Share

Dia Chen Yi

*Tiga bulan setelahnya.*

Mata Luo Tan yang sekarang berada di tubuh Chen Yi masih terpejam rapat. Sepintas dia terlihat seperti orang yang sedang tertidur nyenyak dalam keadaan duduk.

Namun, sesungguhnya Luo Tan tengah mencoba meningkatkan kultivasinya. Sudah tiga bulan dia berada di hutan bambu ini seraya berusaha menembus energi Qi di nadi meridian Chen Yi yang tersumbat.

Bulu matanya bergetar beberapa saat sebelum akhirnya terbuka walau secara perlahan. Sepasang bola mata berwarna hitam kelam menatap tajam ke depan. 

Batang bambu berdesau seiring tiupan angin yang kencang. Daun-daun layu berjatuhan ke tanah, membuat Luo berbisik, “Musim gugur ….” 

Luo Tan hampir tidak menyadari berapa lama waktu berlalu di dunia nyata. Namun, dia ingat betul dirinya telah hidup kembali tepat di penghujung musim semi.

Luo Tan meregangkan kedua tangannya. Terdengar suara sendi yang saling beradu setelah lama tidak digerakkan. 

Dia berdiri tetapi tertegun sejenak ketika melihat lendir hitam menjijikkan di sekitar tempatnya duduk tadi. Hal itu adalah semua hal tidak ‘suci’ yang keluar dari tubuhnya selama berkultivasi. 

“Aku harus membersihkan diri ….”

Langkah Luo Tan membawanya menuju sungai yang mengalir di dekatnya. Di dekat sungai itu terdapat batu besar tempat tubuh Chen Yi terhempas waktu itu. 

Luo Tan mendekat ke sungai, memanfaatkan air yang jernih untuk bercermin. Bibirnya menyeringai puas setelah mendapati wajah baru yang dimilikinya saat ini. 

Alis dan rambut tebal panjang nan halus berwarna hitam, rahang tegas tanpa lemak berlebih, juga pancaran mata hitam jernih yang bersinar akibat kolam Qi yang telah terbentuk dalam tubuh.

“Tidak buruk,” gumam Luo Tan sebelum masuk ke dalam air. “Andai ada yang membantunya memperlancar nadi meridian, pemilik tubuh ini seharusnya sejak dulu bisa memiliki penampilan yang lebih baik.”

Air yang dingin membuat tubuh Luo Tan terasa lebih segar. Otot-otot yang tercetak jelas di tubuhnya terasa lebih renggang dan santai. 

Saat Luo Tan selesai membersihkan diri dan tengah mengenakan pakaiannya, suara gemeresik daun mengalihkan perhatiannya.

SYUUUT! 

Luo Tan menunduk tepat pada waktunya. Tiga bilah pisau terbang mengarah ke kepalanya tetapi dengan mudah dia mengelak. 

Luo Tan bahkan belum sempat berkedip ketika dia melihat bilah logam yang berkilau kembali diarahkan kepadanya. Dengan wajah datar, dia lantas menepis pisau itu dengan mudah.

“Siapa di sana?” hardiknya keras. 

Tiga bayangan menyerbu ke arah Luo Tan, kedatangan mereka menerbangkan daun-daun kering sehingga debu pun ikut berterbangan. 

Pemuda bermata hitam itu tetap tegak di tempatnya, sama sekali tidak goyah meski tiga orang berdiri mengepungnya. 

“Seharusnya aku yang bertanya siapa dirimu? Kenapa kamu memakai pakaian muridku?” Sosok itu bertanya dengan nada penuh permusuhan. 

Namun, suara itu justru membangkitkan ingatan pemilik tubuh. Membuat Luo Tan nyaris kelimpungan menerima banjir ingatan yang menyerbunya. 

Wanita di depannya bernama Lin Hua, salah satu guru di perguruan tempat Chen Yi belajar. Sesuai namanya, Lin Hua memiliki kecantikan serupa bunga teratai merah yang megah. 

Pakaian Lin Hua selalu berwarna merah sehingga mudah dikenali. Senyumnya tegas, tetapi begitu menawan seakan sanggup melelehkan hati dari es sekali pun. 

Suara Lin Hua masih terdengar merdu meski tengah membentak Luo Tan. “Katakan di mana muridku?! Apa kamu yang membunuhnya?!”

Luo Tan tersenyum lebar–sesuatu yang jarang terjadi kalau bukan karena sifat asli Chen Yi yang begitu ramah dan mudah tersenyum. Meski kenangan pemilik tubuh ini banyak diwarnai kesedihan, tetapi ada sedikit kebahagiaan yang layak untuk terus dikenang. 

“Guru,” sapa Luo Tan seraya membungkukkan badan.

Lin Hua terperangah karena pemuda tampan di hadapannya memberi hormat selayaknya murid kepada guru. 

Namun, dia segera mengendalikan diri. “Aku tidak pernah memiliki murid sepertimu.”

Luo Tan mengangkat kepala, memandang Lin Hua dengan matanya yang hitam. Meski sesungguhnya pemilik asli tubuh ini telah tewas, Luo Tan ingin membantu Chen Yi membalas budi. 

Lin Hua telah menyelamatkan Chen Yi saat dia masih bayi. Seekor monster sudah menghancurkan satu desa hingga yang tersisa hanya puing-puing bangunan.

Monster mengerikan itu tengah mengendus-endus bayi yang menangis keras di tanah. Moncong si monster sudah terbuka, siap menyantap bayi kecil yang tak berdaya. Pada saat itulah Lin Hua datang menyelamatkan nyawanya. 

Lin Hua bukan hanya membunuh monster dan menyelamatkan hidup si bayi. Namun, dia juga memberikan nama padanya serta memberi rumah baru. 

Hidup Chen Yi terasa nyaman di bawah lindungan Lin Hua. Dia ikut ke perguruan tempat tinggal Lin Hua, belajar kultivasi dengan tekun walau seringkali gagal. 

Semua terasa baik-baik saja meski saudara seperguruan lain sering mengejek Chen Yi. Dia tidak sempat merasa sedih karena sibuk melayani gurunya. 

Namun, keadaan berubah ketika Lin Hua memutuskan bermeditasi. Sejak setahun lalu, Chen Yi tidak lagi memiliki pelindung sehingga mudah ditindas. 

“Wajar kalau Guru tidak lagi mengenali murid, setahun berlalu dan banyak perubahan yang terjadi.” 

Lin Hua menyipitkan mata. Dia mengenali suara pemuda itu. Akan tetapi … mungkinkah?

Detik Lin Hua memikirkan hal tersebut, Luo Tan pun berkata, “Setahun pergi bermeditasi, Guru tidak lagi mengingat Chen Yi?”

Tiga orang di depan Luo Tan itu membelalak kaget.

“Chen Yi memiliki tubuh gemuk dan pipi tembam, wajahnya juga dipenuhi jerawat!” Salah seorang pendamping Lin Hua ikut berbicara. “Kamu jelas-jelas jauh berbeda darinya! Jangan mencoba menipu kami!”

Luo Tan mengerutkan kening. Pendamping Lin Hua itu lebih terdengar sedang menghina Chen Yi dibandingkan menuding Luo Tan sedang menipu mereka!

Luo Tan pun menghela napas dalam hati. Perubahan fisiknya memang terlalu drastis sehingga sulit dipercaya. 

“Kakak, apa untungnya bagiku menyamar sebagai orang lain?” tanya Luo Tan tenang. “Chen Yi bukan putra bangsawan ataupun pangeran, tidak ada keuntungan bagi siapa pun apabila mereka berpura-pura jadi diriku.”

Lin Hua berdiri tegak di tempatnya semula. Wajahnya masih diliputi dengan rasa curiga. “Apa buktinya kamu adalah Chen Yi?”

Sikap Lin Hua masih waspada, tapi sungguh hatinya berharap apa yang pemuda di hadapannya katakan adalah benar. 

Chen Yi adalah murid kesayangan Lin Hua. Saat dia tidak menemukan Chen Yi begitu keluar dari meditasi, Lin Hua mendapatkan informasi dari dua murid tertuanya bahwa Chen Yi hilang di gunung dan tidak bisa ditemukan.

Lin Hua tidak tahu apa yang terjadi, dan dia tidak sempat memeriksa hal itu. Namun, saat semua murid merasa bahwa ada kemungkinan Chen Yi sudah mati, Lin Hua yang tidak terima langsung melesat ke gunung untuk mencari Chen Yi. 

Namun, yang berakhir ditemuinya justru seorang pemuda asing yang memakai pakaian Chen Yi, sesuatu yang Lin Hua secara khusus berikan untuk muridnya itu.. 

“Aku rasa guru masih mengingat bekas luka ini,” ujar Luo Tan seraya memperlihatkan luka bekas cakaran monster di punggungnya. Luka yang ia peroleh ketika desanya diserang oleh monster pemakan manusia. 

Lin Hua tersentak kaget. Bekas luka itu menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Bentuk dan lokasinya sama, tidak ada yang bisa meniru luka lama seperti itu!

Mendapatkan jawabannya, Lin Hua segera menanggalkan jubahnya dan menghampiri Luo Tan. Wajahnya yang tadi tegas dan diselimuti kecurigaan berubah lembut dan hangat. 

“Hangatkan tubuhmu dengan jubah ini, jangan biarkan tubuhmu kedinginan lebih lama.” Wanita cantik itu menyelimuti tubuh Luo Tan dengan jubahnya, terlihat sangat perhatian selagi dia menggenggam tangan muridnya itu.

Tindakan Lin Hua membuat Luo Tan tercengang. Tidak ada yang pernah begitu lembut padanya, kecuali mendiang ibunya.

Hal itu membuat Luo Tan tersenyum tipis selagi berkata, “Terima kasih, Guru.” 

Melihat bahwa sang guru sudah yakin dengan identitas Luo Tan, murid pendamping Lin Hua pun berkata, “Guru, bagaimana kalau kita sekarang kembali ke perguruan?” 

Murid yang lain menimpali, “Benar. Adik Chen Yi tentu kelaparan, dia juga harus beristirahat sebelum menceritakan apa saja yang terjadi selama dirinya di luar.” Matanya masih menampakkan kecurigaan terhadap perubahan Chen Yi yang begitu besar.

Usul itu segera disetujui Lin Hua. Dia pun mengangguk dan mereka pun membawa Chen Yi kembali ke perguruan. 

Saat pintu gerbang perguruan dibuka, ratusan murid menyongsong kedatangan salah satu guru mereka. Mereka menyambut kedatangannya dengan hormat, sama seperti biasa. Namun, ada satu hal yang yang menarik perhatian mereka. 

“Siapa dia?” Seorang gadis bertanya pada temannya, terpukau dengan ketampanan pemuda dalam gandengan tangan Lin Hua.

“Mungkin murid baru guru Lin Hua.”

“Lihat hidungnya yang mancung! Membuatku iri saja,” gadis lain memotong ucapannya. “Matanya begitu hitam, seolah membuatku tenggelam tiap kali menatap matanya,” lanjutnya membuat para gadis lain terkikik geli.

Bisikan bernada kagum terdengar di sana-sini, tetapi tidak seorang pun yang tahu siapa pemuda itu. 

Hingga akhirnya, ketika Lin Hua meninggalkan taman kedatangan dan pergi ke area tempat tinggal para murid, salah seorang di antara mereka memberanikan diri menghentikan salah satu murid pendamping Lin Hua untuk bertanya, “Kakak, cepat beri tahu kami apakah dia murid baru? Siapa namanya?”

Kakak seperguruan mereka berhenti berjalan dan balas bertanya, “Kalian tidak mengenalinya?”

“Bagaimana kami bisa mengenalnya, sedang ini pertama kalinya dia datang ke sini,” rajuk gadis lain dengan bibir mengerucut, merasa kakak seperguruan sengaja menggoda rasa penasaran mereka.

Murid tertua Lin Hua itu tersenyum tak berdaya menatap reaksi para adik seperguruannya. “Dia Chen Yi.”

“Apa?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status