Share

Tolong Bantu Saya

Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah.

"Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya.

"Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan."

"Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!"

"Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melakukan hal ini. "Ibu saya sakit, dan saya mau menjaga Ibu saya di sini. Saya sangat butuh uang, tapi sumpah Pak–uang dari Bapak sudah lebih dari cukup."

Tenggorokan Isma sampai tercekat sesak saat harus membicarakan perihal uang di depan Arman dan Raffi. Meski dia orang miskin, tapi baginya sangat tabu mengatakan hal ini kepada orang lain.

Sementara itu, Arman tidak mau mengerti. Baginya harga diri di depan Clara tidak boleh sampai tergores cacat hanya karena Isma menolaknya. Dalam keadaan terdesak, Arman yang pintar mencari-cari cara untuk membuat Isma bertekuk lutut padanya.

"Kita bisa bawa ibu kamu ke rumah sakit, uang sepuluh juta itu tidak ada apa-apanya."

"Ke rumah sakit?" ulang Isma.

"Hm! Raffi, coba cek di mana rumah sakit terdekat di sini. Ah tidak, cari rumah sakit terbaik untuk perawatan ibunya Isma."

Raffi mulai mengotak-atik ponsel pintar miliknya, mencari-cari rumah sakit yang Arman inginkan. "Ini Pak."

Lalu, Arman menerima benda tersebut dari asistennya. "Bagaimana?" tanyanya kepada Isma.

Isma mulai terdiam, dia menginginkan kesembuhan untuk ibunya. Uang dari Arman memang cukup besar, tapi jika Isma membawa ibunya ke rumah sakit dia juga khawatir uang tersebut tidak akan cukup.

Di tengah kebingungannya, Isma kedatangan saudaranya yang tak lain paman dan bibinya. Eko melihat dua orang lelaki dengan pakaian bagus berada di rumah Isma yang jelek. Tatapan matanya menjelaskan rasa penasaran lelaki berkumis itu. "Siapa mereka?" tanya Eko kepada Isma.

"Hm mereka—"

"Saya calon suami Isma!" pungkas Arman nekat memperkenalkan dirinya.

Sontak, pengakuan Arman membuat Eko dan istrinya-Retno kaget bukan main. "Jangan bercanda!"

"Saya serius, saya Arman calon suami Isma."

"Pak!" Isma dan Raffi serentak mengingatkan Arman yang bertindak gegabah. Bahkan Isma tidak setuju akan tawaran Arman tetapi lelaki itu malah bergerak sendiri.

Eko dan Retno melirik satu sama lain, kemudian beralih kepada Arman lagi. Retno mengamati sedan mengkilap yang terparkir di halaman rumah Isma kemudian menunjuknya, "itu punya siapa?"

"Saya," jawab Arman yakin.

Mata Eko dan Retno berbinar menyiratkan sesuatu. Laki-laki muda, dari kota, memiliki kendaraan, keduanya yakin Arman adalah orang kaya raya dan punya banyak uang.

"Terus apa masalahnya? Kenapa kalian hanya di luar saja? Isma, kamu tidak membiarkan mereka masuk?" selidik Eko kepada keponakannya itu.

"Paman, tapi Pak Arman ini bukan—"

"Saya datang ke sini untuk mengajak Isma menikah!" Lagi, Arman memotong pembicaraan, lirikan matanya tajam mengintimidasi Isma yang menggelengkan kepalanya. "Saya harus temui ibu Isma," kata Arman lagi.

Eko segera menarik Arman tapi bukan ke dalam rumah Isma, melainkan ke rumahnya yang berada di samping. Eko adalah adik ayahnya Isma yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, rumah mereka berdampingan.

"Paman tunggu, mau dibawa ke mana Pak Arman?" tanya Isma mencekal Eko dan Arman.

"Kamu diam saja, ini urusan Paman sebagai pengganti orang tua kamu." Eko kukuh membawa Arman masuk, lalu Retno datang menyusulnya.

"Pak, tolong bawa Pak Arman pergi dari sini," pinta Isma kepada Raffi. Hanya lelaki itu satu-satunya harapan Isma sekarang. "Paman tidak akan membiarkan Pak Arman pergi begitu saja, sebelum terlambat, tolong Pak Raffi bawa Pak Arman segera pergi."

"Memang kenapa Isma? Apa Pak Eko itu jahat? Saya tidak bisa membawa Pak Arman begitu saja, dia tetap menginginkan kamu untuk kembali ke kota. Lagipula kamu tenang saja, Pak Arman bukan orang yang bodoh. Dia bisa menghadapi orang seperti apa pun, termasuk paman kamu."

Isma bernapas resah, dia melihat Arman sedang berbicara dengan Eko dari jendela kaca rumah pamannya. Isma khawatir Eko akan melakukan hal yang memalukan kepada Arman mengingat karakter lelaki itu.

Kemudian Isma teringat akan ibunya yang ia tinggalkan di dalam rumah. Segera dia berlari ke dalam menemui perempuan renta itu.

"Bu," panggil Isma lalu ibunya menoleh pelan. Ada senyum samar di wajah senjanya yang pucat. "Ibu mau makan? Atau Ibu butuh sesuatu?"

"Tidak Isma," jawab Ibunya seraya menggelengkan kepala. "Tamunya sudah pergi? Tadi kamu bilang ada tamu di luar."

"Belum Bu, lagi ngobrol sama Paman." Isma harap Arman tidak diapa-apakan oleh Eko, atau akan lebih baik jika Eko mengusirnya saja.

Tapi harapan Isma tidaklah terjadi. Di ruang tamu milik Eko, lelaki berusia 45 tahun itu tersenyum girang mendengar rencana Arman yang mengatakan niatnya untuk membawa Isma kembali ke kota dan menikahinya.

"Saya ini walinya Isma, ayahnya sudah meninggal dan tanggungjawab atas Isma beralih kepada saya," ujar Eko dengan nada berwibawa. "Kalau Nak Arman ingin menikahi Isma, ya silahkan saja."

"Saya harus berbicara dengan Isma lebih dulu," kata Arman pamit pergi. Dia bukan tidak mengerti, tentu orang seperti Eko sudah sering dia jumpai. Bahkan tanpa mengatakannya secara gamblang pun Arman sudah tahu apa yang Eko inginkan.

Lalu, Arman kembali ke rumah Isma dan langsung masuk begitu saja. Di ruangan kedua yang pintunya tidak tertutup, langkah Arman terhenti saat mendengar Isma sedang berbicara.

"Apa yang sakit, Bu? Kita ke rumah sakit ya? Berobat, kalau perlu Ibu dirawat saja biar sehat lagi kayak semula."

"Ibu tidak mau Isma," tolak Ibunya. Perempuan itu tidak ingin membebani Isma lagi. "Beberapa hari ini, Ibu lihat mendiang ayah kamu."

Bergetar hati Isma mendengarnya. Matanya sudah berembun dan terasa panas. Andai saja Isma tidak malu, dia sudah mengedip dan meneteskan air matanya sejak tadi. Isma takut, Isma tidak ingin kehilangan ibunya.

"Kalau Ibu pergi, kamu sama siapa nanti?"

Deg! Mencelos sudah perasaan Isma, air matanya tidak terbendung lagi. Isma menangis sesenggukan lalu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk menggenggam tangan keriput ibunya.

"Maafin Isma, Bu. Isma tidak bisa membawa Ibu ke rumah sakit lebih cepat. Tapi sekarang ayo Bu, kita ke rumah sakit ya? Isma punya uang banyak, Ibu tidak usah khawatir lagi."

Isma melepaskan tangan ibunya saat itu juga, dia harus menemui Arman. Lalu saat di ambang pintu, Isma mendapati sosok pria itu berada di sana dengan wajah datarnya.

"Tolong saya Pak, tolong bawa Ibu saya ke rumah sakit terbaik. Tolong bantu Ibu saya sembuh, sebagai gantinya saya akan menerima tawaran Bapak." Isma mencapai titik putus asanya, asal Ibunya sehat kembali, dia akan melakukan apa pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status