Share

Calon Istri

Arman menelisik sosok perempuan yang berdiri menundukkan pandangannya. Isma, gadis itu sudah jauh lebih baik meski beberapa kain kassa masih menempel menutupi bekas lukanya.

Celana training kelonggaran, kaos oblong kebesaran melekat di tubuh mungilnya. Arman mengamati penampilan perempuan yang kata Raffi berasal dari kampung itu. "Benar-benar kampungan," gumam Arman namun masih dapat Isma dan Raffi dengar.

Kemudian, Arman menyisir seluruh sudut ruangan apartemennya. Tidak ada yang berubah, maksudnya tidak ada yang hilang. Arman yakin Isma tidak mencuri atau menyembunyikan barang miliknya selama tinggal di sini.

"Ini uang sebagai ganti rugi, kamu bisa pergi setelah ikut saya ke kantor polisi untuk melakukan wajib lapor," ucap Raffi pada Isma seraya menyodorkan amplop coklat cukup tebal kepadanya.

"Tidak perlu, Pak. Saya sudah diijinkan tinggal di sini juga sudah bersyukur, jadi waktunya saya pulang dan uang itu tidak perlu Bapak kasih lagi." Isma mendorong amplop yang Raffi berikan padanya. Senyum tulus terbit di wajah Isma yang tanpa riasan.

"Kamu butuh uang? Banyak?" Suara Arman menginterupsi adegan tersebut, dia menatap lamat-lamat perempuan itu. "Berapa?"

"Maksud Bapak?"

"Saya akan berikan kamu uang berapa pun, asal kamu lakukan apa yang saya mau."

Raffi yang duduk di sebelah Arman tidak mengerti maksud pria itu. Ada apa dengan Arman? Pikirnya.

"Saya butuh uang, tapi saya lebih butuh pekerjaan Pak."

"Bagus!" tukas Arman menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya.

"Pak—" Raffi mencoba mencari maksud perkataan Arman.

"Saya akan berikan 10 juta kalau kamu berhasil melakukan tugas yang saya beri." Arman kemudian menjelaskan semuanya, dia ingin Isma datang ke acara makan malamnya.

"Hanya itu, Pak?" Isma yang tergiur dengan uang 10 juta hampir tidak percaya. Uang 2 juta saja harus dia dapatkan dengan menjual diri, apalagi 10 juta? Tidak mungkin rasanya uang sebanyak itu bisa dia dapatkan cuma-cuma hanya dengan makan malam saja.

"Iya hanya itu," jawab Arman.

Sementara itu, Raffi mulai mengerti ke mana alur pembicaraan mereka. Raffi yakin, Arman akan memanfaatkan Isma untuk menggagalkan perjodohannya dengan Clara.

"Bagaimana?" tanya Arman lagi.

"Hanya makan malam dan saya bisa dapat uang 10 juta?"

Arman berdecih, senyumnya miring mengejek Isma yang matrealistis di matanya. "Hanya itu."

"Mau Pak," jawab Isma tanpa ada keraguan lagi. Pikirnya, Isma akan pulang ke kampung dengan uang 10 juta. Bukankah dia bisa memulai usaha kecil-kecilan dengan uang sebanyak itu? Isma bisa tinggal bersama ibunya tanpa harus merantau lagi.

"Urus dia," kata Arman lalu melenggang pergi meninggalkan Raffi dan Isma.

Sepeninggalan Arman, Raffi mulai sibuk menghubungi beberapa orang. Waktunya hanya tersisa sekitar 6 jam dan Isma harus sudah siap dibawa ke kediaman orang tua Arman.

Lalu, satu jam berlalu dan orang-orang yang Raffi panggil mulai berdatangan. Ada orang dari butik yang membawa beberapa gaun untuk Isma pakai, dan orang dari salon yang akan merias Isma agar penampilannya berubah.

Beberapa kali Isma mencoba gaun, kemudian menggantinya lagi karena menurut Raffi tidak cocok. Dari yang sangat terbuka, sampai yang warnanya tidak elegan.

Lalu, pilihan jatuh kepada gaun panjang dengan lengan pendek berwarna merah maroon. Kulit Isma yang cukup putih begitu cocok dengan gaun tersebut.

"Buat dia secantik mungkin, jangan terlalu tebal tapi harus meninggalkan kesan elegan. Pak Arman tidak suka perempuan yang menor," kata Raffi mengingatkan.

Lelaki itu menunggu di ruang tamu sementara Isma diurus orang-orangnya. Hampir tiga jam lamanya Isma baru keluar.

"Pak!" panggil Isma mengagetkan Raffi yang hampir tertidur karena merasa suntuk. Isma tersenyum kikuk menjinjing sepatu heels di tangannya. "Saya tidak bisa memakai ini, Pak."

"Ah!" Raffi memanggil pegawai salon, "ajari dia pakai itu. Setidaknya untuk malam ini saja dia harus berhasil."

Raffi duduk dengan gelisah, melihat Isma berulangkali terjatuh karena tidak bisa berjalan menggunakan sepatu ber-hak tinggi. Lelaki itu mulai cemas, takut jika Arman tahu kekurangan Isma lelaki itu akan marah.

Bayangkan saja, Arman akan membawa Isma. Entah akan diakui sebagai apa, tapi Raffi yakin Arman tidak akan suka jika Isma sampai mempermalukannya di depan keluarga.

"Ayolah Isma, demi 10 juta!" seru Raffi memberi semangat. "Hanya malam ini, kamu harus bisa dan setelah itu kamu pulang ke kampung halaman!"

Isma juga hampir menyerah, kakinya sampai lecet karena terlalu dipaksakan berjalan. Tapi bayangan uang 10 juta dan hidup bersama ibunya mulai terbayang. Isma menarik napas panjang, dia mengenakan lagi sepatunya.

"Ayo Isma, demi ibu!" Tekadnya kembali kuat, Isma menyemangati dirinya sendiri.

Sampai tiba waktunya, tepat pukul 7 malam Arman menunggu di depan rumah orangtuanya. Rumah mewah berlantai 2 itu dijaga beberapa pengawal. Sebuah mobil sedan berwarna hitam melesat dan berhenti tepat di rumah tersebut. Kemudian, Raffi turun membuka pintu untuk Isma.

Arman mengernyit heran, matanya menyorot pada sosok perempuan yang sedang digandeng oleh Raffi. "Apa dia Isma? Perempuan kampungan itu?"

Sampai lebih dekat, baru Arman yakin jika perempuan yang dia lihat sekarang adalah sama dengan perempuan tadi di apartemennya. Isma berubah 180 derajat. Cantik, dan tidak ada lagi mimik pucat di wajahnya.

"Pak," tegur Raffi menyadarkan Arman dari lamunannya.

"Ayo masuk, kamu boleh tunggu di sini Raf!" Arman mengambil alih lengan Isma, menggandengnya seperti yang Raffi lakukan tadi.

Kemudian, mereka berjalan bersama. Isma tidak bisa membohongi dirinya yang sedang takjub. Ini pertama kalinya dia masuk ke dalam rumah yang begitu besar dan indah. Arsitektur rumah tersebut terlihat indah.

"Jaga mata kamu, atau semua orang akan sadar dari mana kamu berasal!" tekan Arman setengah berbisik.

Isma langsun menunduk, dia merasa malu karena teguran dari Arman. "Maaf, Pak."

"Arman?" Suara lainnya datang menegur.

Arman dan Isma berhenti berjalan, berbalik bersama. "Pa, Ma."

Sepasang lelaki dan wanita paruh baya dengan pakaian formal mendekat dengan tatapan heran kepada keduanya. "Kamu datang sama siapa?"

Arman melirik Isma, tersenyum lebar menghilangkan wajahnya yang kaku dan dingin. Isma sampai melongo, larut dalam senyum lelaki itu. Arman benar-benar menawan, garis ketampanannya meningkat saat dia tersenyum. Isma baru menyadarinya karena beberapa kali mereka bertemu Arman selalu menekuk wajahnya.

"Ehem!" deham Arman sadar akan tatapan Isma yang membuatnya risih. "Kenalin Ma, Pa, ini Isma. Dia ...."

"Pak, Bu. Tamunya sudah di depan." Seorang pelayan datang tiba-tiba.

Perkataan Arman terputus, karena Bagus dan Diajeng langsung mengangguk kepada pelayan itu. "Ayo Arman, Clara sudah datang."

Arman berdesah pelan, dia harus siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Pa, Ma, ini Isma. Calon istri Arman," ujar Arman menghentikan langkah kedua orangtuanya.

Serupa dengan Bagus dan Diajeng, Isma tak kalah terkejutnya. Dia memandang lekat pada lelaki berhidung mancung di sisinya, genggaman tangan Arman menguat, lelaki itu lagi-lagi tersenyum pada Isma. "Dia perempuan yang sangat Arman cintai."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status