari ini dan segera membuat tanda tangan kontrak dengan Mazaya. Maksudku dengan Bu Mazaya besok aku ada acara mendadak ke keluar kota dan tidak ada di kantor." Devan sengaja berdusta agar Mazaya segera menjadi karyawannya dan terikat kontrak. Bukan tanpa alasan, mungkin saja wanita Mazaya akan menolak jika tahu bahwa dirinya adalah pimpinan di perusahaan tersebut."Bu Erina sedang dalam perjalanan bisnis, Pak. Tapi, akan saya usa
"Selamat datang di Mahardika Grup, Bu Mazaya."Dengan ramah dan senyuman di wajahnya, Devan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mazaya yang ada di depannya itu.Tangan Mazaya rasanya begitu berat menyambut uluran tangan Devan. Itu sama saja dengan melemparkan diri di bawah aturan pria tidak berperasaan seperti Devan.'Apa gak bisa kontrak kerjanya dibatalkan aja?' batinnya yang menjerit saat ini."Bu Mazaya," ulang Devan karena Mazaya tak kunjung membalas uluran tangannya.Di saat yang sama Erina menyenggol lengan Mazaya agar segera berjabat tangan.Mazaya sejenak mengerjapkan katanya. "Ah, iya, terimakasih, Pak Devan," ucapnya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan berjabat tangan dengan Devan. Padahal ia sebelumnya menghindar dengan mengatakan bahwa bukan Mazaya, tapi kini ucapan itu malah dipatahkan dengan situasi mereka saat ini.Devan tersenyum kecil, lalu melirik pada Askara yang tertidur di atas sofa dengan lelapnya."Apa itu anak anda?" tanyanya."Iya, Pa
"Om papa, Om Papa. Aka kangen."Askara menanggil Malvin dengan panggilan 'om papa' . Namun, seketika Mazaya menggelengkan kepalanya karena sikap putranya tersebut. Padahal mereka sudah tidak bertemu hampir tiga bulan karena Malvin yang sibuk dengan pekerjaannya di Ibukota."Aska, gak boleh gitu, sayang. Panggil Om Malvin ya," ucapnya pada Askara.Malvin sendiri tersenyum kecil dan tampak tidak mempermasalahkan panggilan Askara pada dirinya."Gak apa-apa, Yaya. Dari kecil dia juga udah panggil kayak gitu 'kan. Malah orang-orang sangkanya aku ayahnya," ucapnya dengan kekehan pelan di akhir kalimatnya."Kalian udah cocok, nikah aja," celetuk Erina yang berada di antara dua orang tersebut.Mazaya hanya tersenyum getir. Ia merasa tidak pantas jika harus disandingkan dengan Malvin karena pria tersebut terlalu baik untuknya. Terlebih lagi waktu itu ia mendengar bahwa Malvin katanya sudah bertunangan dengan wanita lain."Itu juga kalau Mazaya mau Bu Erina," sambung Malvin dengan senyuman kec