Share

Kupinang Mantan Istriku
Kupinang Mantan Istriku
Penulis: diara_di

Pinangan Abah

Ayudia menyetandarkan sepedanya di garasi rumah papan milik Uti Dijah. Uti Dijah adalah nenek yang telah mengasuh Ayudia sejak usianya masih tujuh tahun. Orang tua dari ayahnya.

Ayudia bertanya-tanya siapakah gerangan tamu orang kaya yang bertandang ke gubuk reyotnya. Ayudia baru saja pulang dari menjalankan tugasnya sebagai guru honorer sekolah dasar di Kampung Kipyuh.

"Dia. buruan masuk, ada Abah Ahmad dan Umi Aida." Seruan Uti Dijah terdengar menggelegar. Apa sangking senangnya, Uti sampai heboh.

Ayudia yang masih lelah dan bau keringat menyeruak dari tubuhnya, memilih masuk lewat pintu belakang. Ayudia membuka pintu dapur yang terbuat dari seng tersebut dengan sangat pelan, takut kalau terdengar tamu Uti dan Atuk yang sepertinya bukan orang biasa.

Begitu Ayudia akan menutup pintu itu, Atuk datang dengan pakaian ladang. Atuk masih sama seperti Ayudia, tetapi bau Atuk lebih menyengat. Masih mending Ayudia yang hanya bau asam dari ketiak.

Meski berada di kepulauan tengah lautan, namun sumber perekonomian di Kampung Kipyuh adalah hasil ladang. Yakni kopi dan Minyak Nilam. Komoditi yang seharusnya menjanjikan. Namun, karena akses jalan yang sulit sehingga pengepul membeli dengan harga sangat rendah.

Pengolahan Minyak Nilam pun masih dengan cara dan peralatan tradisional. Membutuhkan kesabaran untuk mendapat kualitas minyak yang baik.

"Buruan ganti baju, terus temui Abah Ahmad, Nduk," seru Atuk Darmo, sembari beliau menarik handuk dari tali tambang yang terulur saling terikat dari kayu penyangga dapur yang satu ke yang lain.

"Emang, Abah Ahmad siapa, Tuk?" Ayudia bertanya, ia masih diam santai memperhatikan gerak-gerik Atuk yang sepertinya ingin cepat-cepat selesai membersihkan diri.

"La kamu apa ndak tahu kalau Abah Ahmad itu, pengasuh pondok pesantren Asmaul Husna di Kampung Sandur?" jelas Atuk penuh penekanan sambil menatap Ayudia. Atuk masih membersihkan sandal dari tanah yang menempel. Menggunakan sabit yang biasa beliau gunakan untuk merumput.

Ayudia masih terdiam, ia agak bingung dan kaget. Pasalnya Pondok Pesantren Asmaul Husna adalah satu-satunya ponpes di Kabupaten Pagar Emas. Dan tentu saja semua orang tahu siapa pengasuhnya, kecuali Ayudia. Ia hanya tahu anak dari pengasuh ponpes tersebut yang memiliki rupa seperti artis drama Korea yang sangat ia idolakan.

"Sudah, sana ganti baju. Malah ngelamun aja kamu, Nduk. Jangan kelamaan, Atuk juga mau mandi bebek saja." Lanjut Atuk sembari berlalu ke belakang. Kampung Kipyuh merupakan salah satu kampung yang tertinggal di Kabupaten Pagar Emas. Jarang sekali yang memiliki kamar mandi di dalam rumah. Mayoritas warganya mengais rezeki dari bertani dan beternak.

Ayudia adalah gadis pertama yang memiliki ijazah sarjana. Banyak yang mengidolakan gadis tersebut. Di desanya ia di juluki bunga desa. Ayudia menyimpan aura yang bersinar, kecantikan tanpa make-up itu, mampu membius siapa saja yang menatapnya.

Sampai anak pak lurah yang memiliki kekayaan tumpah ruah juga jatuh hati pada sosok Ayudia.

Selain kecantikan fisik, kecerdasannya patut diapresiasi. Ayudia juga memiliki semangat yang membara untuk kemajuan kampungnya. Ia tak mau Kampung Kipyuh tetap menjadi desa tertinggal di era modern seperti sekarang. Ayudia sekolah ke kota dengan mengandalkan beasiswa, beruntung karena Uti dan Atuknya tak menghalangi ambisi Ayudia demi meraih cita-cita.

Baru satu tahun Ayudia lulus dari universitas terbaik di propinsinya. Ia menjadi lulusan terbaik dengan predikat luar biasa, atau biasa disebut oleh orang-orang dengan istilah cumlaude.

Ayudia sengaja mengambil jurusan pendidikan sekolah dasar, karena bagi Ayudia pendidikan TK dan SD merupakan pondasi bagi anak-anak menuju pendidikan selanjutnya. Kalau pendidikan awal bagus, insyaallah akan disimpan oleh memori anak-anak sampai dewasa. Modal tersebut akan menjadi bekal anak-anak mencapai pendidikan yang baik.

Ayudia juga mengajar les di rumah pada jam siang sampai sore. Jadi, aktivitas Ayudia memang padat. Ia memberikan ilmu secara cuma-cuma, alias gratis. Tak hanya pengetahuan umum, Ayudia juga mengajarkan membaca huruf hijaiyah.

Perannya sebagai guru honorer, hanya dibayar tiga ratus ribu perbulan. Namun, Ayudia tak melihat dari nominal besar kecilnya gaji. Tekad Ayudia adalah mengubah kampung yang kolot menjadi kampung yang memiliki pemikiran terbuka.

Ayudia mengganti pakaian dengan kaos putih kebesaran dan celana trening yang sudah cingkrang. Maksudnya adalah kependekan, trening yang ia pakai adalah seragam SMA dulu. Sudah sangat lama, wajar kan kalau ngatung. Selesai mengganti pakaian, Ayudia menyemprot sedikit parfum di bajunya. Jarang-jarang kan kedatangan tamu besar, Ayudia harus harum saat menemui kiyai besar.

"Nah, ini gadis, Uti. lama amat sih, Nduk?Abah sama Umi sudah dari tadi menunggu," seru Uti Dijah kala Ayudia masuk ke ruang tamu.

Ayudia hanya tersenyum tipis, ia menyalami Abah Ahmad dan Umi Aida dengan sopan. Atuk Darmo kemudian ikut bergabung setelah mengenakan pakaian rapih. Atuk pun menyalami pimpinan pondok pesantren besar tersebut dengan santun.

Ayudia mendadak gemetaran, entah karena apa ia sendiri tak tahu. Atuk mulai berbicara, gurat wajah tuanya menyiratkan kebahagiaan. Ya jelas bahagia kan disambangi tamu besar.

"Ma'af, Bah, saya dari ladang. Tadi habis ngasih pupuk tanaman kopi."

"Ndak papa, Tuk. Kami juga ndak buru-buru kok. Apa sudah mau panen?" jawab Abah dengan senyum. Ayudia seperti teringat seseorang kala melihat senyum Abah Ahmad, ia berusaha memutar memori di kepalanya. Nah, ketemu. Ternyata senyumnya sama persis dengan senyum Ammar. Anak lelaki tertua dari Abah Ahmad. Ayudia sering menscroll akun sosial media milik pria tersebut.

Bukan Ayudia jatuh cinta. Namun, ia lebih penasaran, karena demam Ammar menjadi trend yang sedang digandrungi gadis seusianya. Semua teman kuliah Ayudia bahkan telah mengikuti akun Ammar, Ayudia pun sejak setahun lalu mengikuti jejak teman-temannya. Ayudia jadi senyum-senyum sendiri kala mengingat wajah tampan nan memesona dari pria yang banyak didamba gadis-gadis. Ia yakin Ammar menjadi most wanted di pesantrennya sendiri.

"Dia, Nduk." Panggil Uti Dijah. Namun, Ayudia masih saja asyik dengan pikirannya yang sedang berkelana.

"Heh, Nduk," sentak Atuk menggeplak bahu Ayudia.

"Eh, iya, Kak Ammar." Latahnya saat terkaget. Semua orang yang ada di sana terkejut. Umi Aida yang sedari tadi diam, kini ikut bicara.

"Loh, Nak Dia ternyata sudah kenal sama Ammar?" Umi Aida bertanya, suaranya lembut bagai kain sutra, hingga Ayudia terhipnotis olehnya.

"Tidak, Umi. Dia ingat teman ngajar yang namanya Ammar, beliau PNS yang baru ditugaskan di SD Kipyuh." Ayudia berbohong, memang ada guru baru di sekolahnya, akan tetapi bernama Annan bukan Ammar.

Obrolan ringan mengalir seperti air, Ayudia juga enjoy bicara dengan Abah dan Umi. Meski menjadi kyai besar, namun Abah dan Umi sama sekali tak memiliki sisi sombong dan berbangga diri.

Masuk ke inti pembicaraan, Ayudia masih setia mendengarkan secara baik. Uti Dijah dan Atuk seperti sudah mengetahui arah pembicaraan Abah Ahmad. Ayudia mengernyit bingung, ia tak memahami isi obrolan mereka. Melamar, pernikahan. Walau dirinya cerdas, namun ia tak pandai menerka kalimat yang kurang jelas menurut Ayudia.

"Assalamu'alaikum, Kak Dia ... !" teriak anak-anak yang mulai berdatangan.

"Sebentar ya, Ti, Dia bilangin anak-anak untuk nunggu dulu. Permisi Abah, Umi." Ayudia kemudian keluar sebentar menyuruh anak-anak bermain lebih dulu, setelahnya ia kembali masuk ke dalam.

Saat sampai di kursinya, mata Ayudia langsung mengarah ke kotak beludru berwarna emas. Ayudia yakin jika itu adalah kotak perhiasan, meski dirinya tak pernah membeli perhiasan, tetapi sering melihat di serial televisi.

"Mana jari tengah, Dia. Sini, Umi pakaikan. Emang calon mantu idaman, sudah pintar, ndak pelit ilmu." Celetuk Umi tiba-tiba.

Ayudia melongo bak sapi kelaparan, ia benar-benar tak mengerti.

"Sini." Umi kembali mengulang kata-kata. Ayudia mengulurkan tangan kirinya. Umi Aida menyematkan cincin emas dengan hiasan permata di tengah, indah sekali.

"Jadi, untuk menentukan tanggal pernikahan nanti, kami mengundang Atuk sekeluarga untuk bersilaturahmi ke rumah. Ya, Tuk, Ti," ucap Abah.

Ayudia yang masih kebingungan mencoba mengajukan pertanyaan.

"Hahh ... emang siapa, Ti yang mau menikah?" Semua menertawakan kepolosan Ayudia, tawanya Abah dan Umi hanya sebatas senyum terkikik pelan. Ya beliau jelas lebih paham aturan tertawa. Beda dengan Atuk dan Uti yang terbahak sampai memperlihatkan amandelnya.

"Ya jelas, Cucung Atuk lah yang mau nikah, masa sapi, Pak Lik Yono?" Atuk lagi-lagi bercanda, Ayudia semakin bingung.

"Lah, Dia nikah sama siapa, Ti?"

"Sama Muammar, anak sulung Abah dan Umi, Nak." Umi Aida menjawab. Uti Dijah masih meredakan tawanya, air bening sampai membasahi sudut matanya saking termehek-mehek.

Ayudia mematung di tempat. Hahhh, apa? Menikah dengan Muammar? Pria tampan seantero Pagar Emas? Ayudia mencubit pipi tirusnya.

"Auuw, sakit," pekiknya. Lagi, kelakuan absurdnya membuat tawa Uti kembali pecah.

"Kamu kira ini mimpi? Abah memang melamarmu untuk Ammar, Dia?" kata Uti sambil menahan tawa.

"Astaghfirullah, mimpi apa aku semalam. Ini sih ketiban bulan purnama," ucap Ayudia dalam hati.

Ayudia mengutarakan bahwa ia menerima. Padahal tak ada yang bertanya pendapatnya. Ayudia lupa, kalau pernikahan adalah ikatan dua manusia, sedangkan Muammar tak ada di sana. Apakah ia setuju? Atau justru menolak? Ayudia tak berpikir sampai ke sana. Gadis itu terlalu kegirangan. Bahkan, Ayudia sama sekali belum mengenal sosok Ammar.

Terkadang, sesuatu yang tampak baik, belum tentu baik untuk diri kita sendiri.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status