Share

INSIDEN KECIL DI PERPUSTAKAAN

"Ayo Michelle, kita ke kantin sama-sama!

Hari ini aku ingin makan makanan enak setelah satu bulan diet tak makan berkalori!" ajak Gillian Moore, yang tak lain teman dekat sekaligus sahabatku sejak aku bersekolah di North high School Dallas selama 4 semester ini.

"Aku sedang tak ingin ke mana-mana Gillian, kau bisa mengajak Matt jika kau mau," sahutku pendek dengan tetap membaca buku kamus global yang baru saja aku temukan di perpustakaan kemarin.

"Astaga, sampai kapan kau akan menjadi kutu buku Michelle!? kau tak seperti menikmati hidupmu dengan baik saja," ucap Gillian berkomentar, wajah cantiknya berubah masam menatapku yang seperti tak peduli dengan ajakannya.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi.

"Maafkan aku, aku sedang tak berselera makan hari ini, aku harus menyelesaikan bab terakhir buku ini dan mengembalikannya ke perpustakaan sekolah sekarang," ucapku menjelaskan.

"Aku akan menyusulmu nanti Gillian setelah aku kembalikan buku ini ke perpustakaan, kau bisa mengajak Matt dulu karena dia sudah menunggu di kantin," sambungku lagi seraya berdiri dari bangku tempat duduk dengan membawa kamus tebal yang baru saja selesai kubaca.

"Ok, baiklah kalau begitu..

Aku ke kantin dulu ya dan kau -, awas saja kalau kau tak menyusul kami di sana nanti!" sahut Gillian berlagak mengancam dan kemudian tersenyum lebar berjalan keluar kelas.

..

..

Aku berjalan menyelusuri lorong-lorong rak buku di perpustakaan sekolahku yang cukup besar ini, mengamati setiap lorongnya dengan sekilas.

Suasana perpustakaan tampak cukup sepi, karena kupikir kebanyakan siswa lebih memilih berkumpul di kantin atau sekedar nongkrong di luar kelas saat jam istirahat tiba.

Tak salah memang Gillian menyebutku si gadis cantik kutu buku, karena aku memang lebih senang membaca buku daripada melakukan kegiatan yang bagiku kurang manfaat dan tidak guna.

Yah, karena kupikir aku harus menjadi siswa yang berprestasi untuk menghidupi diriku sendiri sekarang.

Berbeda dengan mereka yang sebagian tak perlu bersusah payah belajar hanya untuk mendapatkan beasiswa seperti aku karena keadaan ekonomi keluarga mereka yang mumpuni.

Tak apa, aku sudah biasa dengan keadaan ini.

Aku mendesah pelan dan tersenyum tipis menguatkan hatiku sendiri.

Bbrraaakkk!!!!

Suara benda terjatuh mengejutkan dan membuyarkan lamunanku.

"Suara apa itu?!" tanyaku dalam hati, mataku sibuk mencari sumber suara itu berasal.

Suara benda terjatuh dan kemudian disusul suara rintihan pria.

Aku berlari cepat mencarinya dan alangkah terkejutnya saat kulihat seorang pria tengah jatuh tersungkur, merintih menahan sakit di kaki kanannya yang tertindih rak buku yang tampak jatuh menimpanya.

"Astaga?!!

Bagaimana bisa terjadi?!!" seruku spontan seraya berlari mendekati pria yang tengah kesakitan itu.

"Bagaimana keadaanmu? kau tak apa-apa?" tanyaku pada pria itu.

Kulihat wajahnya yang nampak agak pucat meringis menahan sakit di pergelangan kaki kanannya.

"Tolong..., kakiku- , aaghh!!" pekiknya kesakitan.

Maka dengan sigap aku pun mendorong dan mencoba mengangkat rak buku yang lumayan berat itu. Aku menengok ke kanan dan kiri, kalau-kalau ada seseorang yang bisa membantu kami saat ini, tapi nihil tak ada siapapun.

Ruangan ini tampak sepi, seperti tanpa kehidupan. Kemudian tanpa pikir panjang, aku mencoba membantu memapah pria itu untuk berdiri.

"Apakah sanggup?" tanyaku khawatir.

"Aaough!!" teriaknya kesakitan, sepertinya dia kini memang benar-benar merasa kesakitan saat mencoba menampakan kakinya yang beralaskan sepatu itu ke lantai.

"Kau harus ke bawa ke UKS, untuk segera diobati kalau tidak itu akan cukup berbahaya untuk kakimu," ucapku cemas.

Pria itu hanya mengangguk mengiyakan, kukalungkan tangannya ke sepanjang bahuku agar ia bisa berdiri dan berjalan pelan.

Dengan susah payah aku berusaha menyeimbangkan berat tubuhnya yang lumayan berat untuk seorang pria.

"Pelan - pelan saja, kau tak perlu memaksakan diri.Yang penting kita bisa sampai ke UKS" ucapku simpatik.

"Terima kasih, maaf telah membuatmu repot" sahutnya seraya menatapku dengan tatapan lemah.

"Tak apa, aku hanya mencoba menolong semampuku," sahutku tulus seraya tersenyum tipis.

Sesampainya di ruang UKS yang letaknya lumayan cukup jauh dari ruang perpustakaan, pria itu langsung ditangani oleh petugas di sana. Aku pun bisa bernafas lega karenanya.

Maka saat itu pun, aku segera berpamitan untuk segera masuk ke kelasku, karena waktu istirahat sudah berakhir 10 menit yang lalu.

..

..

Sesampainya di kelas, Gillian memarahiku karena tak menyusulnya bersama dengan Matt, siswa pria yang cukup populer di sekolah ini.

Aku pun menceritakan apa yang sudah terjadi padaku di ruang perpustakaan itu sehingga tak bisa menyusul mereka dan Gillian hanya mendesah mencoba mengerti.

"Matt, sangat kecewa karena kau tak berada di sana, kau harus menjelaskannya sendiri Michelle," ucap Gillian.

"Yah, aku mengerti," sahutku pendek.

Mattew Steward adalah seorang teman pria di kelas lain yang mendekatiku beberapa bulan ini, ia adalah seorang pria yang tampan dan dari keluarga cukup berada.

Entah bagaimana awalnya ia mendekatiku melalui Gillian, beberapa kali ia mengajakku untuk berkencan, namun dengan halus aku menolaknya.

Kalau pun aku pergi hang out bersama Matt, Gillian pun ikut serta, itu pun karena permintaanku sendiri dan Matt sejauh ini tak menolaknya.

Walaupun Matt populer di kalangan siswa wanita di sekolah ini karena prestasinya di olahraga dan dengan didukung wajahnya yang tampan, aku belum bisa membuka hati ini untuk siapapun.

Entah kenapa rasa trauma itu masih ada, trauma masa lalu saat aku berusia 12 tahun dan ibuku memutuskan menikah kembali dengan seorang pria brengsek yang sempat menjadi ayah tiriku.

******

( POV 3 )

Ia mencari keberadaan gadis itu, gadis cantik yang telah menolongnya saat insiden di perpustakaan karena kecerobohannya sendiri.

Ia tak bisa membayangkan jika, gadis itu tak datang dan menolongnya waktu itu.

Mungkin ia akan terlambat ditangani dan hal itu dapat menyebabkan cedera berat pada pergelangan kaki kanannya.

Karena itu ingin sekali mengucapkan terima kasih untuk sekali lagi pada gadis itu.

Sekaligus ingin mengenalnya lebih jauh.

Gadis cantik yang baik hati dan tidak sombong, itulah kesan pertama dirinya pada seorang Michelle Scullys.

Kedua mata bulatnya yang tajam sibuk mencari-cari keberadaan sosok gadis cantik berambut hitam ikal panjang yang dicarinya itu.

Cukup lama ia menunggu di depan halaman sekolah pagi itu. Hingga beberapa menit kemudian berlalu, dan senyum mengembang di wajahnya yang tampan.

Ia melihat sosok yang dicarinya itu tengah berjalan bersama dengan seorang teman wanitanya menuju ke dalam gedung sekolah.

Tanpa pikir panjang, dengan langkah kakinya yang mantap ia menghampiri gadis itu dengan senyum tak lepas di wajahnya yang sesegar pagi.

"Permisi...., maaf apa kau Michelle Scullys?" sapanya mengejutkan kedua gadis cantik didepannya sekarang.

"Ya?" jawab gadis berambut panjang ikal itu.

"Apa kau mengingatku?" tanya pria itu.

"Ah, kau bukankah yang waktu itu....?" sahut gadis yang bernama Michelle Scullys itu beberapa detik saat mengamati wajah pria tampan di depannya sekarang.

Pria itu mengangguk semangat dan tersenyum lebar.

"Perkenalkan aku Teddy Johnson, maafkan aku karena waktu itu kita belum sempat berkenalan dan aku kemari untuk mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu waktu itu," ucapnya.

"Oh, tidak apa. Kenapa kau harus repot-repot begini, aku tulus melakukannya karena kita adalah teman walaupun yah, secara langsung belum pernah berkenalan," sahut Michelle seraya tersenyum manis menyejukkan.

"Oh, ya bagaimana dengan kakimu? apakah sudah baikan? Lalu, bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Michelle penasaran.

"Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat sekarang dan aku sangat bersyukur karena kau telah menolongku waktu itu kalau tidak, entah apa yang terjadi dan aku tahu namamu dari petugas UKS yang kemarin merawatku,"

sahut Ted menjelaskan.

"Kau terlalu berlebihan, tapi syukurlah kau baik-baik saja sekarang," ucap Michelle, senyuman tak lepas di wajahnya yang cantik.

..

..

( POV 1 )

"Oh, Tuhan Michelle aku tak menyangka orang yang kau tolong waktu itu adalah Ted Johnson!

Astaga!! sungguh aku tak percaya!!" Gillian berseru seperti orang gila saat Ted pergi berpamitan meninggalkan kami berdua, aku dan Gillian.

Aku memicingkan kedua mataku, bingung dan penuh tanya dengan reaksi Gillian yang bagiku berlebihan.

"Kenapa? Apakah ada yang aneh?" tanyaku penasaran.

"Astaga, Michelle! Apa kau tahu siapa itu Ted Johnson?!

Kau lihat sendiri kan, dia pria paling populer dan paling tampan di sekolah ini setelah Matt!" serunya heboh.

"Hah?? Aku rasa tidak seperti itu, karena kupikir dia tampak seperti pria tampan yang kesepian," sahutku asal.

"What??!

Bagaimana bisa kau bicara seperti itu, dia adalah pria dingin dan tak banyak bicara apalagi dengan seorang wanita.

Itu yang kutahu dari cerita para gadis disini.

Tak ada yang berani mendekatinya, Michelle.

Sekalipun para pria di sini semua takut dengannya," sahut Gillian menjelaskan, nada suaranya penuh dengan keyakinan.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status