Share

Story of Rara

 "Besok lagi kalau mau pulang duluan ngabarin, jangan ngilang gitu aja!" Cerca Rey ke Rissa.

 "Lah kan udah ngabarin, abang aja yang lupa. Kan dari tadi malam Rissa udah bilang mau nusul abang ke Jakarta, eh malah ngak di respon. Dikira Rissa becanda ya bang." Cicit Rissa tak merasa bersalah.

Padahal Reyhan merasa khawatir, karena dari shubuh Margin telepon ngabari kalau Rissa ngak jadi pulang ke rumahnya, tapi justru Ia malah nyusul abangnya ke Jakarta.

Reyhan menatap tajam kearah Rissa, buru buru gadis usia 17 tahun itu menunduk takut dan memainkan jemarinya.

 "Tau ngak, abang ini khawatir." Reyhan membuang nafasnya perlahan, lalu menyenderkan bahunya di kursi game kesayangannya.

 "Alafuu, (Maaf) Rissa janji ngak bakal ngulangin lagi." Rissa mendekatkan jari kelingkingnya ke Reyhan. Dengan cepat reyhan menghindar dan merasa geli dengan tingkah sang adik.

  "Abang ini lucu ya, sama jari kelingking kok takut. Hihi.." Rissa terkekeh mendapati sikap abangnya yang absurd.

 "Bukan takut, geli." 

 "Sama aja, Oh ya bang Rissa mau cerita dikit. Tadi kan waktu Rissa makan bubur terus mau bayar dompet Rissa hilang."

 "Hilang?" 

 "Ya hilang, terus Rissa bingung mau bayar pake apa ni. Terus Rissa cari cari tuh uang receh siapa tau aja kan ada ya di tas--"

 "Hahaa.." Tawa reyhan memecah keheningan. Rissa mencelos merasa kesal.

 "Nasib punya abang ngak ada akhlak!" Ucapnya lalu pergi begitu saja, meninggalkan reyhan yang masih penasaran dengan cerita adiknya barusan.

 "Eh, lanjutin dong ceritanya Ris. Abang kan penasaran, terus dedek Rissa bayarnya pake apa?" 

 "Dedek tungguin abang Rey dong." Goda reyhan seraya terkekeh melihat tingkah adiknya kalau ngambek pasti makan. 

 "Alamat cepat sold nih kalau gini." Lirihnya.

 **

 "Banyak banyakin doa." Lirih Wati ke suaminya yang tengah duduk di kursi roda yang mengahadap kiblat.

 "Iya." Jawab Bagas singkat, usai berwudhu Ia akan menunaikan salat maghribnya diatas kursi roda seperti biasanya.

 "Lebih spesik lagi, buat Rara anak kamu. Doain semoga Rara berjodoh dengan anaknya Margin namanya Reyhan." Bagas menoleh ke belakang menatap istrinya.

 "Ibu kan bisa bantu doain juga, sana ambil air wudhu kita jamaah." Tutur suaminya.

 "Malas! Salat miskin, ngak salat masih aja miskin." Ucapnya cukup lantang, sampai terdengar di kamar Rara dan Fira di bagian belakang dekat dapur.

Fira menatap sendu kearah Rara, Ia sering mendapati Wati memarahi Bagas dan sering membentaknya didepan banyak orang. Karena Bagas pengangguran dan dianggap menjadi beban bagi dirinya.

 "Udah, ngak usah didengerin. Kamu lanjutin belajar aja lagi, kakak mau mandi dulu ya, lengket abis pulang kerja." Tutur rara, Ia menepuk nepuk pundak Fira seraya tersenyum.

 "Sabar ya dek, Doain aja semoga Bapak lekas pulih."

 "Iya kak, maafin Fira ya kak." Fira tertunduk lesu.

 "Maaf untuk apa?" 

 "Gara gara Fira masih sekolah, kakak jadi gini. Pulang kerja, kerja lagi." Rara mengangkat dagu Fira keatas, lalu tersenyum.

 "Husst! Ini udah jadi tugas kakak, Adek cukup jadi anak yang baik dan berprestasi aja ya."

 "Pundak kakakmu ini cukup kuat, buat lima sampai sepuluh tahun kemudian." Balas Rara terkekeh, namun tidak dengan Fira. Ia masih saja merenung dan meratapi nasib keluarganya.

 "Sudah miskin, kena mental pulak." Ceplos Fira.

 "SAFIRA! Ngak boleh ngomong gitu." 

 ***

 "Telat lagi Ra?" Tegur lea, karyawan yang bertugas di bagian kasir. Rara tertunduk lesu "Maaf" selalu kata itu yang keluar dari mulutnya, Ia bahkan tak menceritakan soal dirinya yang harus full bekerja seharian demi meringankan beban Ibunya yang bekerja sambilan menjahit dirumah.

Sengaja, ia tidak menceritakannya dengan teman temanya, kecuali Lyodra. Baginya meskipun Ibu tirinya galak, itu wajar karena beban yang Ia pikul saat ini.

 "Enak ya, berangkat sesuka hati, gaji sesukamu." Sahut yang lain.

 "Gue juga mau." Sahut Vera, Widya dan Nita kompak.

 "Yaelah, mentang mentang yang punya tempat ini teman sendiri jadinya gitu deh. Kurang disiplin." Timpal nita.

 "Heh, udah kerja, kerja. Nanti kalau pak Maxime datang kelar hidup kalian." Bela Lea. Tiba tiba Nata datang dari ruang Cctv.

 "Rara, lo ikut gue." Ajak Nata, pegawai terlama disini, sekaligus orang kepercayaannya Maxime. Rara mengangguk lalu membuntutinya.

Keduanya menuju ruangan Boss yang biasa disebut wooden room, ruangan yang di design dengan luar biasa. Berkonsep ala jepang dominan dengan kayu dan bambu namun elok dipandang mata.

Netranya berembun menatap kearah Linda, sedetik kemudian Rara bersimpuh.

 "Maaf bu Linda, Rara telat lagi."

 "Hiks! Tolong jangan pecat Rara bu, Rara mohon." Pintanya dengan derai air mata yang membasahi wajahnya.

 "Nata, kamu boleh keluar sekarang, jangan lupa tutup lagi pintunya." Perintah Linda.

 "Baik bu Boss." Ucapnya patuh. Nata berjalan meninggalkan wooden room. Ia berfikir pasti kali ini Rara akan habis, Ia pasti akan dipecat dan kehilangan pekerjaan satu satunya. Vera datang menghampiri Nata yang nampaknya tengah berfikir.

 "Mana Rara?" 

 "Di wooden room." Jawabnya datar.

 "Rasain makanya kalau kerja jangan seenaknya, dipikir ini tempat emaknya." Sindir vera.

 "Ngak usah nyinyir, lagian orangnya ngak ada disini. Minggir, gue mau lanjut kerja." Balas Nata tak kalah sengit.

 "Bela aja terus Rara, ya ngak guys." Beberapa karyawan yang masih berkumpul di dapur mengangguk serempak. Nata memutuskan meninggalkan orang orang toxic didalam, Ia memilih menuju ke depan, Ia lebih baik gabung bareng pak Bandi tukang parkir restoran.

 "Nata naksir kali sama Rara." Timpal Nita.

 "Woey, nyinyir bae. Tuh ada pelanggan didepan layanin. Lo semua dibayar buat ini." Bentak lea kepada bagian dapur, lalu melemparkan nota pesanan yang jatuh berserakan di lantai.

 

**

 "Bangun Ra, Tante ngak bakalan pecat kamu, malahan tante  ingin memeberikan sesuatu buat kamu." Ucap linda lembut, Rara mengusap air matanya dan perlahan berdiri.

 "Se-serius Tan, eh Bu." Rara gugup, dan hampir saja keceplosan panggil tante, Pasalnya meskipun ia sudah dianggap bukan orang lain lagi bagi keluarga Linda, tapi ia masih ingin profesional kerja dengan panggilan formal Ibu.

 "Terimalah, buat berobat Bapak kamu." Linda memberikan segepok uang yang jumlahnya 10 juta, Rara gemetar tak menyangka.

 "Tan--" Linda menggenggam erat tangan Rara. Netranya berembun, Keduanya saling berpelukan, Rara tak kuasa menahan air matanya.

 "Makasih Tan, Hiks, Rara janji akan ajak Bapak berobat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status