"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
Seorang gadis memasuki bar tempatnya bekerja. Tubuhnya dibalut kaos ketat merah menyala dan celana pendek sejengkal. Para pria seakan terhipnotis olehnya.Gadis itu memiliki paras cantik, tinggi 160 cm, kulit mulus serta bongkahan depan dan belakang yang begitu menggoda. Ketika ia mengayunkan rambut panjangnya, aroma manis seolah membius orang-orang di dekatnya.Ia menyilangkan kaki di kursi bar seakan menantang para pria untuk mendekat dan menyentuh paha mulusnya. Gadis itu kemudian menyalakan rokok, mengisap dengan gerakan sensual."Nggak usah sok-sokan memancing hidung belang, Yun!" ujar Rio, bartender sekaligus teman dekat Yuna.Yuna terkekeh. "Lihat muka mereka! Lucu sekali.""Udah, buruan ganti baju kerja!""Iya, iya. Cuma merokok sebentar aja bawel amat!"Yuna berlenggak-lenggok genit di depan deretan anak muda yang duduk di dekat pintu ruangan karyawan. Ia mengedipkan sebelah mata kepada mereka, yang dibalas oleh seruan dan siulan."Kamu ke mana saja telat dua menit?!" Wanita
"Nggak," jawab Yuna cepat."Tapi tadi ada orang yang mau membayar ratusan juta untuk perawan, Yun. Kamu tahu, di sini nggak ada lagi yang masih perawan.""Berapa juta?""Dua ratus juta.""Oh, maaf, Ri. Dokter adikku barusan memanggil."Yuna segera mematikan sambungan telepon. Andai saja ia bicara lebih lama lagi dengan Riana, ia pasti akan terbujuk olehnya. Ucapan Riana terus berdengung di telinga. Seperti iblis kecil yang membisikkan kata-kata manis di sisi kirinya.Yuna tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang sebanyak itu untuk operasi adiknya. Ia pun tidak memiliki sertifikat untuk dijadikan jaminan.Yuna berjalan lesu ke arah ruangan Dokter Darius. Hampir tengah malam, dokter itu masih sibuk dengan pasien. Yuna hendak kembali ke ruang perawatan Yuni, sebelum mendengar percakapan para perawat."Pasien kecelakaan tadi kondisinya memburuk. Mana kakaknya nggak cepat-cepat tanda tangan lagi," keluh salah seorang perawat.Yuna mempercepat langkah kaki. Benar apa yang dikatakan per
'Brak!'Suara pintu kamar terbuka lebar. Di ambang pintu, seseorang menatap mereka berdua dengan kemarahan yang luar biasa.Yuna buru-buru melilitkan tali kimono lagi. Untungnya, ia belum membuka kain itu sepenuhnya.Sementara itu, Aldo yang telah telanjang bulat, kalang kabut mencari jubah mandi yang ia lempar asal-asalan. Di lain pihak, wanita itu melesat masuk meskipun sekuriti mencoba mencegah."Lepaskan aku! Atau aku akan menuntut kalian semua!" ancam wanita itu."Sa-Sayang... Ini nggak seperti yang kamu kira." Suara Aldo bergetar.Setelah berhasil memakai jubah mandi, Aldo berlari memeluk kaki wanita itu. "Sayang, maafkan aku. Aku... Kami belum sempat berbuat apa-apa!"Wanita itu memandang tajam suaminya. Lalu beralih memandangi Yuna yang beringsut sembunyi di samping ranjang.Dada Yuna bergemuruh kencang. Tangan wanita itu dengan cepat menyambar rambut Yuna lalu menariknya dengan kuat."Pelacur! Berani-beraninya menyentuh suami orang!"Sekuriti ikut masuk dan berusaha memisahka
Setelah operasi lima jam, Yuni akhirnya dibawa kembali ke bangsal. Dokter Darius sudah menjelaskan, Yuni belum tentu langsung sadarkan diri. Dan Yuni masih harus menggunakan alat-alat khusus untuk menunjang kesehatan.Uang dua ratus juta habis dalam sekejap mata. Semua Yuna gunakan untuk biaya pengobatan Yuni. Dan adiknya itu ternyata masih butuh biaya tambahan untuk rawat inap dan obat-obatan mahal.Pukul lima sore, Yuna berangkat ke Hotel Laisa. Sekarang, ia hanya perlu bekerja sampai pukul sembilan malam. Setelahnya naik ke atas dan menemani para tamu elit."Aku sudah tahu dari Ria kemarin. Kamu yakin tetap masih mau ke atas? Semalam kamu beruntung nggak jadi...." Rio menahan kalimatnya."Iya, lagian di atas cuma nemenin orang ngobrol. Paling cuma grepe grepe doang.""Jaga diri baik baik, Yun." Rio menatap Yuna prihatin.Belum lama Yuna duduk santai, Mami Maria sudah memanggil. Artinya akan ada pekerjaan baru lain. Yuna berharap hanya akan disuruh menemani pelanggan minum-minum, t