Share

Saya Mau Dia

"Jangan bicarakan ini lagi," kata Diajeng mengingatkan Arman. Perempuan itu berbalik, meninggalkan mereka untuk menyambut tamu besarnya.

Diikuti Bagus, Diajeng pergi ke teras. Di sana rekan bisnisnya sudah menunggu, juga Clara–gadis yang akan mereka jodohkan dengan Arman.

"Maaf membuat kalian menunggu," sambut Diajeng memasang senyum terbaik di wajahnya.

"Tidak apa, Bu."

Perempuan cantik dan anggun bernama Clara itu mencium punggung tangan Diajeng dan Bagus bergantian. Orangtuanya, Abimanyu dan Sintia juga ikut menyapa.

"Ayo masuk," ajak Diajeng menggandeng Sintia–calon besannya.

Saat mereka tiba di ruang tamu, keberadaan Arman dengan seorang perempuan tentu saja mengusik rasa penasaran dalam benak Clara dan orangtuanya. Memang belum ada pembicaraan resmi tentang perjodohannya dengan Arman, tapi Clara sudah yakin diadakannya acara malam ini tujuannya untuk itu.

"Siapa dia, Tan?" tanya Clara.

"Sekretaris Arman, tadi katanya mereka habis dari tempat klien makanya langsung ke sini," jawab Diajeng asal-asalan.

Lalu mereka duduk di ruang tamu tersebut, disuguhi berbagai hidangan dan minuman yang pelayan sajikan.m setelah saling menyapa satu sama lain.

Pandangan Clara tidak pernah lepas dari Arman dan Isma yang duduk berdampingan. Clara tidak menyukainya tentu saja.

"Tante, boleh Clara bicara dengan Arman?"

Diajeng mengangguk antusias, dia tahu Clara sepertinya mulai tertarik kepada putra semata wayangnya. Jika perjodohan ini berhasil maka akan bagus untuk bisnis mereka.

"Arman, ajak Clara untuk berjalan-jalan," kata Diajeng dengan isyarat matanya.

Tapi Arman bergeming, dia harus memutus pertemuannya atau akan terjebak lebih lama lagi dalam acara membosankan ini.

"Pak Abimanyu, Ibu Sintia dan Clara yang saya hormati, sejak tadi saya belum mengenalkan siapa perempuan di samping saya."

"Arman—" tukas Bagus. Lelaki itu tahu apa yang akan dilakukan Arman selanjutnya. Bagus menggelengkan kepalanya pelan, namun diabaikan oleh Arman.

"Memang siapa dia? Bukankah tadi Bu Diajeng sudah bilang, kalau dia sekretaris kamu?"

"Bukan, dia bukan sekretaris saya. Namanya Isma, dia calon istri saya." Pembawaan Arman begitu tenang saat menjelaskan siapa Isma sebenarnya. Lelaki itu terlihat biasa saja padahal Clara dan orangtuanya sudah memasang raut terkejut mendengar penuturannya barusan.

"Apa maksudnya ini?" tanya Abimanyu kepada Bagus.

"Sebentar Pak, ini hanya salah paham saja."

Suasana sudah mulai menegang. Meski begitu, Arman tidak terpengaruh sedikit pun.

"Pak," bisik Isma. Dia benar-benar tidak tahu jika tujuan Arman membawanya ke rumah itu untuk hal seperti ini. Ah bodohnya Isma, mana ada uang 10 juta akan Arman berikan hanya karena mengajaknya makan malam?

"Saya tidak bisa melanjutkan acara makan malamnya," kata Arman lagi kemudian berdiri seraya menggenggam Isma mengajaknya turut serta.

"Arman!" panggil Diajeng menatap tajam pada keduanya.

"Kalau begitu saya permisi." Dengan percaya diri Arman melenggang pergi, lelaki itu meninggalkan rumah orangtuanya setelah melemparkan rasa malu yang begitu dalam.

"Arman tunggu!" Diajeng mengejar, sementara Bagus masih duduk beserta tamunya yang sudah hampir naik pitam. "Kami minta maaf Pak, ini benar-benar di luar dugaan. Saya tidak tahu berandalan itu akan datang membawa seseorang."

Abimanyu juga tidak bisa berkata apa-apa. Meski harga dirinya terluka, terutama Clara, mereka tidak bisa membalasnya.

Sementara itu di luar, Diajeng menarik Arman agar tetap tinggal. "Arman, kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?"

"Sadar Ma!" Arman berbalik, melepaskan tangannya dari Isma. "Mama yang harusnya sadar, berhenti menjodohkan aku dengan siapa pun."

"Kenapa? Karena Kinan? Dia sudah pergi!"

"Ma!" Arman benar-benar muak karena lagi-lagi nama Kinan disebut. "Karena Isma, Mama lihat dia. Ini calon istri Arman!" jawabnya berbohong.

"Jangan bohong kamu!"

"Mama tidak percaya? Arman bisa buktikan, Arman akan nikahi Isma dalam waktu dekat!" Lalu Arman menarik Isma, memaksanya masuk ke dalam mobil.

"Ada apa ini?" gumam Isma semakin dibuat pusing oleh kekacauan yang Arman buat. Lelaki itu berjalan memutari bagian depan mobil, kemudian duduk di balik kemudi.

Dua mobil iring-iringan keluar dari kediaman Bagus Rasendriya, yang satunya yaitu Raffi yang mengikuti Arman dan Isma.

Hampir satu kilometer setelah mobil melaju, Arman berhenti. Dia meminta Isma turun dan pindah ke mobil Raffi, lalu tanpa berkata apa-apa lelaki itu meninggalkan mereka dan mengemudi dengan kecepatan tinggi.

"Ini bayaran kamu," kata Raffi menyodorkan amplop untuk Isma.

"Ini beneran, Pak?" tanya Isma masih tidak percaya. Segepok uang yang dia impikan kini ada di telapak tangannya. "Terus Pak Arman?"

"Urusan kalian sudah selesai, kamu mau pulang 'kan?"

"I–iya."

"Tidur di apartemen untuk malam ini saja, bahaya kalau kamu pergi sekarang. Besok pagi-pagi sekali, saya akan datang untuk mengambil kuncinya. Ayo, saya antar kamu ke sana."

Isma hanya menurut saja, dia duduk di dalam mobil dan Raffi membawanya ke apartemen Arman. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan dalam benak Isma. Tapi siapa dia? Kenapa harus tahu urusan orang lain? Yang terpenting Arman menepati janjinya, 'kan?

Semalaman Isma tidak bisa tidur. Dia memikirkan bagaimana keadaan Arman sekarang? Tiba-tiba saja sosok lelaki itu menempel kuat di kepalanya.

"Ah ... jadi tadi pak Arman bawa aku cuma buat batalin perjodohannya ya? Kenapa pak Arman nolak? Padahal perempuannya cantik," gumam Isma. "Apa orang kaya selalu punya masalah seperti ini?"

Isma tidak habis pikir, kenapa Arman menolak Clara? Sekilas, adegan yang terjadi tadi seperti adegan di sinetron-sinetron.

Keesokan paginya, Isma sudah siap karena bangun lebih awal. Semangat dalam dirinya begitu membara, dia akan pulang hari ini dan bertemu ibunya. Tidak banyak yang Isma bawa, hanya beberapa helai pakaian pemberian Raffi sehingga Isma tidak butuh waktu lama untuk berkemas.

Seperti yang Raffi katakan semalam, dia datang sangat pagi. Bahkan lelaki itu berniat mengantarkan Isma ke terminal sebelum pergi ke kantor.

"Apa pak Arman baik-baik saja?" tanya Isma akhirnya. Mereka sedang dalam perjalanan.

"Kamu mengkhawatirkannya?"

"Ah itu, semalam pak Arman ribut dengan orangtuanya."

"Tidak masalah Isma, itu sudah biasa."

"Sudah biasa?"

Raffi mengangguk, "saya sudah bekerja untuk pak Bagus sebelum dengan pak Arman. Sedikit banyak saya tahu bagaimana hubungan mereka."

"Oh ...."

Saat mereka sampai di terminal, Raffi mencarikan tiket bus untuk Isma. Dia memastikan perempuan itu naik ke dalam kendaraannya.

"Sekali lagi terima kasih, Pak. Sampaikan salam saya untuk pak Arman," ujar Isma.

"Tentu, akan saya sampaikan. Jangan kembali lagi ke kota ini, Isma. Kota ini terlalu kejam untuk perempuan seperti kamu, gunakan uang dari pak Arman dengan sebaik-baiknya."

Isma menganggukkan kepalanya, binar bahagia tidak lepas barang sedetik pun dari wajahnya. Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya. "Saya tidak akan kembali ke sini lagi," kata Isma.

Lalu perempuan itu naik ke dalam bus, duduk dengan nyaman dan melihat Raffi masih ada di luar sana menungguinya. Sepuluh menit kemudian, bus mulai melaju meninggalkan kota yang hampir menjerumuskan Isma ke dalam dunia kelam.

Di tempatnya, Raffi bernapas lega karena akhirnya Isma pun pergi dengan aman. Tiba-tiba ponselnya berdering saat dia menuju ke kantor. Ada nama Arman di sana.

"Iya, Pak?"

"Di mana Isma?"

"Sudah pergi, Pak. Dia pulang ke kampung halamannya."

"Kejar dia Raffi, saya mau dia sekarang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status