Share

TERPESONA

( POV 3 )

Selama beberapa hari Tim Johnson, bermalam di villa miliknya. Tak seperti biasanya karena memang inilah pertama kali Tim Johnson tidur di villa miliknya itu bahkan sampai beberapa hari.

Belakangan ini dia sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia tak sempat datang berkunjung ke villa dan menemui Michelle Scullys. Entah kenapa selama itu pun, ia tak berhenti untuk memikirkan wanita yang ditolongnya itu.

Apakah hanya perasaan kasihan atau simpatik ia sendiri tak mengerti, yang jelas setelah pandangan pertama di rumah sakit itu hati dan pikirannya tak bisa berhenti untuk memikirkan wanita malang itu.

Seperti di malam itu, saat Tim Johnson pulang dari urusan pekerjaannya, ia kembali berkunjung ke villa lagi. Saat ia melangkahkan kaki di pintu masuk, ia mendengar suara piano dari ruang tengah villa, dekat perapian yang memang ada sebuah piano di sana.

"Siapa yang memainkan piano itu?" batinnya penasaran.

Permainan piano itu membuat Tim Johnson terpesona karena begitu indah, hingga tanpa di sadari ia melangkahkan kakinya seolah mengikuti alunan yang dimainkan piano itu.

Matanya tak berkedip melihat sosok wanita dari samping yang sedang memainkan piano itu dengan penuh penghayatan.

Hingga sampai sang wanita tak menyadari kalau ada seseorang yang datang dan memperhatikannya sedari tadi.

Di mata, Tim Johnson wanita itu begitu cantik dan membuatnya terpesona.

Entah kenapa jantungnya tak berhenti berdetak dengan kencang saat melihat sosok di depannya sekarang.

Dan permainan piano itu, sungguh membuatnya hanyut dalam gelombang musik yang diciptakan sang pemain, begitu indah terdengar namun menyayat hati.

Apakah itu adalah ungkapan isi hati sang wanita?

( POV 1 )

Prok...prok...prok...prok

Suara tepukan mengejutkanku saat itu.

"Siapa?" tanyaku seraya berpaling dan kulihat Tim Johnson berdiri di luar ruangan yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempatku duduk.

Senyuman manis mengembang di wajahnya yang tampan dan itu membuatku pipiku merona. Sejak kapan ia berdiri di situ dan mendengarkan permainan piano yang baru saja aku mainkan tadi?

"Sungguh indah, Michelle!

Sejak kapan kau belajar bermain piano?" tanyanya mendekat ke arahku yang masih terduduk malu melihat senyum tampannya yang memikat.

"Ah, aku belajar saat usiaku 15 tahun dulu bersama dengan anak-anak panti," sahutku agak gugup.

Kulihat Tim Johnson menatap sendu padaku kini.

"Kau pernah di panti asuhan?" tanyanya kemudian.

"Tidak lama, hanya 2 tahun dan kemudian aku diadopsi oleh seorang pendeta yang baik hati" jawabku lirih seraya tersenyum simpul.

"Ah, iya" Tim Johnson menjadi teringat akan segala hal tentang informasi kehidupan Michelle yang ia dapatkan dari asisten pribadinya, Hendrix Brown.

"Maafkan aku telah lancang karena menggunakan piano ini tanpa seizinmu karena kupikir tadi aku begitu bosan dan ingin berbuat sesuatu," tuturku tiba-tiba merasa menyesal.

"Astaga, tidak sama sekali Michelle. Justru aku senang, kau boleh menggunakannya sampai kapanpun selama kau mau di sini," sahut Tim.

"Ta-pi penampilanmu sangat indah tadi, Michelle, hingga membuatku terpesona.

Rasanya villa ini jadi lebih hidup sejak adanya dirimu di dalamnya, dan itu membuatku senang," puji Tim Johnson mencoba mengalihkan perhatian.

"Terima kasih, tapi itu rasanya terlalu berlebihan Mr. Johnson, ah... maksudku Tim," sahutku kikuk.

"Ehhmm, maksudku aku harus pulang ke rumahku sendiri, karena aku tidak mungkin selamanya akan tinggal di sini dan bergantung apalagi merepotkanmu," tambahku menjelaskan, kuharap Tim tidak tersinggung mendengarnya.

"Kau jangan terlalu sungkan Michelle, aku tidak akan pernah memaksamu karena memang kau juga punya kehidupan sendiri di luar sana.

Hanya saja selama keadaanmu belum pulih benar sekarang kau masih menjadi tanggung jawabku di sini.

Dan kapanpun kau mau, kau boleh berkunjung kapan saja di villa ini," Tim Johnson menjawab tulus dan kurasa ia serius dengan ucapannya.

"Terima kasih, kau sangat baik hati.

Sungguh beruntung aku mengenalmu Tim Johnson...," ucapku sungguh-sungguh kemudian aku mencoba untuk bangkit dari tempat duduk namun entah kenapa aku merasa oleng dan kehilangan keseimbangan.

Tim Johnson yang melihatku pun dengan gerakan cepat langsung berlari dan menangkapku ke pelukannya saat itu juga agar tidak jatuh.

"Hati - hati, Michelle!" serunya saat tubuhku berhasil ia tangkap dan kini aku bertumpu di dadanya yang bidang dan hangat.

"Aahhh, terima kasih. Maaf aku ceroboh tadi," sahutku gugup.

"Lukamu belum pulih benar sekarang, karena mungkin kau tadi memaksakan diri jadi otot tangan dan kakimu menjadi tegang," ucapnya lirih seraya menatapku lemah.

Tatapan kami bertemu sesaat di waktu itu.

Dengan jarak yang begitu dekat hingga aku bisa merasakan embusan nafasnya yang hangat dan wajahnya yang luar biasa tampan dengan jarak yang begitu dekat saat ini, membuat jantungku berdebar seketika dan itu membuatku sangat gugup.

Menyadari hal itu kami berdua pun menjadi merasa kikuk satu sama lain.

"Akan kubantu kau ke kamarmu ya," tawar Tim kemudian mencoba mengalihkan perhatian.

"Terima kasih Tim, maaf selalu membuatmu repot," sahutku sungkan.

"Tak masalah, ayo pelan-pelan saja ya," titahnya lembut dan aku pun menurut dengan ucapannya.

Susah payah aku mengontrol diriku agar tak merasa gugup karena entah kenapa jantung ini tidak bisa diajak berkompromi karena selalu berdebar kencang saat Tim Jhonson mendekatkan tubuhnya padaku.

"Aku harap kau tidak merasa sungkan ya, Michelle karena beberapa hari ini aku bermalam di villa ini karena kebetulan aku ada beberapa proyek yang letaknya tak jauh di villa ini," tutur Tim Johnson memecahkan keheningan.

"Tentu tidak Tim, justru aku merasa senang karena tak lagi merasakan kesepian di rumah ini yang bagiku cukup besar," sahutku.

"Benarkah? Ahh, syukurlah.

Aku pikir pasti kau merasa bosan karena harus tinggal di rumah ini hanya ditemani Katherine dan Morgan saja," ujar Tim dengan wajah teduhnya.

"Sebenarnya aku sudah terbiasa hidup sendiri, Tim jadi kau tak perlu mengkhawatirkan hal itu karena itu bukanlah masalah yang besar bagiku," sahutku mencoba tersenyum di depannya sekarang agar ia tak merasa bersalah.

"Maaf ya, Michelle. Tapi jika kau berkenan aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi dan menjadi temanmu itu kalau kau tak merasa sungkan padaku" tutur Tim dan ucapannya kini cukup mengejutkanku sekarang.

Entah kenapa aku hanya diam dan tak bisa menjawabnya, tatapan kami bertemu lagi, satu sama lain dalam diam seakan hanyut dalam pikiran masing-masing.

"A- pa kau sungguh-sungguh Tim?

Kita sangat berbeda jauh dari segi sosial.

Aku rasa dengan mengenalku kau tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa," ucapku lirih dan aku harap alasan itu terdengar logis untuk Tim Johnson karena aku tak mau menyakiti hatinya dengan penolakanku.

"Tidak, tidak sama sekali, Michelle," Tim menggeleng mantap saat itu juga.

"Aku harap kau jangan mempermasalahkan tentang status sosial karena bagiku itu bukanlah masalah untuk mencari seorang teman," ucapnya kemudian.

"Jadi aku mohon mulai hari ini, kita berteman ya, dan aku harap kau tidak menolak tawaranku ini," ucapnya lagi seraya tersenyum lebar membuatku merasa nyaman saat itu juga saat bersama dengannya seperti sekarang ini.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status