Share

Pernikahan

Satu minggu berlalu setelah pertemuan dua keluarga digelar. Hari ini tepat hari jum'at, akad nikah Ammar dan Ayudia akan dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.

Keluarga Abah Ahmad sudah datang dari kemarin sore, tak banyak yang ikut bertandang ke kediaman Atuk Darmo. Bukan karena tak ingin, melainkan sulitnya medan yang dilalui membuat semua yang ingin ikut menyaksikan mengurungkan niat.

Dua mobil meluncur ke rumah Ayudia. Namun, hanya satu mobil yang bisa diajak menaiki perahu dan berperang dengan jalanan berlumpur. Mobil hitam milik Kyai Lutfi terpaksa ditinggalkan di rumah warga yang tak jauh dari dermaga penyeberangan.

Di dalam mobil Abah Ahmad telah berisi 6 anggota keluarga Abah. Sedang di mobil Kyai Lutfi beranggotakan Kyai Lutfi sendiri beserta istri dan Adam.

Mereka membutuhkan waktu 2 jam untuk menyeberangi lautan. Bersyukur cuaca siang menjelang sore kala itu mendung tanpa angin dan hujan. Sangat bersahabat, niscaya perjalanan laut pun tak terhambat apa pun.

Dari tempat pemberhentian perahu, rombongan harus kembali menempuh jalan terjal selama 3 jam. Sebenarnya jarak dari bibir laut ke rumah Ayudia hanya sekitar 15 kilometer. Namun, akibat ekstrimnya medan sehingga memakan waktu tempuh yang begitu lama.

Ammar dan rombongan bersinggah di rumah Pak Lik Yono yang berada di sebelah rumah Atuk. Terhalang kebun pisang, sehingga siapa saja yang hendak mencuri-curi pandang tak akan bisa.

Seperti Adam yang kala Maghrib tiba, bukannya mengikuti rombongan bertandang ke masjid. Adam justru celingukan mencari sosok cantik Ayudia.

"Ngapain celingak-celinguk, nyari apa kamu. Dam?" Suara Kyai Lutfi menginterupsi tindakan nekat Adam.

"Hehehe, ndak papa Yai," ucap Adam setengah malu.

Usai mendirikan salat Isya' berjamaah di masjid, semua bersiap untuk istirahat. Semua merasakan badan yang pegal-pegal, efek jalan susah dan uwel-uwelan di dalam mobil Abah Ahmad.

Ya, akhirnya mereka semua masuk ke dalam mobil Abah. Ketika sampai di bibir pantai, ternyata tukang ojek yang biasanya mangkal sudah kembali ke rumah masing-masing.

"Am, jangan lupa hafalkan lafaz akadmu," seru Abah Ahmad. Para pria tidur di ruang tamu termasuk sang pemilik rumah.

Sedang Umi Aida dan Ummi Sarah tidur di kamar.

Rombongan sama sekali belum menyambangi rumah Ayudia. Atuk bilang, pamali. Sehingga mereka tak ke sana.

Ammar hanya mengangguk kala Abah mengingatkan. Wajahnya tampak lesu dan sedih. Tak sedikit pun Ammar menunjukkan kegembiraan.

"Am, kalo masih ragu, biar aku aja yang gantikan kamu esok hari. Gimana?" Adam mengatakan itu dengan berbisik tepat di telinga Ammar. Dengan memainkan satu alisnya.

Sedalamnya hati Adam, ia benar-benar menyimpan rasa untuk Ayudia. Nyatanya Adam telah terbuai pesona anggun nan lugu seorang gadis desa seperti Ayudia.

Bhuk!

Suara keras tepakan telapak tangan Ammar ke punggung Adam mengalihkan perhatian para bapak-bapak yang sedang tiduran sembari berbincang.

"Kalian itu ngapain to, sudah besar masih aja kaya bocah." Abah Ahmad menegur keduanya.

"Adam, Bah ... ," jawab Ammar dengan suara nelangsa.

"Ammar dan Adam izin nyari angin di teras ya, Bah." Lanjut Ammar kemudian.

Abah mengangguk, beliau tahu Ammar membutuhkan waktu untuk menerima perjodohan tersebut. Ammar butuh teman untuk bercerita, Abah tak ingin menjadi orang tua yang terlalu keras. Beliau paham, pernikahan itu sudah membuat Ammar mungkin terpukul.

Akan tetapi, itulah yang terbaik menurut Abah. Abah mengenali Ayudia seperti mengenal keempat anaknya.

Meski tak sedekat dengan anaknya, karena Abah mengawasi Ayudia dari jauh.

Alasan Abah menjodohkan Ayudia dengan Ammar tak lain karena kesepakatan yang beliau buat dengan ayah Ayudia sekitar tiga belas tahun yang lalu.

Abah menjadi sedih ketika mengingat kebaikan sahabatnya tersebut.

"Mad, aku mau wakafin tanahku yang di sini untuk melebarkan pondok pesantrenmu," ucap Pak Jono kala itu.

"Loh, Jon. Apa kamu ndak mau bikin rumah di sana? Emangnya mau ikut Atuk sampai tua?" Abah bertanya.

"Ndak perlu, Mad. Aku dan Nilam sebentar lagi juga akan pulang. Ndak perlu bikin rumah di sini. Tapi aku minta sesuatu boleh ya, Mad."

"Lho, kenapa pulang? Kamu tinggal bagusin rumah geribik itu sedikit demi sedikit kan jadi, Jon. Sesuai apa yang kamu mau."

Pak Jono dengan mata berkaca-kaca mengungkap rasa sayangnya pada Ayudia putrinya semata wayang.

"Sudah waktunya. Aku minta tolong sesekali tengokin Dia ya, Mad."

"Maksud kamu apa to, Jon?" Abah Ahmad tak mengerti dengan ucapan Pak Jono yang ternyata merupakan wasiat terakhir beliau.

Setelah percakapan panjang siang itu, Pak Jono pergi dari Kampung Sandur bersama sang istri juga Ayudia. Sengaja Pak Jono tak berpamitan pada sahabatnya tersebut.

Di tengah perjalanan, bus yang mereka tumpangi terguling dan masuk ke dalam jurang.

Alhamdulillah, Ayudia selamat dalam kecelakaan maut itu. Dari sana, Abah memahami ungkapan Jono sahabatnya.

Abah Ahmad mengawasi Ayudia dari kejauhan. Beliau tak bisa memberikan penghidupan yang layak dan pendidikan yang tinggi.

Sebab, Atuk Darmo tak menginginkan hal seperti itu. Atuk Darmo tak ingin ada balas Budi semacam itu, toh Ayudia mampu meraih gelar sarjana meski tanpa bantuan Abah Ahmad.

Akan tetapi, untuk perjodohan, Atuk menerima dengan gembira. Atuk merasa kalau ia bersama sang istri tak akan mampu membersamai Ayudia sampai senja. Manusia memiliki batasan umur, sedang ia dan istri sudah memasuki usia lanjut. Tak bisa diperkirakan akan sampai kapan.

Atuk Darmo hanya memiliki keinginan sederhana, yaitu menikahkan Ayudia. Menyaksikan Ayudia berpindah tanggung jawab.

. .

Ammar duduk di teras rumah Pak Lik Yono, tanpa kursi dan tanpa alas.

Adam memperhatikan lekat wajah murung Muammar.

Ingin sekali Adam mengajukan kembali tawarannya untuk menggantikan posisi Ammar. Namun, sepertinya momennya tidak pas.

Ammar memandang langit yang gelap tanpa bulan dan bintang. Seperti hatinya yang gamang untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Bukan masalah pernikahannya, tetapi mempelai perempuannya. Ammar memandang Ayudia sebagai gadis biasa yang tak memiliki kelebihan apa pun untuk memikat hatinya.

"Dam, lomba sholawat putri kemarin siapa yang mendapat juara?" Tiba-tiba Ammar bertanya.

"Banyak, Am. Kan ada beberapa tingkatan," jawab Adam santai. Sebenarnya Adam sudah bisa menebak kemana arah perbincangan tersebut.

"Nur juara berapa?" Nah kan, benar dugaan Adam. Tujuan Ammar sebenarnya adalah Nur. Tapi ia harus berbasa-basi lebih dulu.

"Biasalah, Nur tetap sang juara."

Ammar menatap sang sahabat, ia sedikit menyunggingkan senyum. Hanya sedikit, seperti seringaian.

"Jelas lah, Dam. Pilihanku emang ndak pernah meleset kan?" Ammar membanggakan diri.

"Inget, Am. Ini malam terakhir sekaligus hari terakhir kamu memuji-muji cewek lain. Besok statusmu sudah menjadi suami Dia," tegas Adam, ada gurat kemarahan di wajahnya.

"Ya terserah aku to, Dam. Orang kenyataannya, Nur itu lebih dulu tak sebut namanya dibanding siapa tadi ... siapa yang kamu bilang?" Ammar berlagak lupa pada nama calon istrinya.

"Tak sumpahin ya, Am. Suatu saat kamu menyesal. Kalo nanti kamu nyakitin, Dia, jangan harap bisa memiliki hatinya. Kalo kamu kayak gitu, aku juga ndak punya larangan untuk mencintai Dia meskipun udah sah sama kamu." Setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan urat-urat leher yang menonjol, Adam masuk ke dalam.

Meninggalkan Ammar yang mematung guna mencerna semua kalimat yang diutarakan Adam.

"Apa Adam beneran jatuh cinta sama, Dia?" gumam Ammar dengan angin malam.

. .

Tidak seperti biasanya rumah Pak Lik Yono ramai di jam sepertiga malam.

Rombongan Abah seluruhnya telah bangun, menunaikan salat sunah.

Pak Lik Yono yang tak biasa dengan aktivitas tersebut, ikut terbangun dan mengambil air wudhu untuk ikut berjamaah.

Rumah Atuk Darmo sudah tampak beberapa ibu-ibu sibuk gelontengan di tenda belakang. Tenda yang diperuntukkan sebagai dapur. Meski tak ada acara besar, tetapi Atuk tetap mengundang seluruh warga untuk menyaksikan akad Ayudia. Sekaligus Atuk ingin menjamu tetangganya.

Akad direncanakan pagi hari pukul tujuh. Mau bagaimana lagi, rencananya Abah Ahmad akan langsung membawa Ayudia ke kediamannya.

Waktu berjalan begitu cepat, matahari merangkak naik menghangatkan penduduk bumi.

Setelah Kampung Kipyuh diguyur hujan selama tiga hari penuh, hari itu mentari benar-benar bertengger gagah.

Seperti didukung oleh alam, matahari yang terik tapi menyejukkan. Benar-benar aneh.

Semua sudah berkumpul di ruang tamu. Ada dua mempelai, wali, penghulu dan saksi.

Tak menunggu lama, karena semua sudah siap.

Ammar gugup, tangannya mendadak dingin. Lidahnya seperti kelu.

Ketika Atuk menyalami Ammar untuk mengucapkan akad nikah, Ammar justru terbengong.

Alhasil ijab qobul diulang kembali, sampai kali ke tiga baru Ammar lancar dan lantang mengucapkan.

"Alhamdulillah." Semua orang berucap syukur, tak terkecuali Ayudia.

Ayudia merasa dirinya adalah perempuan paling beruntung telah diperistri oleh seorang pria sempurna seperti Muammar.

Ayudia menyalami dengan hikmat tangan Ammar. Namun, sebelum punggung tangan Ammar menyentuh hidungnya, Ammar lebih dulu menarik. Ayudia sedikit terlonjak dengan sikap kasar yang Ammar tunjukkan.

Ammar mengibas desiran yang menyusup ke hatinya kala menatap wajah Ayudia secara gamblang.

Bersambung.

Ayudia, ayo semangat.. ini bukan akhir pencarian, namun awal perjuanganmu mencari cinta sejati.

Hai sahabat, terimakasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Didi Riyadi
Berharap ada kelanjutan dari cerita ayudia dan ammar
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
sedihny Ayudia....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status