Share

Perjodohan

Sementara Raffi berurusan dengan polisi, Arman kini berada di rumah sakit. Isma sedang menjalani penanganan di ruang gawat darurat. Arman tahu namanya dari kartu identitas yang ada di tas Isma.

"Bagaimana keadaannya?" Arman sontak berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan.

"Pasien tidak sadarkan diri, kami harus menunggu hasil laboratorium lebih dulu untuk mengetahui luka bagian dalamnya."

Arman hanya mengangguk kecil, membiarkan dokter pergi lalu duduk lagi di tempat yang sama. Tidak ada sedikit pun niat untuk pergi ke dalam melihat kondisi Isma langsung.

Arman Rasendriya, lelaki berusia 30 tahun merupakan seorang pengusaha jasa travel dan hotel. Dia mewarisi perusahaan turun temurun dari keluarganya. Lelaki berperawakan tinggi itu terkenal dengan sikapnya yang acuh dan berhati dingin.

Diberkahi paras yang tampan dan kekayaan yang melimpah, tentu membuat Arman memiliki karisma lebih. Tidak sedikit perempuan yang menginginkannya, tapi Arman tidak seperti lelaki pada umumnya. Dia sulit ditaklukkan, meski dengan uangnya yang banyak Arman bisa mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan.

"Saudara atau keluarga pasien atas nama Isma?"

Arman mengangkat wajahnya saat seorang suster berteriak menyebut nama perempuan korban tabrak mobilnya. "Iya, Sus?"

"Pasien sudah sadar," jawab Suster mempersilahkan Arman untuk masuk.

Sebenarnya Arman tidak ingin, tapi dia bisa menjadi pusat perhatian jika menolak menengok pasien. Apalagi seorang polisi sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, mengawasi kalau-kalau dia melarikan diri padahal Raffi sudah menjaminkan dirinya.

Begitu masuk, Arman dan Isma bertatap muka. Detik itu juga Isma bisa mengingat Arman. Ya, lelaki itu yang bertemu dengannya di lobby hotel tadi sebelum bertemu dengan Hartono.

"Terima kasih, Pak."

Arman melongo, mendengar ucapan yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Keningnya berkerut dalam, dia berpikir apa Isma terkena gegar otak? Atau lukanya sangat serius sampai perempuan itu mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah melukainya.

"Karena Bapak saya selamat dari kejaran mereka," timpal Isma. Senyumnya lebar, bersaing dengan wajahnya yang pucat. Kepalanya yang berdenyut nyeri dia abaikan, perban melilit menutupi beberapa luka di tubuhnya.

"Katakan pada polisi, kalau kamu tidak hati-hati menyeberang!" ketus Arman membuat Isma terdiam. "Saya tidak suka terlibat urusan seperti ini, gara-gara kamu saya harus terjebak di rumah sakit. Perempuan menyusahkan!"

Tatapan Isma nanar mendengar jawaban lelaki itu. Dia tidak tahu siapa namanya, dan mungkin tidak akan pernah tahu mengingat sikapnya yang seperti ini.

"Pak!" Raffi baru saja tiba di rumah sakit setelah melalui proses panjang penyelidikan. Beruntung, karena pengaruh uang dan nama besar keluarga Arman kasus tabrakan tersebut tidak dipersulit.

"Sudah selesai? Urus biaya administrasi dan beri dia uang, saya harus pergi!"

"Tapi Pak—" sergah Raffi mencegah Arman yang hendak pergi. "Kita tidak bisa meninggalkan dia," kata Raffi lagi.

"Kenapa?" tanya Arman heran.

"Kasus ini ditutup karena saya menjamin perempuan itu akan kita urus sampai sembuh," jawab Raffi menundukkan kepalanya.

"Apa?"

"Maaf Pak, tapi ini sudah langkah yang paling baik dan cepat. Kita hanya perlu memastikan dia sembuh total saja."

"Ya sudah, biarkan dia dirawat di sini sampai keadaannya membaik. Kalau perlu, deposit sejumlah uang untuk biaya pengobatannya."

Tapi tatapan Raffi menyiratkan semuanya. Lelaki itu meringis, bersiap mendapatkan letupan amarah dari majikannya. Berjalan mundur, Raffi membayar semua biaya pengobatan. Isma pun akhirnya dibawa pulang oleh Raffi.

Karena Arman tidak ingin repot, Raffi membawa Isma ke apartemen milik lelaki itu. Apartemen Arman jarang ditempati, demi tanggungjawab dan nama baiknya, Arman harus rela tempat pribadinya dijadikan tempat tinggal perempuan asing. Sekarang Isma tinggal di sana untuk sementara waktu, dan Raffi yang mengurus semuanya.

* * *

"Pak, malam ini Pak Bagus meminta anda ke rumah utama."

Arman melengos pergi, mengendurkan dasinya yang terasa mencengkeram di leher. "Mau apa papa minta saya ke rumah?"

"Ada acara makan malam katanya," jawab Raffi seraya menaruh tas milik Arman di meja.

"Lagi? Perjodohan lagi?" decak Arman begitu sebal.

Raffi hanya tersenyum tipis, lelaki berusia 40an itu mengangguk pelan. "Kali ini perempuannya bernama Clara, anak dari pemilik perusahaan kosmetik Aura Beauty."

Lalu, sebuah tablet dengan layar menyala disodorkan oleh Raffi. Sebuah foto gadis cantik dengan rambut berwarna coklat lengkap dengan profilnya terpampang di sana.

"Kenapa mereka kukuh sekali ingin saya menikah?" gerutu Arman.

"Tapi yang ini cantik, Pak." Air liur Raffi bahkan hampir menetes melihat perempuan berdarah blasteran Indonesia-Belanda itu.

"Saya tidak tertarik, bagaimana caranya saya menghentikan mereka melakukan ini? Apa saya harus bilang kalau saya tidak menyukai perempuan?" Ide gila tersebut tiba-tiba melintas di kepala Arman.

"Tidak mungkin, Pak. Lalu lima tahun dengan mbak Kinan, apa ya?" singgung Raffi menyebut nama mantan kekasih Arman. Sontak, Arman berbalik memutar badan. Sorot matanya menyiratkan rasa tidak suka mendengar nama perempuan itu disebut kembali. "Hehe, maaf Pak."

"Bantu saya cari cara yang lain!"

"Bawa perempuan pilihan Bapak," celetuk Raffi.

"Kamu gila? Perempuan mana? Saya tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun, dan sekarang kamu suruh saya bawa perempuan?"

"Ya, mungkin kalau bapak dan ibu tahu Pak Arman punya kekasih mereka akan berhenti menjodohkan Bapak."

Sebenarnya pemikiran Raffi ada benarnya. Tapi, Arman tidak bisa menyetujui ide tersebut karena hal tersebut hanya akan menambah masalah. Satu-satunya cara sekarang adalah menghadiri acara makan malam, kemudian menolaknya terang-terangan.

"Ya sudah, siapkan pakaiannya. Dan atur ulang jadwal makan malam dengan klien," titah Arman akhirnya.

"Baik Pak," jawab Raffi. Tidak lama kemudian, dia menerima telepon dari apartemen pribadi milik Arman. "Mbak Isma telepon."

"Isma? Perempuan itu?" tanya Arman diangguki oleh Raffi. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian kecelakaan malam itu. Arman hanya tahu Isma tinggal di apartemennya, tidak pernah sekalipun dia melihat ke sana.

"Ya Isma?" sapa Raffi. "Pergi? Kamu yakin? Hm ... jam makan siang ini tunggu saya dulu."

Lalu setelah panggilan terputus, Raffi menaruh kembali ponselnya ke saku. "Isma bilang sudah sembuh dan dia mau pergi dari apartemen, katanya dia mau mengembalikan kunci apartemen. Apartemen juga sudah dia bersihkan."

"Nanti siang kamu mau ke sana?"

"Iya Pak, seperti yang Pak Arman bilang kalau saya harus memberikan uang kompensasi pada Isma. Oh ya, ternyata Isma itu berasal dari kampung Pak. Dia merantau di sini baru dua bulan, malam waktu dia tertabrak, ternyata dia dikejar oleh orang-orang jahat. Makanya dia justru berterimakasih sama kita, karena secara tidak langsung kita sudah menyelamatkannya."

Ada rasa tertarik tiba-tiba muncul dalam benak Arman mendengar secuil kisah tentang Isma, perempuan menyusahkan itu.

"Ibunya sakit-sakitan, dia hampir menjual diri malam itu. Tapi, tiba-tiba Isma berubah pikiran dan mencoba kabur. Setelahnya, seperti yang kita tahu. Dia berakhir di apartemen Bapak."

Arman duduk di kursi kebesarannya, berpikir dalam-dalam. "Bawa saya temui dia nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status