Share

Bab 2 - Ujian Bertubi-tubi

Sora memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan tangan gemetar sesaat setelah Langit bangkit dari tubuhnya. Sora dapat melihat ekspresi terkejut yang begitu kentara pada wajah pria itu. 

Dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipi dan menahan rasa sakit yang teramat di bagian intinya, Sora mengenakan pakaiannya kembali.

"Kenapa Tuan tega melakukan ini semua kepada saya… apa salah saya pada Anda, Tuan?" Setelah memakai pakaiannya kembali, Sora memberanikan diri menatap wajah Langit.

Bukannya menjawab pertanyaan Sora, Langit justru menatapnya dengan dingin. Tatapan yang acap kali Sora lihat setiap bertemu dengannya.

Tidak mendapatkan jawaban dari Langit, membuat Sora segera melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kerja pria itu. Ia harus segera pergi sebelum pria itu berbuat hal buruk kepadanya kembali.

Langit mengusap wajahnya kasar setelah kepergian Sora. "Sial, kenapa aku bisa melakukannya dengannya. Bukankah seharusnya wanita yang aku sentuh tadi wanita bayaran yang disewa oleh Theo?" 

Pengaruh alkohol benar-benar menguasai dirinya hingga tidak bisa mengenali wanita yang disentuhnya. Rasa bersalah pun mulai menyeruak di hati Langit mengingat penampilan Sora yang tadi nampak mengenaskan. Ingin sekali Langit meminta maaf pada wanita itu. Namun, egonya yang tinggi membuatnya sulit untuk berkata-kata walau hanya sekedar mengucapkan kata maaf.

Beberapa saat berlalu...

Sora tiba di kediaman Bibinya. Belum hilang rasa sakit hatinya karena perbuatan keji Langit kepadanya, kini hatinya sudah bertambah sakit mendengar cacian dan makian bibi dan adik sepupunya kepadanya.

"Kau pasti keluyuran kan sehingga baru pulang jam segini?" Tuduh Zoya—adik sepupu Sora.

Sora menggeleng lemah. "Tidak. Aku benar-benar habis lembur," jawabnya.

Zoya berkacak pinggang. Merasa tidak percaya dengan perkataan Sora. “Halah! Biasanya kau tidak pernah lembur,” semburnya. “Lihat, Ma, sekarang wanita sial ini sudah berani berbohong!” 

Ucapan sepupunya itu berhasil memantik amarah Bibi Rida. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah baik aku memberimu tumpangan, tapi kau malah keluyuran tidak jelas!” 

Sora tak lagi begitu mendengarkan rentetan caci maki wanita paruh baya di hadapannya. Kepalanya terasa begitu penuh hingga rasanya Sora ingin hilang saja.  Mau melawan pun tidak mungkin sebab ia sadar diri dengan posisinya di rumah itu.

Masuk ke dalam kamarnya, Sora menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ia menggosok kulitnya dengan kasar merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Saat sedang membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi pun Sora turut melakukan hal yang sama hingga membuat beberapa bagian kulitnya tergores dan memerah.

"Aku sudah kotor..." lirih Sora tertahan. Entah apa lagi yang bisa ia banggakan pada dirinya sendiri. Kehormatan yang selama ini ia jaga telah direnggut paksa oleh bosnya. Kini ia hanyalah wanita kotor yang sudah tidak memiliki masa depan.

Sepanjang malam, Sora hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang buruk. Sudahlah dari kecil ia merasakan peliknya kehidupan setelah kehilangan kedua orang tua hingga akhirnya tinggal bersama bibinya yang kejam, kini ia kembali merasakan peliknya kehidupan karena diperkosa oleh bosnya sendiri.

Akibat menangis sepanjang malam dan baru bisa tertidur di saat waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi, membuat Sora akhirnya kesiangan. Pagi itu, ia kembali mendapatkan cacian dan makian dari Bibi Rida karena dianggap pemalas tidak membuatkan sarapan untuknya seperti biasanya.

Sora hanya bisa memelas. Memberikan alasan pada Bibi Rida tentang kondisi tubuhnya yang tidak fit. Sora turut mengatakan pada Bibi Rida tentang niatnya yang ingin mengambil cuti bekerja hari itu.

"Tidak bisa. Kau harus tetap bekerja!" Sahut Bibi Rida setelah mendengar alasan Sora. Tidak akan ia biarkan Sora mengambil cuti karena itu sama saja mengurangi jatah bulanannya.

"Tapi, Bibi..." Sora berniat membantah, tapi tatapan nyalang Bibi Rida mengurungkan niatnya.

"Tidak ada tapi-tapian! Pergi bekerja sekarang atau kau Bibi usir dari rumah ini!" Ancam Bibi Rida.

Ancaman tersebut membuat nyali Sora menciut. Jika ia diusir dari rumah tersebut, di mana lagi ia akan tinggal? Pada akhirnya, Sora hanya bisa pasrah mengikuti perintah Bibi Rida untuk tetap masuk bekerja.

Baru saja tiba di perusahaan, Sora kembali mendapatkan makian dari Regina karena terlambat masuk bekerja untuk pertama kalinya.

"Jika kau terlambat satu kali lagi, aku tidak akan segan untuk memecatmu!" ancam Regina dengan tatapan nyalang.

Sora hanya bisa mengangguk dengan kepala tertunduk. Melawan pun tiada guna sebab dirinya sadar jika bersalah saat ini.

“Sora, kamu dipanggil Presdir.” 

Sora menoleh kaget pada seorang rekan kerja sesama office girl yang baru masuk ke dalam ruangan kebersihan dan memberitahu Sora jika ia dipanggil presdir ke ruangan kerjanya. 

Sora menegang. Ada tujuan apa Langit memanggilnya? Apa Langit berniat buruk kembali kepadanya seperti tadi malam? Memikirkan itu semua membuat Sora menjadi takut.

Dengan tubuh gemetar, Sora akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kerja Presdir yang sudah menjadi saksi hilangnya mahkota yang sudah ia jaga selama ini.

"Ehem." Deheman Theo membuat kepala Sora yang tertunduk akhirnya mendongak menatap ke arahnya.

Sora tertegun. Ia pikir hanya Langit yang berada di dalam ruangan tersebut. Tapi ternyata, Theo juga berada di sana.

"Mendekatlah,” kata Theo yang kini duduk di atas sofa. Sementara Langit, pria itu duduk di kursi kerjanya menatap keduanya dalam diam.

Sora melangkah mendekat dengan kepala tertunduk. Ia tidak berani menatap ke arah meja kerja Presdir dimana Langit berada saat ini.

Tanpa banyak kata, Theo menyodorkan sebuah cek kosong kepada Sora hingga membuat dahi Sora mengkerut karena bingung.

"Saya telah mengetahui apa yang sudah terjadi kepadamu dan Tuan Langit tadi malam. Sebagai kompensasi atas kesalahan tersebut, Tuan Langit memberikan cek kosong ini kepadamu. Kau bebas menulis berapa pun nominalnya."

Sora hanya menatap selembar cek tersebut tanpa berniat menerimanya. "Saya tidak mau menerimanya. Karena kehormatan saya tidak bisa Anda beli dengan apa pun termasuk dengan uang," tekan Sora dengan bibir bergetar.

Langit yang duduk di kursi kerjanya mengepalkan kedua tangannya. Merasa kesal karena Sora seakan mempersulit penyelesaian masalah di antara mereka. Sedetik kemudian ia pun berdehem. Memberikan kode pada Theo agar melanjutkan perintah darinya.

"Tidak masalah jika Anda tidak mau menerima cek ini, Nona. Tapi jangan salahkan saya jika saya mengeluarkan surat pemecatan Anda dari perusahaan ini sekarang juga." 

Ancaman Theo berhasil membuat Sora tak berkutik. Pekerjaannya saat ini adalah harta yang paling berharga untuknya. Jika ia dipecat, maka dari mana lagi ia bisa mendapatkan uang untuk memberikan jatah bulanan pada bibinya? Mencari pekerjaan baru pun saat ini sangatlah sulit.

Pada akhirnya, Sora tidak punya pilihan lain selain menerima selembar cek yang diberikan Theo. "Saya mohon izinkan saya tetap bekerja di perusahaan ini, Tuan,” pinta Sora mengiba.

Theo menganggukkan kepalanya. "Kau tidak akan dipecat dari perusahaan ini asalkan menerima cek itu dan tidak membocorkan apa yang telah terjadi kepadamu dan Tuan Langit pada siapa pun. Jika kau ketahuan membocorkan rahasia tersebut, maka kau akan tahu akibatnya. Bukan hanya sekedar dipecat, saya akan memastikan jika hidupmu menderita." 

Sora menganggukkan kepalanya. Sungguh ia tidak berniat memberitahu pada siapa pun apa yang telah terjadi kepadanya dan Langit. Lagi pula, pada siapa ia akan mengadu mengingat tidak ada satu orang pun yang peduli kepadanya di dunia ini.

Sora akhirnya keluar dari dalam ruangan tersebut setelah menyetujui segala persyaratan dari Theo. Kepergian Sora pun membuat Langit merasa lega karena menurutnya permasalahannya dengan Sora telah selesai.

Baru saja Langit merasa lega, kini Langit sudah dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita muda yang berstatus sebagai kakak sulungnya. 

“Kakak? Ada keperluan apa—” 

Langit belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat wanita yang terlihat marah itu berjalan dengan langkah lebar menghampirinya, lalu …

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat tepat di wajah tampan Langit hingga membuat sebelah pipinya terasa perih dan memerah.

“Apa-apaan ini, Kak?!” sergah Langit, tidak dapat menyembunyikan amarahnya.

“Seharusnya Kakak yang bertanya padamu. Apa yang telah kau lakukan semalam, hah?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status