Share

Mengejar Isma

"Tapi Pak, busnya sudah berjalan tiga puluh menit yang lalu!" Raffi mengacak rambutnya hingga berantakan. Lelaki itu sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, terdengar amukan Arman karena membiarkan Isma pergi begitu saja. Padahal, mana Raffi tahu kalau lelaki itu masih membutuhkan Isma.

"Kamu tunggu di sana!"

Masih tidak jauh dari terminal, Raffi menunggu Arman seperti yang lelaki itu sarankan. Cukup lama memang karena jarak dari kantor ke terminal sedikit jauh. Dari kaca spion, Raffi melihat mobil kantor datang dari arah belakang.

Arman turun dari mobilnya beralih ke mobil yang Raffi bawa, lelaki itu memasang sabuk pengaman lalu berkata, "ayo jalan! Susul dia."

"Memang ada apa, Pak?" tanya Raffi seraya menyalakan mesin mobil.

"Dia harus nikah sama saya!"

"Apa?" Tercengang Raffi mendengar jawaban Arman.

Arman bukan tipe lelaki yang senang menjelaskan sesuatu segala rinci kecuali dia yang menginginkannya. Raffi, sudah bekerja cukup lama dengan Arman. Lelaki itu memilih menutup mulut dan berkutat dengan pikirannya sendiri ketimbang kembali bertanya pada Arman.

"Kamu tahu di mana alamatnya, 'kan? Atau kamu bisa susul busnya, jalankan mobilnya lebih cepat!"

Menurut Raffi, Arman terlalu menganggap enteng sebuah perkara. Menyusul Isma dengan mengebut kendaraannya? Hal yang menyusahkan saja.

Hampir 3 jam lamanya di perjalanan, akhirnya mobil yang Arman tumpangi memasuki sebuah perkampungan. Raffi menggunakan aplikasi maps untuk melacak alamat Isma yang dia tahu dari kartu identitas perempuan itu yabg sempat dia lihat.

Pemandangan yang masih hijau, dikelilingi bukit dan pesawahan sejenak membuat Arman terpaku. Pria ketus tersebut merasakan ketenangan melihat semua itu. Sampai mereka melewati jajaran rumah warga, Raffi belum melihat Isma.

"Kamu yakin ini kampungnya?" tanya Arman mulai ragu. Pasalnya mereka seperti berputar-putar di sekitar itu saja. "Jangan-jangan nyasar! Saya tidak mau ya kalau nantinya kita tidak bisa kembali, apalagi harus kemalaman di jalan. Pokoknya perempuan itu harus kembali lagi hari ini."

"Kembali lagi? Memangnya Isma mau?" gerutu Raffi, tentu saja dalam hatinya. Mana berani dia menggerutu di depan Arman langsung.

Akhirnya Arman mendesak Raffi untuk bertanya pada warga. Di sebuah warung, mobil pun menepi. Rasa lapar yang lelaki itu rasakan diabaikannya. Pikiran Arman belum tenang sebelum menemukan Isma.

Bukan tanpa alasan Arman sampai rela menyusul Isma sejauh ini. Tadi pagi, tanpa diduga Clara datang ke rumahnya. Entah darimana perempuan itu tahu di mana kediaman Arman.

Terlanjur Arman mengatakan kepada Clara bahwa dia akan segera menikah dengan Isma, bahkan Arman juga meyakinkan Clara kalau dia dan Isma sudah tinggal bersama saking jengkelnya dengan sikap perempuan pilihan orangtuanya itu.

Sekarang, Isma tidak ada. Arman tidak ingin Clara dan orangtuanya mencap dirinya sebagai pembual kalau sampai mereka tahu semua yang dia katakan hanyalah karangan semata.

"Pak!" panggil Raffi. Lelaki itu tersenyum ragu, dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi.

Dengan mata memicing tajam, Arman yakin Raffi melakukan kesalahan. "Kita nyasar?"

"I–iya Pak, kampungnya Isma ada di desa lain," jawab Raffi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tidak berani menatap langsung mata Arman. "Kita putar balik ya, jaraknya sekitar satu jam dari sini."

"Astaga Raffi!" Arman merasa geram, tapi dia menahan emosinya. "Ayo cepat!"

Dengan langkah tergesa Raffi kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan lagi kendaraannya. Sementara itu, pria di sampingnya tetap setia menekuk wajah.

Satu jam berlalu, Raffi yakin mereka tidak salah alamat. Dia turun lebih dulu, mencari-cari rumah Isma sesuai petunjuk yang dia dapat dari warga yang lewat.

Sebuah rumah berukuran mungil, jauh dari kata mewah dengan warna cat yang mulai kusam memenuhi ciri-ciri yang Raffi tahu. Arman masih di dalam mobil, menunggu Raffi memastikan siapa penghuni rumah tersebut.

"Permisi!" seru Raffi seraya mengetuk pintu.

"Iya, sebentar!"

Suara sahutan dari dalam rumah tidak asing lagi di telinga Raffi, dia yakin memang Isma tinggal di sana. Tidak lama kemudian, kenop pintu yang berkarat itu bergerak.

"Pak Raffi?" Isma begitu terkejut melihat kedatangan lelaki itu. Dia baru saja tiba beberapa saat yang lalu dari kota, lalu sekarang Raffi ada di rumahnya. "Pak Raffi kenapa bisa ada di sini?"

"Tenang Isma, saya hanya mengantar seseorang ke sini." Kemudian Raffi menoleh ke belakang, tepatnya kepada seseorang yang duduk di dalam mobil. Dia yakin, Arman sedang mengawasi dirinya dan Isma dari sana.

"Pak Arman?" Sekarang Isma lebih terkejut lagi. Tidak hanya itu, Isma merasa gelisah sekarang. "Apa saya melakukan kesalahan, Pak?" tanya Isma mulai penasaran.

Sebelum Raffi menjawab, Arman sudah turun lebih dulu. Lelaki berperawakan tinggi dan gagah itu berjalan ke arah mereka.

"Saya harus bicara sama kamu—"

"Isma, ada siapa di luar?" Suara seseorang dari dalam kamar menginterupsi obrolan mereka.

"Maaf Pak, sebentar." Isma lalu meninggalkan Arman dan Raffi di luar, dia berlari kecil ke kamar.

Di ranjang, tergolek lemah seorang perempuan paruh baya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya kurus kering diselimuti selimut usang.

"Isma ada tamu sebentar, Bu." Isma lalu duduk di samping perempuan yang tak lain adalah ibunya. "Ibu butuh sesuatu? Biar Isma ambilkan sebelum Isma menemui tamunya lagi."

"Tidak ada Isma, Ibu tidak perlu apa-apa. Cuma penasaran aja siapa tamunya."

"Hm ... teman lama Isma Bu," jawab Isma berbohong. Dia tidak ingin membuat ibunya khawatir, apalagi Isma sendiri belum tahu tujuan Arman dan Raffi datang.

Setelah memastikan ibunya kembali beristirahat, Isma pun keluar lagi. Arman sudah duduk di kursi kayu yang terletak di teras. Sementara Raffi, berdiri sembari bersandar di tiang rumah.

"Maaf Pak sudah menunggu lama, ngomong-ngomong ada apa ya?" tanya Isma langsung pada intinya. "Pak Arman sama Pak Raffi kenapa tahu saya tinggal di sini?"

"Itu tidak penting," tukas Arman. "Yang terpenting sekarang, ayo berkemas lagi dan ikut saya kembali ke kota."

"A–apa?"

Raffi menggeleng pelan di tempatnya. Bagaimana bisa Arman bersikap begitu tenang dalam mengutarakan tujuannya yang absurd itu. Bukankah seharusnya Arman menceritakan lebih dulu maksud kedatangannya?

"Kenapa? Kamu tidak mau? Bukankah kamu butuh uang dan pekerjaan?" tanya Arman.

"Tapi itu kemarin, saya sudah dapat uang dari Pak Arman. Jadi saya tidak mau kembali ke kota Pak, mau buka usaha di sini saja."

"Tidak bisa begitu Isma!"

"Lho, kenapa Pak?"

"Kamu harus ikut sama saya, tugas kamu belum selesai!" kukuh Arman pada pendiriannya.

Isma kemudian beralih menatap Raffi, berbagai pertanyaan muncul di benaknya. "Saya tidak bisa, Pak. Saya mau di sini saja."

"Kamu tidak bisa tinggal di sini, kamu harus menikah sama saya Isma!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status