Share

Bab 4

Setelah operasi lima jam, Yuni akhirnya dibawa kembali ke bangsal. Dokter Darius sudah menjelaskan, Yuni belum tentu langsung sadarkan diri. Dan Yuni masih harus menggunakan alat-alat khusus untuk menunjang kesehatan.

Uang dua ratus juta habis dalam sekejap mata. Semua Yuna gunakan untuk biaya pengobatan Yuni. Dan adiknya itu ternyata masih butuh biaya tambahan untuk rawat inap dan obat-obatan mahal.

Pukul lima sore, Yuna berangkat ke Hotel Laisa. Sekarang, ia hanya perlu bekerja sampai pukul sembilan malam. Setelahnya naik ke atas dan menemani para tamu elit.

"Aku sudah tahu dari Ria kemarin. Kamu yakin tetap masih mau ke atas? Semalam kamu beruntung nggak jadi...." Rio menahan kalimatnya.

"Iya, lagian di atas cuma nemenin orang ngobrol. Paling cuma grepe grepe doang."

"Jaga diri baik baik, Yun." Rio menatap Yuna prihatin.

Belum lama Yuna duduk santai, Mami Maria sudah memanggil. Artinya akan ada pekerjaan baru lain.

Yuna berharap hanya akan disuruh menemani pelanggan minum-minum, tidak perlu tidur dengan pelanggan. Dan harapan mengkhianati secepat kilat.

"Mau ke mana, Mi?"

"Ada yang mau menawarmu lagi," kata Mami Maria bersemangat.

Yuna hanya menuruti Mami Maria. Lagi pula, ia telanjur tanda tangan kontrak yang menyatakan akan bekerja di bawah Hotel Laisa selama satu tahun.

"Perkenalkan, dia Yuna. Dan ini Tuan..." Mami Maria lupa bertanya nama pria itu.

"Eric."

"Oke, gimana barang kami, Tuan Eric? Apa Anda suka?"

Yuna mengernyit tidak suka oleh ucapan Mami Maria. Tapi ia tidak berani menyangkal.

"Aku akan membayar perempuan ini satu miliar!" ucap Eric dengan nada dingin.

"S-Satu miliar?! Jangan gila!" Yuna tidak sengaja memaki.

"Diam, Yun," bisik Mami Maria sambil mencubit lengan Yuna.

"Kamu nggak mau? Satu miliar hanya uang muka saja untuk membelimu dari tempat ini. Aku akan mengambil kontrakmu dan membayarmu seminggu sekali."

Jika pria itu dapat mengembalikan kontraknya, Yuna tidak harus bekerja keras lagi. Dan uang satu miliar begitu banyak untuk Yuna. Ia bisa mengobati Yuni sekaligus melanjutkan kuliah seperti cita-citanya.

"Tapi ada syaratnya," sambung pria itu.

"Cukup tidur denganmu, bukan?" tantang Yuna.

"Kamu hanya perlu mematuhiku selama enam bulan. Kalau aku bosan, aku akan membuangmu. Tapi kalau kamu berhasil menyenangkanku, aku akan memberimu hadiah banyak.

"Oke," jawab Yuna mantap.

'Uang satu miliar untuk enam bulan? Siapa yang akan menolak?' pikir Yuna.

"Mau mulai sekarang?" tanya Yuna.

Entah sejak kapan yang ada di pikirannya hanya uang, uang dan uang. Setelah mendapat uang ratusan juta dan habis begitu saja, ia ketagihan memegang uang yang banyak.

Tentu saja, Yuna melakukannya demi bertahan hidup. Tapi tidak bisa dipungkiri jika ia merasa lebih serakah. Apalagi, setelah ditawar dengan nominal yang tidak akan bisa ia dapatkan meski menjual diri seumur hidup!

Eric terkekeh menanggapi tantangan Yuna. Namun dalam hati ia memaki, 'Pelacur kecil ini cuma mukanya saja yang kelihatan alim.'

"Buka bajumu," perintah Eric sambil memerintahkan Mami Maria pergi menggunakan lambaian tangan.

"Nggak mandi dulu?" Yuna meragu.

"Apa bedanya? Nanti juga kotor lagi."

"O-Oke."

Yuna mematuhi Eric. Menanggalkan satu persatu kain yang melekat di tubuhnya dan menyisakan pakaian dalam. Ia melirik sesekali ke arah si pelanggan.

"Cuma itu saja?" Alis Eric bergerak naik.

"Se-sebentar."

Yuna berbalik, menghela napas berulang-ulang untuk menenangkan diri. Rasanya aneh, harus telanjang sementara lawan mainnya hanya duduk menatap tanpa berbuat apa pun.

"Lama sekali. Aku harus mengetes seberapa baik kemampuanmu."

Eric menyeret Yuna sampai berlutut di antara kedua kaki. "Jangan bilang kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang."

Sementara Yuna berkutat dengan rasa gugup, ia tidak sadar Eric tengah memandangnya dengan tatapan merendahkan.

'Betul, tempatmu seharusnya ada di bawah kakiku.'

Tangannya sedikit bergetar ketika Yuna mulai membuka ritsleting celana Eric. Sambil memejamkan mata, ia memaksa diri untuk lebih berani.

Eric tidak sabar menanti pergerakan lawan mainnya. Dengan kasar ia menyodorkan miliknya ke mulut si kupu-kupu malam.

Selang tiga puluh menit, benda milik Eric memuntahkan cairan ke dalam mulut Yuna. Ia tersedak ketika berusaha menelan cairan yang menyengat indra penciumannya.

"Sudah cukup untuk sekarang. Aku akan menjemput ke rumahmu besok. Kamu akan tinggal bersamaku selama enam bulan."

"Ti-tinggal bersama?" gagap Yuna.

"Kenapa? Apa kamu pikir aku mau repot-repot datang ke sini setiap hari untuk menemuimu?"

"Ba-baik. Tapi... Izinkan aku untuk sesekali keluar untuk mengurus sesuatu."

Eric menarik kepala Yuna jatuh ke pangkuan. "Jangan macam-macam, kamu mau cari pelanggan lain?"

"Nggak!" seru Yuna. "Aku harus bertemu adikku setiap hari."

"Oke," jawab Eric kemudian, "Tapi kamu harus pergi dengan pengawalku. Sekalinya kamu bohong, aku akan menghukummu."

"Baik."

"Sekarang tanda tangani surat kontrak ini."

Eric melambaikan beberapa lembar kertas di tangan. Yuna membacanya dengan seksama. Sebelum ia menyelesaikan bacaan lembar terakhir, Eric mendesaknya.

"Cepat tanda tangani. Aku mau pergi sekarang."

***

Mobil mewah terparkir di jalanan kumuh. Tampak kontras dan menarik perhatian orang-orang.

Cuping hidung Eric kembang kempis menahan bau busuk yang menyengat. Tidak heran, karena ia dibesarkan di tempat yang tidak membiarkan setitik debu melekat di sekitarnya.

"Menjijikkan," keluhnya.

Yuna keluar dari rumah mungil di ujung jalan. Ia melambai senang bertemu si tuan kaya raya penyelamat nyawa.

"Cepat masuk mobil!" perintah Eric.

"Apa aku nggak perlu bawa apa pun?"

"Ya, cukup bawa badanmu saja. Aku akan menyediakan baju dan semua kebutuhanmu nanti."

Pipi Yuna merona. Di siang hari, Eric terlihat jelas ketampanannya. Ia tidak lagi ragu menyerahkan tubuhnya untuk pria itu.

Setelah perjalanan singkat, mereka sampai di sebuah rumah di kompleks mewah. Setiap langkah, mulutnya terbuka kagum.

"Kamu cuma tinggal sendiri dengan pembantu?" tanya Yuna.

"Nggak, ada orang tuaku. Kakakku juga menginap akhir-akhir ini."

"A-Apa?" Mata Yuna terbelalak tidak percaya. "Orang tuamu nggak marah?"

"Kenapa harus marah?" Eric terkekeh.

"Masuk ke kamar, aku akan memberimu tugas pertama."

"Sekarang?"

Eric mengunci pintu kamar. Ia membuka kancing pertama kemejanya. Yuna segera mengikuti, membuka kaos yang dikenakannya.

"Nggak perlu buka baju," katanya dingin.

Yuna hanya bisa menuruti. Ia memakai lagi bajunya. Sementara Eric telah bertelanjang dada. Menimbulkan rona merah di wajah Yuna.

"Kamu sudah melihat barangku, sekarang malu?"

Yuna menggeleng kuat, kemudian membuang muka.

"Lihat ke sini," perintah Eric, "Jangan berpaling dan lihat semuanya.

Yuna tidak mampu berkata-kata ketika pria di depannya terus membuang pakaian sembarangan. Wajahnya semakin memanas ketika Eric menurunkan kain terakhir yang membungkus benda yang semalam berada dalam mulutnya.

"Kenapa ragu? Cepat ke sini."

Setiap kata yang keluar dari mulut Eric penuh dengan tekanan. Yuna seperti robot yang terus menuruti tuannya. Ia berlutut di antara paha sang tuan muda. Lalu mulai melakukan aktivitas yang sama seperti kemarin.

"Lebih baik dari kemarin," gumam Eric di sela erangannya.

Eric mulai memaju mundurkan kepala Yuna seenak hati. Tidak peduli Yuna tersedak berkali-kali.

"Jangan berhenti dan telan ini!"

Eric membungkuk dan menyeka cairan putih miliknya yang menetes dari tepi mulut Yuna menggunakan ibu jari. Bukan untuk membuang, tapi memasukkan ke dalam mulut gadis itu.

"Jangan sampai menetes. Karpet ini mahal sekali, diimport langsung dari luar negeri."

'Lebih mahal dari harga dirimu.'

"I-iya."

"Bagus, bagus." Eric menepuk lembut kepala Yuna layaknya memberi pujian kepada anjing peliharaan.

"Sekarang, pungut semua pakaianku, dan semua kain yang menempel di kasur. Lalu cuci sampai bersih."

"Cuci? Bukankah ada pembantu di rumah ini?"

"Mereka semua dibayar orang tuaku. Sedangkan aku sudah membayarmu mahal-mahal, bukan? Cuci di kamar mandi dalam, jangan keluar kamar tanpa seizinku. Mengerti?"

"I-iya."

"Oke. Aku mau ke kantor dulu. Saat aku kembali nanti, semua harus sudah bersih. Jangan sampai ada setitik debu yang menempel."

"Tapi di sini tidak ada alat untuk bersih-bersih."

Eric menatap tajam Yuna. Entah mengapa, Yuna jadi takut pada pria itu.

"Gunakan tubuhmu atau pakai lidahmu. Bukankah itu keahlianmu?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Chick Kin
keren ini ceritanya. baru nemu sygnya
goodnovel comment avatar
Usman
jahat kali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status