Share

Akhirnya Menikah

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.

Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.

Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman.

"Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.

Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka.

"Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan acara pernikahan secepat mungkin?"

Eko tersentak saat Arman tiba-tiba bicara padanya dengan tatapan tajam dan menelisik, Eko saja sampai gugup dibuatnya. "M–maksudnya?"

"Kondisi ibunya Isma sudah parah, saya ingin beliau menyaksikan pernikahan putri semata wayangnya."

Eko semakin dibuat tidak mengerti dengan rencana Arman, apa lelaki itu berpikir ibunya Isma akan segera mati?

"10 juta apa cukup?"

Kalimat tersebut kembali terlontar, membuat Eko terbelalak mendengar nominal yang Arman sebutkan. "10 juta?" ulangnya dengan raut wajah tidak percaya.

"Saya hanya butuh penghulu dan saksi, menikah dalam keadaan terdesak tidak perlu sesuatu yang besar." Kemudian dari kejauhan Raffi datang, Arman memanggil pria itu. "Siapkan pernikahan saya dan Isma, cukup akad saja."

"Pak—" tukas Raffi. "Pak Eko bisa tinggalkan kami berdua dulu?" tanyanya pada lelaki di samping Arman.

"Hm!" Eko menganggukkan kepala lalu segera pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah memastikan tidak ada orang lagi, Raffi duduk menggantikan posisi Eko. "Apa yang Pak Arman pikirkan? Kenapa bertindak gegabah seperti ini? Jangan hanya karena menolak Clara, lalu Pak Arman melakukan hal sejauh ini Pak."

"Kamu hanya perlu siapkan apa yang saya suruh, Raf. Siapkan pernikahan saya dan Isma, meski hanya sebatas nikah agama pun tidak masalah." Arman lalu berdiri, dia menundukkan wajah memandang Raffi lekat-lekat, "saya dan Isma akan menikah di sini. Di rumah sakit ini."

Lalu lelaki itu pergi. Punggung lebarnya semakin menjauh dari jarak pandang Raffi yang tidak setuju akan rencananya. "Ya Tuhan, Pak Arman!"

Sementara itu, Isma duduk dengan lemas di samping brankar ibunya. Selang infus mulai terpasang di punggung tangannya. Dokter sempat kesulitan untuk memasang jarum infus karena ibunya Isma mulai kehilangan banyak cairan.

"Bu," panggil Isma namun ibunya tidak kunjung sadar. Kondisinya semakin melemah.

"Mbak," panggil suster menepuk bahu Isma. "Hasil laboratorium sudah keluar, Dokter sebentar lagi datang dan akan menjelaskan hasilnya."

Tidak lama kemudian, seorang lelaki mengenakan jas putih membawa selembar kertas ke hadapan Isma dan menjelaskan semuanya.

"Tolong obati ibu saya, Dok."

"Kami akan berusaha yang terbaik."

Tanpa Isma tahu, Arman menyuruh Raffi dan Eko mempersiapkan akad nikah mereka hari itu juga. Arman tidak ingin semuanya tertunda.

Tepat pukul 5 sore, seorang penghulu dan dua orang saksi datang ke rumah sakit. Mereka datang ke ruang rawat ibunya Isma, yang sengaja Arman tempatkan di ruang VIP.

Tentu saja Isma terkejut dengan kedatangan mereka. Bagaimana bisa, dalam keadaan yang sedang tidak baik-baik saja Arman mempersiapkan semuanya? Akan tetapi, Isma juga tidak bisa menolak karena Arman sudah menjamin seluruh biaya pengobatan ibunya.

"Kami akan menikah Bu," ujar Arman untuk pertamakalinya kepada ibunya Isma. Namun wanita itu bergeming, tanda vitalnya semakin menurun menurut dokter yang menanganinya. Kesadaran ibunya Isma juga tidak kunjung membaik. Penyakit liver dan komplikasi yang dideritanya terlambat ditangani.

Arman sempat melirik Isma, lalu beralih pada Eko. "Nikahkan kami sekarang juga," titahnya.

Di depan ibunya Isma yang tergolek lemah, Arman dan Isma berdiri bersampingan. Disaksikan Raffi, Eko yang menjadi wali Isma dan tetangga mereka Arman mulai menjabat tangan penghulu yang akan menikahkannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Isma Oktarani binti Ruswandi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi?"

Semua saksi mengangguk mengatakan sah. Akad nikah yang diadakan seadanya dan sederhana itu mengiris hati Isma. Dia benar-benar tidak menduga, akan menikah dalam keadaan dan cara seperti ini.

Kini Arman dan Isma resmi menjadi suami istri. Dua orang asing yang telah terikat dalam janji pernikahan itu menandatangani surat pernikahan mereka.

"Bu?" Tanda detak jantung di alat medis yang menempel di tubuh ibunya Isma tidak lagi bergerak. Raffi bergerak cepat memanggil Dokter, lalu semua yang ada di dalam ruangan meninggalkan ibunya Isma.

"Saya mau di sini!" Isma menolak pergi, dia ditemani oleh Arman menyaksikan sendiri ibunya menghembuskan napas terakhir. "Bu!" panggil Isma.

Dokter sudah menyerah melakukan tindakan, denyut jantung ibunya Isma tidak kembali. Perempuan itu meninggalkan Isma setelah melihat sendiri Arman mengambil alih tanggung jawab atas putrinya.

Waktu kematian ibunya Isma sudah ditentukan. Isma mencoba membangunkan ibunya, bahkan dia melarang suster menutup tubuh renta yang terbujur kaku itu.

"Ibu saya masih hidup, dia akan bangun!" teriak Isma membentak petugas medis.

Kalau saja tangan Arman tidak kuat menahan bahu Isma, mungkin perempuan itu sudah menghalangi tugas suster dan dokter.

"Lepas Pak!" sentak Isma pada Arman.

"Ibu kamu sudah tidak ada Isma!" Terpaksa Arman bersikap tegas atau kalau tidak Isma akan semakin menjadi. "Dokter, urus jenazah Ibu kami."

Kemudian Arman membawa Isma keluar dengan paksa. Dia memberitahu kepada semua orang bahwa ibunya Isma sudah meninggal dunia. Dengan wajahnya yang datar seperti tidak terjadi apa-apa, Arman baru melepaskan Isma yang terkulai dan menangis sesenggukan di lantai.

Lelaki itu meninggalkan semua orang, pergi ke taman rumah sakit seorang diri seperti tidak peduli pada apa yang terjadi.

"Ah!" Arman mengembuskan napas kasar. "Seperti di sinetron saja!" Lalu dia menyalakan sebatang rokok, menghisapnya.

Arman yakin dia tidak melakukan kesalahan. Menikahi Isma dalam kondisi seperti ini, Arman sudah melakukan hal yang tepat. Setidaknya itu yang lelaki itu pikirkan sekarang.

Bukan tanpa sebab, Arman sudah menghitung semuanya. Melihat kondisi ibunya Isma dia memiliki firasat yang buruk. Bukan ingin memanfaatkan situasi sebenarnya, Arman hanya begitu saja melakukan semua ini tanpa alasan yang kuat.

"Pak," panggil Raffi yang datang. "Jenazah ibunya Isma sudah siap dikebumikan."

"Kita akan kembali malam ini juga setelah pemakamannya selesai," tegas Arman.

"Tapi Pak, Isma tidak mungkin mau."

"Saya tidak menerima penolakan, Raf," ucap Arman tanpa memikirkan perasaan Isma yang baru saja kehilangan ibunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status