Ayudia menyetandarkan sepedanya di garasi rumah papan milik Uti Dijah. Uti Dijah adalah nenek yang telah mengasuh Ayudia sejak usianya masih tujuh tahun. Orang tua dari ayahnya.
Ayudia bertanya-tanya siapakah gerangan tamu orang kaya yang bertandang ke gubuk reyotnya. Ayudia baru saja pulang dari menjalankan tugasnya sebagai guru honorer sekolah dasar di Kampung Kipyuh."Dia. buruan masuk, ada Abah Ahmad dan Umi Aida." Seruan Uti Dijah terdengar menggelegar. Apa sangking senangnya, Uti sampai heboh.Ayudia yang masih lelah dan bau keringat menyeruak dari tubuhnya, memilih masuk lewat pintu belakang. Ayudia membuka pintu dapur yang terbuat dari seng tersebut dengan sangat pelan, takut kalau terdengar tamu Uti dan Atuk yang sepertinya bukan orang biasa.Begitu Ayudia akan menutup pintu itu, Atuk datang dengan pakaian ladang. Atuk masih sama seperti Ayudia, tetapi bau Atuk lebih menyengat. Masih mending Ayudia yang hanya bau asam dari ketiak.Meski berada di kepulauan tengah lautan, namun sumber perekonomian di Kampung Kipyuh adalah hasil ladang. Yakni kopi dan Minyak Nilam. Komoditi yang seharusnya menjanjikan. Namun, karena akses jalan yang sulit sehingga pengepul membeli dengan harga sangat rendah.
Pengolahan Minyak Nilam pun masih dengan cara dan peralatan tradisional. Membutuhkan kesabaran untuk mendapat kualitas minyak yang baik.
"Buruan ganti baju, terus temui Abah Ahmad, Nduk," seru Atuk Darmo, sembari beliau menarik handuk dari tali tambang yang terulur saling terikat dari kayu penyangga dapur yang satu ke yang lain."Emang, Abah Ahmad siapa, Tuk?" Ayudia bertanya, ia masih diam santai memperhatikan gerak-gerik Atuk yang sepertinya ingin cepat-cepat selesai membersihkan diri."La kamu apa ndak tahu kalau Abah Ahmad itu, pengasuh pondok pesantren Asmaul Husna di Kampung Sandur?" jelas Atuk penuh penekanan sambil menatap Ayudia. Atuk masih membersihkan sandal dari tanah yang menempel. Menggunakan sabit yang biasa beliau gunakan untuk merumput.Ayudia masih terdiam, ia agak bingung dan kaget. Pasalnya Pondok Pesantren Asmaul Husna adalah satu-satunya ponpes di Kabupaten Pagar Emas. Dan tentu saja semua orang tahu siapa pengasuhnya, kecuali Ayudia. Ia hanya tahu anak dari pengasuh ponpes tersebut yang memiliki rupa seperti artis drama Korea yang sangat ia idolakan."Sudah, sana ganti baju. Malah ngelamun aja kamu, Nduk. Jangan kelamaan, Atuk juga mau mandi bebek saja." Lanjut Atuk sembari berlalu ke belakang. Kampung Kipyuh merupakan salah satu kampung yang tertinggal di Kabupaten Pagar Emas. Jarang sekali yang memiliki kamar mandi di dalam rumah. Mayoritas warganya mengais rezeki dari bertani dan beternak.Ayudia adalah gadis pertama yang memiliki ijazah sarjana. Banyak yang mengidolakan gadis tersebut. Di desanya ia di juluki bunga desa. Ayudia menyimpan aura yang bersinar, kecantikan tanpa make-up itu, mampu membius siapa saja yang menatapnya.Sampai anak pak lurah yang memiliki kekayaan tumpah ruah juga jatuh hati pada sosok Ayudia.Selain kecantikan fisik, kecerdasannya patut diapresiasi. Ayudia juga memiliki semangat yang membara untuk kemajuan kampungnya. Ia tak mau Kampung Kipyuh tetap menjadi desa tertinggal di era modern seperti sekarang. Ayudia sekolah ke kota dengan mengandalkan beasiswa, beruntung karena Uti dan Atuknya tak menghalangi ambisi Ayudia demi meraih cita-cita.Baru satu tahun Ayudia lulus dari universitas terbaik di propinsinya. Ia menjadi lulusan terbaik dengan predikat luar biasa, atau biasa disebut oleh orang-orang dengan istilah cumlaude.Ayudia sengaja mengambil jurusan pendidikan sekolah dasar, karena bagi Ayudia pendidikan TK dan SD merupakan pondasi bagi anak-anak menuju pendidikan selanjutnya. Kalau pendidikan awal bagus, insyaallah akan disimpan oleh memori anak-anak sampai dewasa. Modal tersebut akan menjadi bekal anak-anak mencapai pendidikan yang baik.Ayudia juga mengajar les di rumah pada jam siang sampai sore. Jadi, aktivitas Ayudia memang padat. Ia memberikan ilmu secara cuma-cuma, alias gratis. Tak hanya pengetahuan umum, Ayudia juga mengajarkan membaca huruf hijaiyah.Perannya sebagai guru honorer, hanya dibayar tiga ratus ribu perbulan. Namun, Ayudia tak melihat dari nominal besar kecilnya gaji. Tekad Ayudia adalah mengubah kampung yang kolot menjadi kampung yang memiliki pemikiran terbuka.
Ayudia mengganti pakaian dengan kaos putih kebesaran dan celana trening yang sudah cingkrang. Maksudnya adalah kependekan, trening yang ia pakai adalah seragam SMA dulu. Sudah sangat lama, wajar kan kalau ngatung. Selesai mengganti pakaian, Ayudia menyemprot sedikit parfum di bajunya. Jarang-jarang kan kedatangan tamu besar, Ayudia harus harum saat menemui kiyai besar."Nah, ini gadis, Uti. lama amat sih, Nduk?Abah sama Umi sudah dari tadi menunggu," seru Uti Dijah kala Ayudia masuk ke ruang tamu.Ayudia hanya tersenyum tipis, ia menyalami Abah Ahmad dan Umi Aida dengan sopan. Atuk Darmo kemudian ikut bergabung setelah mengenakan pakaian rapih. Atuk pun menyalami pimpinan pondok pesantren besar tersebut dengan santun.Ayudia mendadak gemetaran, entah karena apa ia sendiri tak tahu. Atuk mulai berbicara, gurat wajah tuanya menyiratkan kebahagiaan. Ya jelas bahagia kan disambangi tamu besar."Ma'af, Bah, saya dari ladang. Tadi habis ngasih pupuk tanaman kopi.""Ndak papa, Tuk. Kami juga ndak buru-buru kok. Apa sudah mau panen?" jawab Abah dengan senyum. Ayudia seperti teringat seseorang kala melihat senyum Abah Ahmad, ia berusaha memutar memori di kepalanya. Nah, ketemu. Ternyata senyumnya sama persis dengan senyum Ammar. Anak lelaki tertua dari Abah Ahmad. Ayudia sering menscroll akun sosial media milik pria tersebut.Bukan Ayudia jatuh cinta. Namun, ia lebih penasaran, karena demam Ammar menjadi trend yang sedang digandrungi gadis seusianya. Semua teman kuliah Ayudia bahkan telah mengikuti akun Ammar, Ayudia pun sejak setahun lalu mengikuti jejak teman-temannya. Ayudia jadi senyum-senyum sendiri kala mengingat wajah tampan nan memesona dari pria yang banyak didamba gadis-gadis. Ia yakin Ammar menjadi most wanted di pesantrennya sendiri."Dia, Nduk." Panggil Uti Dijah. Namun, Ayudia masih saja asyik dengan pikirannya yang sedang berkelana."Heh, Nduk," sentak Atuk menggeplak bahu Ayudia."Eh, iya, Kak Ammar." Latahnya saat terkaget. Semua orang yang ada di sana terkejut. Umi Aida yang sedari tadi diam, kini ikut bicara."Loh, Nak Dia ternyata sudah kenal sama Ammar?" Umi Aida bertanya, suaranya lembut bagai kain sutra, hingga Ayudia terhipnotis olehnya."Tidak, Umi. Dia ingat teman ngajar yang namanya Ammar, beliau PNS yang baru ditugaskan di SD Kipyuh." Ayudia berbohong, memang ada guru baru di sekolahnya, akan tetapi bernama Annan bukan Ammar.Obrolan ringan mengalir seperti air, Ayudia juga enjoy bicara dengan Abah dan Umi. Meski menjadi kyai besar, namun Abah dan Umi sama sekali tak memiliki sisi sombong dan berbangga diri.Masuk ke inti pembicaraan, Ayudia masih setia mendengarkan secara baik. Uti Dijah dan Atuk seperti sudah mengetahui arah pembicaraan Abah Ahmad. Ayudia mengernyit bingung, ia tak memahami isi obrolan mereka. Melamar, pernikahan. Walau dirinya cerdas, namun ia tak pandai menerka kalimat yang kurang jelas menurut Ayudia."Assalamu'alaikum, Kak Dia ... !" teriak anak-anak yang mulai berdatangan."Sebentar ya, Ti, Dia bilangin anak-anak untuk nunggu dulu. Permisi Abah, Umi." Ayudia kemudian keluar sebentar menyuruh anak-anak bermain lebih dulu, setelahnya ia kembali masuk ke dalam.Saat sampai di kursinya, mata Ayudia langsung mengarah ke kotak beludru berwarna emas. Ayudia yakin jika itu adalah kotak perhiasan, meski dirinya tak pernah membeli perhiasan, tetapi sering melihat di serial televisi."Mana jari tengah, Dia. Sini, Umi pakaikan. Emang calon mantu idaman, sudah pintar, ndak pelit ilmu." Celetuk Umi tiba-tiba.Ayudia melongo bak sapi kelaparan, ia benar-benar tak mengerti."Sini." Umi kembali mengulang kata-kata. Ayudia mengulurkan tangan kirinya. Umi Aida menyematkan cincin emas dengan hiasan permata di tengah, indah sekali."Jadi, untuk menentukan tanggal pernikahan nanti, kami mengundang Atuk sekeluarga untuk bersilaturahmi ke rumah. Ya, Tuk, Ti," ucap Abah.Ayudia yang masih kebingungan mencoba mengajukan pertanyaan."Hahh ... emang siapa, Ti yang mau menikah?" Semua menertawakan kepolosan Ayudia, tawanya Abah dan Umi hanya sebatas senyum terkikik pelan. Ya beliau jelas lebih paham aturan tertawa. Beda dengan Atuk dan Uti yang terbahak sampai memperlihatkan amandelnya."Ya jelas, Cucung Atuk lah yang mau nikah, masa sapi, Pak Lik Yono?" Atuk lagi-lagi bercanda, Ayudia semakin bingung."Lah, Dia nikah sama siapa, Ti?""Sama Muammar, anak sulung Abah dan Umi, Nak." Umi Aida menjawab. Uti Dijah masih meredakan tawanya, air bening sampai membasahi sudut matanya saking termehek-mehek.Ayudia mematung di tempat. Hahhh, apa? Menikah dengan Muammar? Pria tampan seantero Pagar Emas? Ayudia mencubit pipi tirusnya."Auuw, sakit," pekiknya. Lagi, kelakuan absurdnya membuat tawa Uti kembali pecah."Kamu kira ini mimpi? Abah memang melamarmu untuk Ammar, Dia?" kata Uti sambil menahan tawa."Astaghfirullah, mimpi apa aku semalam. Ini sih ketiban bulan purnama," ucap Ayudia dalam hati.Ayudia mengutarakan bahwa ia menerima. Padahal tak ada yang bertanya pendapatnya. Ayudia lupa, kalau pernikahan adalah ikatan dua manusia, sedangkan Muammar tak ada di sana. Apakah ia setuju? Atau justru menolak? Ayudia tak berpikir sampai ke sana. Gadis itu terlalu kegirangan. Bahkan, Ayudia sama sekali belum mengenal sosok Ammar.Terkadang, sesuatu yang tampak baik, belum tentu baik untuk diri kita sendiri.
Bersambung..
Malam hari, Abah baru sampai di rumah. Butuh perjuangan untuk bertandang ke rumah Atuk Darmo. Kampung Kipyuh merupakan desa tertinggal di Kabupaten Pagar Emas. Kampung tersebut memisahkan diri dengan desa lain. Kipyuh berada di kepulauan sendiri, tetapi masih mengikut dengan Kabupaten Pagar Emas.Untuk sampai di sana, seseorang harus menaiki perahu. Jika membawa kendaraan sendiri, maka kendaraannya harus ikut naik. Kendaraan yang bisa dibawa pun harus kendaraan yang memiliki roda gunung. Ya, ban yang dipakai khusus. Tidak ada akses jalan lain menuju ke sana. Satu-satunya cara ya menyeberangi lautan. Sekitar 2-3 jam dalam perahu.Belum ada penerangan dari pemerintah, jalan pun masih tanah. Kalau hujan akan menjadi jalan berlumpur yang sulit dilalui."Assalamu'alaikum," ucap Abah dan Umi bersamaan."W*'alaikum salam." Ammar menyahut dari dalam kamar, kemudian ia keluar.Tak perlu membukakan pintu, karena pintu memang tak pernah tertutup jika belum larut malam.Momen yang tepat untuk ber
Keesokan pagi, dapur Umi diramaikan oleh santri yang tengah membantu mempersiapkan sajian untuk menyambut calon menantu Abah.Nur juga ada di sana sedang menyiangi sayuran. Ammar yakin kalau gadis itu tengah menyimpan luka akibat dirinya sudah dijodohkan.Ammar duduk di sofa depan televisi, ia menyetel berita terkini. Namun, mata Ammar sebentar-sebentar berlari ke dapur yang kebetulan terlihat dari ruang keluarga.Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang membersihkan karpet dari debu, menyapu halaman, dan sebagian santri perempuan membuat masakan."Gus, kok belum mandi? Ini sudah jam sepuluh, lho. Kata Umi, sebentar lagi Mbak Dia datang," seru Fatma adik nomor dua."Hm." Ammar hanya bergumam, tak juga menoleh ke arah Fatma.Fatma berlalu, sepertinya gadis bertubuh kecil itu turut sibuk menerima perintah dari Umi."Adam, pasang karpetnya, ya. Dia sudah hampir sampai." Suara Umi mengganggu indra pendengaran Ammar. Entah kenapa Ammar kesal sendiri."Siap, Mi." Adam menjawab de
Satu minggu berlalu setelah pertemuan dua keluarga digelar. Hari ini tepat hari jum'at, akad nikah Ammar dan Ayudia akan dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.Keluarga Abah Ahmad sudah datang dari kemarin sore, tak banyak yang ikut bertandang ke kediaman Atuk Darmo. Bukan karena tak ingin, melainkan sulitnya medan yang dilalui membuat semua yang ingin ikut menyaksikan mengurungkan niat.Dua mobil meluncur ke rumah Ayudia. Namun, hanya satu mobil yang bisa diajak menaiki perahu dan berperang dengan jalanan berlumpur. Mobil hitam milik Kyai Lutfi terpaksa ditinggalkan di rumah warga yang tak jauh dari dermaga penyeberangan.Di dalam mobil Abah Ahmad telah berisi 6 anggota keluarga Abah. Sedang di mobil Kyai Lutfi beranggotakan Kyai Lutfi sendiri beserta istri dan Adam.Mereka membutuhkan waktu 2 jam untuk menyeberangi lautan. Bersyukur cuaca siang menjelang sore kala itu mendung tanpa angin dan hujan. Sangat bersahabat, niscaya perjalanan laut pun tak terhambat apa pun.Dari tempat p
Siang itu juga, selepas Salat Dzuhur rombongan Abah Ahmad berpamitan untuk kembali ke Sandur.Tak lupa Abah Ahmad menyampaikan permohonan maaf dan rasa terima kasihnya kepada Atuk Darmo.Abah Ahmad juga meminta izin untuk memboyong Ayudia ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.Tangis haru serta bahagia pecah di gubuk sederhana Atuk Darmo. Lebih dari dua puluh tahun Ayudia hidup bahagia di sana, akhirnya tiba juga waktu untuk memisahkan diri.Tentu kesedihan menusuk hingga sum-sum Ayudia. Tak tega meninggalkan dua manusia renta yang telah setia merawatnya hingga dewasa.Ayudia menangis sepilu-pilunya, begitu juga Uti Dijah. Umi Aida mengelus sayang punggung Ayudia.Kini, Ayudia benar-benar akan hijrah ke sana. Ia pun akan membantu mengajar di madrasah milik keluarga Ammar."Nak, Uti titip cucu Uti, ya. Nak Ammar tolong bimbing, Dia. Jangan pernah memarahi Dia ketika melakukan kesalahan. Beritahu saja baik-baik. Sekali lagi Uti titip Dia pada Nak Ammar. Tolong jagain Dia ya, Nak," ucap Uti de
Mobil putih dengan variasi ban off-road berbelok ke Pondok Pesantren Asmaul Husna. Para santri terlihat membungkuk hormat kala mobil itu melewati gerbang menuju tempat parkir. Mereka sudah sangat hafal siapa pemiliknya, meski sang empunya tak membuka kaca jendela. "Alhamdulillah sudah sampai, Dia," seru Abah pada Ayudia, membangunkan tidur nyaman Umi Aida. "Iya Bah, Alhamdulillah," jawab Ayudia. Umi Aida mengedip beberapa kali, lalu bergerak membenarkan posisi duduknya. Umi Aida juga mengusap wajah. Mungkin takut kalau ada kotoran mata maupun air liur yang tertinggal di sana. "Sudah sampai, Bah?" tanya Umi setelah sadar sepenuhnya. "Sudah, Mi. Ayo turun, pasti Nak Dia sudah lelah dan pengen istirahat." "Iya iya, ayo Am, ajak Nak Dia," ujar Umi Aida. "Iya, Mi." Akan tetapi, itu hanya jawaban yang keluar dari mulut Ammar, nyatanya begitu turun dari mobil, Ammar berjalan sendiri tanpa beban masuk ke rumahnya. Ayudia berdiri diam, menggendong ransel hitam berisi baju-baju miliknya
Ayudia sedikit terhibur dengan keputusan Abah mengajak bergabung di MI Asmaul Husna. Usai makan malam, Abah kembali dengan rutinitasnya bersama santri. Najma, Fatma juga Muha pun sama, kembali mengaji. Umi duduk di ruang tamu, biasanya ada beberapa orang bertamu ataupun para santriwati yang sekedar ingin ilmu tambahan. Ayudia memunguti piring-piring kotor, membawa ke tempat cuci piring. Ammar masuk kamar. Ayudia belum tahu apa saja aktivitas yang Ammar lakukan dalam sehari-hari. "Dia, sudah. Tinggalkan saja, biar Najma dan Fatma yang membereskan semua sepulang ngaji nanti," seru Umi dari ruang tamu. Sayup-sayup, Ayudia mendengar obrolan. Mungkin sudah ada tamu yang datang, batin Ayudia. Ayudia meninggalkan cucian piring sebentar, lalu membuka horden pembatas antara ruang tamu dan dapur. "Ndak papa, Umi. Ini kan kerjaan Dia juga. Dia sudah biasa cuci piring dan baju waktu di rumah Atuk." "Nanti Dia kecapek'an, sudah ... tinggalkan saja." "Dia ndak capek, Mi. Udah ndak papa, mala
Dari kejauhan banyak pasang mata melihat Adam menggendong seorang perempuan. Namun, beruntungnya, bisa dipastikan hanya berapa gelintir yang tahu bahwa Adam menggendong Ayudia, menantu Abah Ahmad. Saat hendak sampai teras rumah Abah, Ammar menghadang langkah Adam. "Dam, sini. Biar aku saja yang gendong. Dia itu istriku, jadi kamu ndak berhak pegang Dia." Sayang sekali, Adam tak acuh. Ia melanjutkan langkah kaki yang tinggal berapa gerakan untuk sampai di ruang tamu. "Assalamualaikum, Mi!" teriak Adam, ia tahu kalau Umi Aida selalu di rumah di jam pagi. "Walaikumsalam. Masyaallah, ada apa Dam? Dia kenapa?" "Tolong bantal, Umi." Umi segera mengambil bantal, Adam menidurkan Ayudia di karpet ruang tamu. Sementara itu Ammar hanya diam saja. "Ada apa dengan Dia, Dam?" Sekali lagi Umi Aida bertanya. "Ndak tahu Umi, tadi Adam lihat dari kelas enam, tubuh Dia limbung. Jadi, Adam lari cepat, lalu sampai di sana, Dia ambruk dan ndak sadar lagi." "Makasih ya, Dam. Makasih karena sudah m
Puas Ayudia memerhatikan interaksi antara Ammar dan Nur, hingga ia merasakan pusing lagi. "Terima kasih ya, Mbak." Kalimat terakhir Ayudia dengar sebelum Nur pergi bersama Ammar. Saat mengatakan itu, Ayudia mendapati mata Ammar sedang memandang lekat perempuan bernama Nur tersebut. Tatapan penuh kekaguman. Ayudia kembali ke kamar, ia duduk di kursi meja rias sambil mengingat bagaimana Ammar ramah tamah dengan Nur. Cara Ammar berbicara pada Nur sangatlah berbeda. Nada bicara lembut dan enak didengar. Meski Ayudia tak pernah pacaran ataupun curi-curi pandang dengan pria lain, tetapi ia cukup paham dengan sorot mata ketertarikan seseorang kala tengah menatap. Jika ditanya apakah Ayudia iri? Jelas saja, rasa itu diam-diam menyusup dan kembali memporak-porandakan hati. Bukan Ayudia ingin Ammar tertarik padanya, tidak seperti itu. Ayudia hanya ingin diperlakukan baik. Diajak bicara dengan baik, terlebih ia yang berhak mendapatkan perhatian bukan perempuan lain. Gadis itu memutuskan u