"Apa yang telah kau lakukan kemarin malam di sini?" Bella—kakak sulung Langit menatap pria itu tajam setelah mengulang pertanyaannya.
Langit terkesiap. Ekspresi wajahnya berubah terkejut setelah mendengarkan perkataan sang kakak.
"Kenapa diam? Apa lidahmu sudah tidak bisa digunakan dengan benar untuk menjawab pertanyaanku, huh?" bentak Bella. Wanita muda itu nampak marah menatap wajah adik bungsunya.
"Dari mana Kakak tahu?" Bukannya menjawab, Langit justru bertanya balik pada Bella.
"Apa yang tidak Kakak ketahui tentang dirimu? Beberapa banyak wanita yang telah kau tiduri saja Kakak tahu!" sentak Bella.
Langit terdiam. Ditatapnya wajah asistennya yang nampak datar seakan tidak merasa bersalah.
"Kali ini Kakak tidak bisa memberikan dispensasi lagi kepadamu, Langit. Jika biasanya Kakak membiarkanmu menyewa banyak wanita untuk memenuhi hasratmu, tapi kali ini tidak. Kakak tidak bisa membiarkanmu bersikap sesuka hatimu karena wanita yang sudah kau perkosa tadi malam bukanlah wanita bayaran melainkan gadis baik-baik yang berjuang mencari nafkah di sini!" lanjut Bella dengan keras.
"Apa maksud perkataan Kakak?" Langit tak ingin berbasa-basi.
"Kakak ingin kau bertanggung jawab dengan menikahinya!" Ucap Bella tegas.
"Apa?" Kedua kelopak mata Langit terbuka lebar. "Kakak jangan bercanda. Aku tidak mau menikahinya!" lanjut Langit tak kalah tegas.
"Kau memang pria bejat, Langit. Setelah kau memperkosa gadis tak bersalah, kini kau tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kau perbuat! Kau pikir dengan uang yang kau berikan kepadanya bisa membuat keperawanannya kembali?!" maki Bella.
Langit terdiam. Sebenarnya ia sadar dengan hal itu. Ia juga merasa sangat bersalah pada Sora. Namun apa daya, ia tidak bisa diminta bertanggung dalam bentuk menikahi Sora.
"Aku tidak bisa menikahi wanita yang tidak aku cintai, Kak. Lagi pula aku masih menunggu dia kembali," jawab Langit. Kali ini suaranya terdengar sedikit pelan mengingat sang pujaan hati yang pergi entah ke mana.
Kedua tangan Bella terkepal. Lagi, ia mendengarkan jawaban yang sama dari Langit saat dirinya meminta Langit untuk segera menikah.
"Jangan memaksaku untuk menikahi wanita yang tidak aku cintai, Kak. Karena bila itu terjadi, aku tidak bisa menjamin wanita itu akan bahagia hidup bersamaku,” ujar Langit penuh penekanan.
**
Hari-hari terus berlalu, perlahan Sora mulai melupakan kejadian memilukan yang terjadi kepada dirinya. Ia menjalani aktivitas sehari-hari dengan perasaan tenang sebab setelah kejadian malam itu ia sangat jarang bertemu dengan Langit.
Tugasnya membuatkan kopi untuk Langit pun kini sudah berpindah tangan kepada rekan kerjanya yang lain. Hal itu tentu saja membuat Sora senang sebab kemungkinannya bertatap muka dengan Langit sangatlah tipis.
Pagi itu, Sora merasakan tubuhnya terasa tidak enak. Perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pusing. Ingin sekali Sora mengambil cuti untuk beristirahat di rumah, namun hal tersebut tidak mungkin ia lakukan sebab Bibi Rida dan atasannya di perusahaan pasti akan memarahinya.
"Kenapa tubuhku rasanya tidak enak sekali," gumam Sora seraya mengurut kepalanya yang terasa sakit.
"Hei, Sora, kenapa kau diam saja di situ. Ayo lanjutkan pekerjaanmu!" titah Regina yang sedang memantau kinerja bawahannya di lantai lima belas dan melihat Sora berdiri diam di sudut ruangan.
"Baik, Bu." Sora menurut. Kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali sambil menahan rasa sakit di kepalanya.
"Jangan lupa bersihkan ruangan Presdir juga!" tambah Regina sebelum berlalu dari hadapan Sora.
Sora mengangguk. Dengan cekatan, Sora menyapu, mengepel dan membuang sampah yang berada di dalam ruangan kerja presdir. Dan kini, tinggallah pekerjaan terakhirnya membersihkan kamar mandi.
Hoek!
Sora menutup mulut dengan telapak tangannya saat mencium aroma sabun yang menyeruak masuk ke dalam hidungnya. "Bau sekali. Rasanya aku tidak sanggup untuk membersihkan kamar mandi ini,” gumam Sora. Walau pun mengeluh, tapi Sora tetap membersihkannya. Sebab, Regina pasti akan memarahinya jika pekerjaannya tidak beres.
Merasa tidak tahan dengan gejolak dari dalam perutnya yang terasa ingin keluar, Sora bergegas melangkah ke arah wastafel dan memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya.
“Hoek!”
Suara muntahan dari dalam kamar mandi menyambut kedatangan Langit yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerjanya. Dahi Langit mengkerut. Merasa bingung siapa yang sedang berada di dalam kamar mandinya saat ini. Penasaran, Langit bergegas menuju arah kamar mandi.
"Kau..." kedua kelopak mata Langit terbuka lebar melihat Sora yang ternyata berada di dalam kamar mandi tersebut dalam kondisi muntah-muntah.
"Tu-tuan Langit." Sora yang turut melihat kedatangan Langit dari pantulan cermin wastafel segera membalikkan tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat menatap pria yang sangat ia hindari beberapa waktu belakangan ini.
Langit memperhatikan wajah Sora yang nampak pucat seakan tidak teraliri darah di sana. Kedua kaki jenjangnya pun akhirnya melangkah mendekati Sora berniat mempertanyakan keadaan wanita itu.
“Ja-jangan…”
Melihat Langit yang berjalan mendekati dirinya membuat Sora semakin takut. Ingatan tentang malam kelamnya bersama Langit kembali berputar di kepalanya hingga membuat kepalanya bertambah pusing dan pandangannya mulai gelap.
"Sora!" Terdengar suara teriakan Langit yang menggema sebelum akhirnya Sora menutup kedua kelopak matanya.
**
"Hamil?" Langit berucap lirih dalam hati. Ditatapnya wajah Sora yang masih pucat dan terpejam.
Ketegangan terlihat jelas di wajah Langit setelah dokter pribadi keluarganya memberitahu hasil diagnosa keadaan Sora saat ini.
Dokter yang sudah selesai memeriksa Sora segera berpamitan setelah menitipkan pesan pada Langit agar memberitahu Sora untuk melakukan pemeriksaan kondisi kandungannya pada dokter obgyn setelah sadar nanti.
Theo yang berdiri tidak jauh dari Langit berada memilih diam walau dirinya ikut terkejut dengan informasi yang baru saja ia dengar.
"Bagaimana ini…" Langit mengusap wajahnya frustrasi. Perasaannya mulai cemas memikirkan jika anak yang dikandung Sora saat ini adalah darah dagingnya.
Ceklek!
Baru saja Dokter pergi meninggalkan ruangan kerjanya, pintu ruangan kerja Langit sudah kembali terbuka dan memperlihatkan wajah tak bersahabat Bella di sana.
"Kak Bella..."
***
Bella kini telah berdiri tepat di hadapan Langit. Kedua tangannya bersedekap di dada. Tatapan matanya pun terhunus tajam pada Langit. "Bagaimana, Langit. Setelah mengetahui wanita itu sedang mengandung darah dagingmu apa kau masih berniat lari dari tanggung jawab?" Tanya Bella.Wajah Langit terlihat datar menatap sang kakak. Ia sudah menduga jika Bella mengetahui keadaan Sora saat ini mengingat dokter pribadi keluarganya baru saja keluar dari ruangan kerjanya dan pasti bertemu dengan Bella. "Belum tentu anak yang ada di dalam kandungannya itu anakku. Bisa jadi dia pernah tidur bersama pria lain." Jawab Langit.PlakTelapak tangan Bella menempel tepat di pipi Langit. Wajah wanita itu nampak geram terlihat jelas dari tatapan matanya yang semakin tak bersahabat. "Berani sekali kau berkata seperti itu, Langit. Sudah jelas anak itu adalah anak kandungmu. Dia tidak mungkin melakukannya dengan pria lain!" Maki Bella.Langit mengalihkan pandangan matanya ke samping merasa enggan melihat kemar
Perasaan Sora dibuat tidak tenang setelah menyadari dua orang pria berbaju hitam mengikutinya sejak ia keluar dari dalam minimarket membeli sebuah roti untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar. Sora terus melangkah menjauhi kedua pria tersebut hingga akhirnya langkahnya terhenti saat tubuhnya tidak sengaja menabrak tubuh seseorang."Aw..." Sora mengusap pelipisnya yang terasa sakit. Sedetik kemudian ia mendongak untuk melihat siapakah orang yang baru saja ia tabrak. "Tu-tuan Langit." Sora terbata. Tubuhnya bergetar hebat hingga membuat roti yang tadi ia beli jatuh ke atas tanah. Sora tak memperdulikan roti tersebut. Perlahan sepasang kakinya melangkah mundur berniat kabur dari Langit. Ya, ia harus pergi dari pria itu sebelum Langit berniat buruk kepadanya.Dua orang pria yang sejak tadi mengikuti Sora bergerak cepat menahan langkah Sora saat menyadari wanita itu hendak kabur."Apa yang kalian lakukan. Lepaskan aku!" Sora berteriak. Bukan hanya roti di tangannya saja yang terjatuh k
Sora mengangguk setuju. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan perkataan Langit agar tidak mencintai pria itu. Lagi pula, Sora merasa tidak mungkin mencintai pria itu. Karena jangankan untuk mencintai Langit, melihat wajah Langit saja dia sudah takut."Sebentar lagi akan datang seorang pelayan yang bertugas membantumu selama tinggal di apartemen ini. Jika kau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan meminta tolong kepadanya." Kata Langit setelah menyampaikan beberapa pesan sebelum menikah dengan Sora."Baik, Tuan. Terima kasih." Jawab Sora pelan.Langit segera bangkit dari posisi duduk. Ia merapikan kemejanya yang sebenarnya tidak berantakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Langit segera melangkah pergi meninggalkan apartemen dan memberikan pesan pada Theo agar melanjutkan tugasnya di sana.Setelah kepergian Langit, Theo langsung saja menunjukkan pada Sora dimana letak kamar wanita itu. Tak lupa Theo mengingatkan pada Sora agar tidak berani kabur dari apartemen."Selangkah saja anda
Pukul dua dini hari, Sora terjaga dari tidur lelapnya. Mimpi buruk yang menguasai alam bawah sadarnya membuat Sora terjaga dengan napas yang naik turun. "Bibi!" Lirih Sora teringat dengan mimpi buruknya bagaimana Bibi Rida mengusirnya setelah mengetahui dirinya hamil di luar nikah. Bahkan tanpa belas kasih Bibi Rida membiarkan Zoya mendorong tubuhnya yang sedang berbadan dua keluar dari rumah hingga nyaris terjatuh.Air mata meleleh membasahi wajah Sora. Sosok wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri tega memperlakukannya dengan buruk. Bukan hanya pada saat ia ketahuan hamil di luar nikah saja, namun sejak ia masih kecil dan belum mengerti kejamnya dunia."Sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupku. Aku benar-benar kesepian." Lirih Sora merasa sedih. Entah kehidupan seperti apa lagi yang akan ia lewati kedepannya setelah keluar dari rumah Bibi Rida. Sedang memiliki keluarga saja hidupnya sudah terasa pelik, apa lagi setelah ini. Di tengah kesedihanny
Langit menyadari jika kedatangannya membuat napsu makan Sora jadi hilang hingga membuat wanita itu menghentikan aktivitas memakan makanannya. Tidak ingin membuat Sora menyisakan makanan hanya karena dirinya, Langit pun memilih meninggalkan ruangan makan."Habiskan makananmu. Setelah itu temui saya di ruangan tamu." Pesan Langit sebelum pergi meninggalkan Sora.Sora tercenung. Rupanya pria itu menyadari jika kehadirannya bagaikan mood buruk hingga mengganggu napsu makannya. Setelah kepergian Langit, Sora segera menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit. Ia tidak boleh menyisakan makanan yang lezat itu mengingat selama ini ia sangat sulit untuk bisa merasakan menikmati makanan yang lezat seperti yang ia makan saat ini.Selesai menghabiskan makanannya, Sora segera menuruti perintah Langit yang memintanya menyusul ke ruangan tamu. Tiba di sana, Sora melihat pria paruh baya yang tadi datang bersama Langit nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ia bawa."Duduklah." Kata La
Sora dan Langit kini sudah duduk di depan penghulu yang bertugas untuk menikahkan mereka. Sejak awal kedatangannya ke tempat tersebut, Sora lebih banyak diam. Ia hanya bersuara jika ditanya atau diminta pendapat oleh penghulu."Karena kedua mempelai sudah siap, maka kita mulai saja acara akad pagi ini." Kata penghulu.Langit dan Sora mengangguk menyetujuinya. Kemudian tangan Langit pun terangkat berjabat dengan wali nikah untuk memulai prosesi akad nikah mereka pagi itu.Walau acara pernikahannya hari ini bukanlah hal yang diinginkan oleh Sora, namun tetap saja wanita itu merasa gugup saat Langit mulai membacakan kalimat akad untuk menjadikannya sebagai seorang istri."Sah." Dua orang pria yang ditunjuk Langit sebagai saksi di acara akadnya bersuara cukup keras setelah Langit selesai membacakan ijab qabulnya dengan lantang dan jelas.Kedua bola mata Sora berkilat bening setelah menyadari jika kini ia bukan lagi seorang wanita lajang melainkan istri dari seorang pria bernama Langit. Sea
Setelah menebus resep obat dan vitamin untuk Sora di bagian farmasi, Langit langsung saja mengajak Sora untuk pulang. Di tengah perjalanan menuju pulang, Langit tiba-tiba saja membelokkan mobilnya ke arah supermarket saat teringat dengan sesuatu."Kau belum meminum susu hamil sejak satu bulan ini, kan?" Tanya Langit setelah memarkirkan mobilnya di depan supermarket.Sora menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Langit. Bagaimana ia bisa meminum susu hamil sementara ia baru saja mengetahui keadaannya yang sedang berbadan dua baru beberapa hari yang lalu."Kalau begitu ayo kita beli susu hamilnya. Beli juga semua barang yang kau butuhkan selama berada di apartemen."Sora mengangguk dengan ragu. Kemudian keduanya pun turun dari dalam mobil milik Langit.Saat berjalan masuk ke dalam supermarket, Langit sejenak menghentikan langkahnya saat merasa Sora tertinggal jauh di belakangnya. "Kenapa kau jalannya lambat sekali? Seperti siput saja." Kata Langit dengan ekspresi datarnya.Sora ter
Senyuman di wajah Sora terkembang mendengar perkataan Langit. "Anda tidak sedang bercanda kan, Tuan?" Tanyanya memastikan lebih dulu."Memangnya sejak kapan kau pernah melihatku bercanda?" Pertanyaan balasan dari Langit membuat Sora bungkam seribu bahasa.Tanpa membuang waktu lebih lama berbasa-basi dengan Sora, Langit langsung saja melajukan mobilnya menuju tempat penjual makanan yang Sora inginkan saat ini.Nyatanya, bukan hal yang mudah bagi Langit membelikan seluruh makanan yang Sora inginkan. Ia harus berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain mencari jenis-jenis makanan yang berbeda itu.Dengan sabar, ia mengikuti arahan Sora yang tengah menunjukkan tempat penjual makanan yang Sora inginkan terakhir kalinya."Kau yakin mau makan makanan yang di dijual di sini juga?" Tanya Langit memastikan sebelum keluar dari dalam mobil. Melihat suasana di dalam toko yang cukup padat, Langit dapat menebak jika ia akan membutuhkan waktu lebih lama membeli makanan terakhir yang diinginkan S