Share

Bab 7

"Nggak dengar perintahku, hah?"

Dalam dada Yuna terbakar amarah. Semakin lama, Eric kian kasar padanya.

Bicara saja selalu ketus, tidak pernah tersenyum sekali pun. Memerintah seenak hati tanpa peduli situasi dan kondisi.

'Masa dia sungguhan mau melakukan ini di sini?' batinnya.

"Kamu tuli?"

"Maaf, Tuan. Tapi ini di luar. Gimana kalau ada yang lihat?"

"Terus kenapa? Cepat lakukan perintahku!"

Yuna tidak bisa tidak menuruti Eric. Meskipun ia ingin sekali menampar pria itu sekarang tapi ia tetap mematuhi ucapannya.

Di malam yang semakin dingin dan di luar ruangan yang terbuka, Yuna meloloskan gaun dari tubuhnya tanpa menanggalkan dalaman. Ia mendekat ke arah Eric kemudian berjongkok.

Yuna siap melorotkan celana kain yang dikenakan Eric. Namun, Eric justru menampar tangannya dengan kasar.

"Aaw! Sakit!" pekik Yuna.

"Mau apa?"

"Katanya suruh buka baju," ucap Yuna dengan nada jengkel.

"Terus tanganmu mau apa barusan?"

"Melakukan tugasku. Mau apa lagi?"

"Kamu bodoh ya? Aku suruh kamu lepas gaun itu dan ganti dengan bajumu sendiri. Kamu mau bersih-bersih pakai gaun bagus seperti itu?"

"Oh... M-maaf, Tuan." Yuna menunduk malu.

"Sampai kapan mau diam saja? Tsk, lambat sekali! Apa aku harus meminta pengembalian dana kepada mucikarimu?"

"J-Jangan, Tuan. Aku akan kerjakan sekarang."

Yuna bergegas memakai kaos kotor miliknya lalu kembali ke kolam menyelesaikan sisa pekerjaan. Dalam hati ia mengutuk Eric. Bisa-bisanya pria berwajah tampan dan berkelas, tega dengan gadis muda sepertinya.

Hawa dingin menyebar ke sekujur tubuh ketika angin bertiup kencang. Beberapa kali Yuna bersin-bersin tapi Eric tidak peduli.

Sendi-sendinya mulai ngilu. Badannya sangat kelelahan karena tidak berhenti bekerja sejak tadi pagi.

Andai saja Eric tidak ada di sekitar, Yuna mungkin bisa tidur di dalam kolam kering itu. Ia hanya ingin segera merebahkan diri di mana saja.

Yuna menarik napas panjang. Ia teringat ucapan Eric sebelumnya yang menginginkan pergulatan badan di tempat ini.

'Bisa-bisa aku mati kelelahan. Tapi ini kesempatanku supaya dia nggak jadi tidur denganku.'

Yuna pun menggerakkan tangan membersihkan dinding kolam perlahan. Sebenarnya ia telah membersihkan semua area, tapi ia pura-pura masih melakukannya.

Walaupun Yuna telah bertekad menyerahkan segalanya untuk Eric demi uang, ia masih saja merasa takut menghadapi malam pertama. Ia mengintip Eric dan berharap pria itu sudah kelelahan atau justru tertidur lelap.

Sang tuan muda tengah duduk di kursi santai pinggir kolam. Melipat kedua tangan di bawah kepala sambil mengamati gerak-gerik Yuna.

"Sudah lima belas menit. Belum selesai?"

Nada suara Eric yang selalu menekan dan terdengar dingin itu membuat Yuna tidak sanggup lagi untuk berbohong.

"Udah selesai, Tuan. Tinggal mengisi airnya saja."

"Cepat naik!"

"Baik, Tuan," jawab Yuna patuh.

Yuna berdiri di sebelah Eric, khawatir menunggu perintah selanjutnya. Namun Eric hanya memandangi Yuna dari kaki hingga kepala selama beberapa saat. Pria itu bangkit lalu berbalik ke dalam rumah.

"Ngapain masih di situ? Cepat masuk! Aku pengen tidur."

Yuna mengekor Eric. "Tapi aku sudah membersihkan kolam, Tuan."

"Terus kenapa?"

"Katanya tadi mau... Itu... Di sini...."

'Astaga, kenapa aku malah menyinggung masalah itu? Udah bagus kalau dia lupa! Dasar Yuna bodoh!'

Eric berhenti mendadak, Yuna hampir saja menubruknya. Eric berbalik kemudian memandang sinis ke arah Yuna.

"Coba bercermin. Siapa yang mau disentuh sama perempuan kumal sepertimu?"

Yuna membaui aroma tubuhnya. Ia mengernyit oleh bau keringatnya sendiri.

"Mandi dulu sebelum menyentuh barang-barang di kamar. Jangan sampai bau menjijikkan itu menempel di perabotanku."

"Baik, Tuan."

***

"Ingat, nanti kalau ketemu kakakku, kamu harus mengikuti semua perintahnya. Apa pun yang dia suruh, kamu harus patuh. Mengerti?"

Yuna menjawab dengan anggukan. Mulutnya saat ini sedang melakukan pekerjaan wajib setiap pagi sebelum Eric berangkat kerja.

"Bagus... Haaaa...."

Eric menarik rambut Yuna, sehingga wanita itu terdorong maju sampai hampir kehabisan napas. Untung saja, Eric segera melakukan pelepasan.

Yuna terengah-engah menyeka mulut. Ia terbatuk-batuk sebentar lalu berkata, "Nanti siang aku boleh keluar, Tuan?"

"Mau ke mana?" tanya Eric tidak peduli. Tangannya sibuk membenarkan celana yang kini menjadi sedikit kusut.

"Masalah pribadi, Tuan."

"Aku nggak boleh tahu?"

"Mau bertemu adikku."

"Baik, kalau mau keluar bilang sama Hendri. Pulang sebelum aku sampai rumah. Awas saja kalau sampai terlambat."

"Nggak perlu, Tuan! Aku bisa berangkat sendiri," seru Yuna, tidak nyaman menerima perhatian tuannya.

"Kalau begitu nggak usah keluar," ujar Eric acuh lalu meninggalkan dirinya.

Selang beberapa menit, Eric kembali lagi dengan membawa satu kantong plastik berukuran besar.

"Apa ini, Tuan?"

"Baju."

Dada Yuna berdebar-debar. Ia senang mendapat hadiah pertama dari Eric selain uang.

'Dasar, tsundere! Diam-diam kamu perhatian juga,' gumam Yuna dalam hati.

Meskipun dibalut kantong plastik hitam lusuh, pakaian di dalamnya tampak mahal. Yuna pernah melihat para penggunjung bar memakai gaun-gaun seperti itu.

Bukan hanya lusinan. Yuna menghitung puluhan, tepatnya, lima puluh potong pakaian dengan merek ternama.

"Pertama satu miliar, sekarang setumpuk baju mahal. Jangan-jangan Eric sejak awal memang menyukaiku? Sampai dia rela mengeluarkan banyak uang demi mengeluarkanku dari tempat terkutuk itu."

'Tapi kenapa dia terus menyuruhku melakukan pekerjaan kasar?' Yuna mulai meragu dengan pemikirannya sendiri.

"Terserahlah!"

Yuna mencoba salah satu pakaian yang menarik indra penglihatan. Gaun hitam setulut yang benar-benar pas ukuran badannya.

Ia berputar-putar di depan cermin besar sambil memuji diri sendiri. 'Pantas saja Eric menyukaiku. Badanku bagus begini.' Ia terkekeh-kekeh.

'Aku akan memakainya untuk menjenguk Yuni. Mungkin saja dia bangun lalu khawatir dengan biaya rumah sakit. Aku akan menunjukkan kalau aku lebih dari mampu untuk merawatnya.'

Ketukan dari pintu terdengar. Yuna ingat pesan Eric untuk tidak membuka pintu. Tapi ketukan itu terus berlanjut berulang-ulang.

"Yuna, kamu di dalam?"

"Kak Emilia?"

"Iya, ini aku. Kamu sedang apa? Aku boleh masuk sebentar?"

Yuna berlari kecil membuka pintu. "Ada yang bisa aku bantu, Kak?"

Emilia terbelalak melihat penampilan Yuna. Ia mengerjapkan mata berkali-kali seolah tidak mempercayai matanya sendiri.

"Ya ampun! Aku nggak menyangka, kamu suka mencuri ternyata!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status