Share

Kecelakaan

"Jangan, Pak!" Isma mendorong dada Hartono menjauh darinya. Namun, pergelangan tangannya digenggam kuat oleh tangan Hartono yang besar, lelaki tua itu tidak akan membiarkan mangsanya yang sudah di bayar mahal lolos begitu saja.

"Kamu pikir saya bodoh, hah? Kamu sudah di sini, dan sudah tugas kamu untuk melayani saya!" Hartono membangunkan Isma, menyeretnya membawa perempuan itu ke ranjang.

"Pak!" Isma berteriak dan berontak, tetapi Hartono bergeming. Dia tidak peduli Isma kesakitan.

Semakin dekat jarak mereka ke tempat tidur, semakin kalut pikiran Isma. Dia tidak mau hidupnya hancur karena uang dua juta. Isma tidak ingin membunuh masa depannya meski tidak yakin akan secerah apa hidupnya nanti.

"Pak!" Panggilan Isma diabaikan, Hartono tetap pada hasratnya yang terlanjur melambung tinggi. Lalu, keadaan semakin membuat Isma terdesak. Pikiran jahat mulai menghasutnya saat sebuah vas bunga tidak sengaja dia lihat.

Isma menyambar vas bunga yang terletak di meja kecil dekat dengan tempat tidur, tanpa pikir panjang dia memukulkan benda tersebut ke kepala Hartono.

Prang!!! Vas bunga yang terbuat dari tanah liat tersebut menghantap tulang belakang kepala lelaki tersebut. Hartono berbalik, wajahnya memerah dengan emosi siap meledak.

"Sialan!" umpatnya seraya memegang kepalanya, tangannya terasa basah, Hartono melihat cairan kental dan merah mulai mengalir di sela-sela rambutnya yang beruban.

Tidak buang kesempatan, saat Hartono masih terhipnotis dengan darah di tangannya Isma segera memutar badan. Perempuan itu mempercepat langkahnya, lari ke arah pintu lalu membukanya.

"Mau ke mana kamu?"

Sial, Hartono berhasil mengejar.

"Lepaskan saya Pak, saya tidak mau berada di sini!" Isma tidak ingin kalah, dia tidak mau terjebak bersama lelaki tua bangka di hadapannya. Dengan sisa tenaganya, Isma mendorong Hartono sampai lelaki itu tersungkur.

"Jangan pergi! Kamu tidak boleh pergi!" Hartono masih berusaha mempertahankan Isma yang terlanjur berlari kalang kabut.

Isma melepas sepatunya, melempar pada Hartono yang mengejarnya di belakang. Lorong hotel yang mereka lalui cukup sepi, karena Hartono menyewa kamar VVIP sehingga tidak banyak orang berlalu-lalang.

"Tunggu!"

Isma menoleh, melihat Hartono semakin dekat. Pelupuk matanya sudah basah sejak tadi dibanjiri air mata ketakutan perempuan berusia 20 tahun itu. Isma mengutuk perbuatannya, mengapa bisa dia dengan mudah putus asa dan memutuskan jalan pintas seperti ini?

"Hei!"

Rupanya Hartono belum menyerah, sekarang dia tidak hanya ingin menikmati tubuh Isma tetapi ingin membuatnya tersiksa karena sudah membuatnya terluka. Hartono mempercepat gerak kakinya, tapi semakin lama darah di kepalanya menetes semakin banyak.

Hartono mulai lelah, pandangannya mengabur. Dari kejauhan, dia masih bisa melihat Isma berlari keluar dari gedung hotel tersebut.

"Isma bodoh, Isma bodoh!" Berulangkali Isma memukul kepalanya, menangis sesenggukan dan menyesali perbuatannya.

Akhirnya dia berhasil lolos, saat Isma menoleh ke belakang tidak lagi nampak sosok bertubuh gempal yang hampir saja menidurinya. Isma terkulai lemas, duduk di pinggiran trotoar tanpa alas kaki. Penampilannya yang berantakan sedikit mengundang perhatian pengguna jalan lainnya.

Segera Isma menyeka air matanya. Asal Hartono tidak lagi mengejar, Isma ingin orang lain tidak tahu apa yang baru saja dia lewati. Apa kata orang nanti jika tahu dirinya hampir menjual diri?

"Huh ... huh ...." Isma masih meraup oksigen memenuhi rongga paru-parunya yang sesak, sesekali matanya memperhatikan sekeliling. Dia takut Hartono masih mencarinya.

Tidak lama, ponsel dalam tas kecil yang sejak tadi dibawanya berbunyi. Tangannya masih gemetar saat merogoh benda pipih tersebut. "Mami Ratna—" desis Isma menutup mulutnya.

Isma yakin perempuan yang bekerja sebagai germo itu sudah mengetahui apa yang baru saja terjadi. Hartono mungkin telah melaporkannya. Tidak ingin kembali pada Mami Ratna, Isma menolak panggilan tersebut kemudian mematikan ponselnya.

Dengan tertatih Isma kembali berdiri, dia tidak mungkin lebih lama di sana. "Mami Ratna bisa saja suruh orang untuk mencari aku," gumam Isma lalu kembali berjalan meninggalkan trotoar.

Hampir seratus meter Isma berjalan, tapi dia bingung harus pergi ke mana. Kalau pergi ke kontrakannya, Mami Ratna bisa saja ada di sana. Ke tempat lain? Isma tidak punya pilihan. Dia tidak punya saudara di kota besar ini.

"Nah itu dia!" Suara bariton di belakangnya mengejutkan Isma. Sontak dia berbalik, matanya terbelalak ketika melihat lelaki yang sempat mengantarkannya tadi ke hotel menunjuk ke arahnya. Lelaki itu tidak sendiri kali ini, ada beberapa orang yang ikut dengannya.

Perasaan yang mulai tenang lenyap sudah. Isma berlari, tidak memperhatikan jalan bahkan beberapa kerikil melukai telapak kakinya.

"Ya Tuhan, tolong!" Isma berlari menembus jalanan yang lengang. Padahal kota tersebut cukup besar, tapi kenapa Isma memilih jalan yang sepi saat melarikan diri tadi.

"Berhenti! Mau ke mana kamu?" Lelaki-lelaki berbadan tinggi besar di belakangnya mengejar.

"Tolong!" Teriakan Isma menggema menembus hening malam. Hanya semilir angin yang menyahut menusuk tulangnya. "Tolong!"

Jarak mereka semakin dekat, Isma kalah telak. Para lelaki itu sudah jelas lebih besar tenaganya, jika Isma sampai tertangkap maka habislah hidupnya.

"Ya Tuhan, tolong aku—" Isma berlari lebih cepat, dia menyibak rambutnya yang terurai menghalangi jalan.

Tanpa sadar, langkahnya tidak lagi di tepi jalan. Kakinya sudah menginjak aspal dan sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya.

BUGH! Suara hantaman benda begitu keras memekakkan telinga. Isma terpelanting, tubuhnya seperti sehelai kertas tanpa beban yang dilempar jauh.

BRUK! Isma tergeletak di jalanan, kepalanya membentur aspal. Matanya masih terbuka melihat cahaya remang yang berasal dari mobil sedan yang menabraknya.

"Ibu ..." rintih Isma. Darah segar mengalir dari dahinya, perlahan matanya memejam.

"Tinggalin dia! Ini sudah tidak beres!" Lelaki yang tadinya akan mengejar Isma pelan-pelan mundur saat menyaksikan kecelakaan yang menimpa perempuan itu.

Dua orang lelaki turun dari mobil yang menabrak Isma, salah satu di antaranya sempat beradu pandangan dengan pria-pria berbadan tegap yang berdiri tidak jauh dari lokasi kejadian.

"Bagaimana ini, Pak Arman?"

"Panggil ambulans!" Lelaki bernama Arman itu berjongkok, meraba urat nadi perempuan yang bersimbah darah tersebut sementara asistennya menghubungi rumah sakit terdekat.

"Masih hidup," gumam Arman–lelaki dengan sorot mata tajam dan dingin itu meninggalkan Isma kemudian kembali duduk di mobil. "Ck! Perempuan itu yang salah, kenapa dia tidak hati-hati menyeberang? Bagaimana kalau ini jadi masalah, dan ... siapa mereka? Kenapa laki-laki itu mengejarnya?" gumam Arman mengingat lagi orang-orang tadi.

Tidak lebih dari lima belas menit, ambulans tiba. Arman masih mengamati dari kejauhan, dia tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di luar. Yang penting, perempuan itu masih bernapas, pikirnya. Asistennya–Raffi yang akan menyelesaikan semuanya.

"Pak, sepertinya kita harus pergi ke kantor polisi!"

Arman mendengus kesal ketika Raffi datang memberitahu kabar menyebalkan tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status