Share

Kecewa sebelum jatuh cinta

Siang itu juga, selepas Salat Dzuhur rombongan Abah Ahmad berpamitan untuk kembali ke Sandur.

Tak lupa Abah Ahmad menyampaikan permohonan maaf dan rasa terima kasihnya kepada Atuk Darmo.

Abah Ahmad juga meminta izin untuk memboyong Ayudia ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.

Tangis haru serta bahagia pecah di gubuk sederhana Atuk Darmo. Lebih dari dua puluh tahun Ayudia hidup bahagia di sana, akhirnya tiba juga waktu untuk memisahkan diri.

Tentu kesedihan menusuk hingga sum-sum Ayudia. Tak tega meninggalkan dua manusia renta yang telah setia merawatnya hingga dewasa.

Ayudia menangis sepilu-pilunya, begitu juga Uti Dijah. Umi Aida mengelus sayang punggung Ayudia.

Kini, Ayudia benar-benar akan hijrah ke sana. Ia pun akan membantu mengajar di madrasah milik keluarga Ammar.

"Nak, Uti titip cucu Uti, ya. Nak Ammar tolong bimbing, Dia. Jangan pernah memarahi Dia ketika melakukan kesalahan. Beritahu saja baik-baik. Sekali lagi Uti titip Dia pada Nak Ammar. Tolong jagain Dia ya, Nak," ucap Uti dengan lelehan air mata.

Ammar hanya mengangguk, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Atuk Darmo juga menitipkan Ayudia pada keluarga Abah Ahmad.

"Dia pergi dulu ya, Ti. Uti baik-baik sama Atuk. Dia janji, akan ke sini sebulan sekali." Ayudia menghambur dalam pelukan hangat Atuk dan Uti.

Sampai hari itu, belum ada yang bisa menggantikan kehangatan pelukan Uti dan Atuk yang membawa Ayudia pada ketenangan.

Perpisahan tak diinginkan itu pun tiba. Uti Dijah yang tak kuat menahan kesedihan dituntun masuk ke dalam rumah oleh Pak Lik Yono.

Hal tersebut menambah nyeri ulu hati Ayudia. Umi Aida senantiasa merangkul tubuh Ayudia.

Kyai Lutfi yang mengemudi, Ammar serta Adam diantar ojek sampai tepi laut.

Masih seperti kemarin, jalanan berlumpur dan licin akibat genangan air yang belum surut. Ayudia dengan mata sembab dan bibir sedikit bengkak kemerahan tak berhenti menitikkan air mata.

Kebahagiaan pasca ijab kabul sirna begitu saja. Entah karena perpisahan itu atau karena hal lain, Ayudia tak memahami isi hatinya sendiri.

Bukankah sepatutnya ia menjadi perempuan paling bahagia seantero Pagar Emas? Namun, kenyataan itu tak semanis bayang-bayang yang selalu Ayudia khayalkan.

Sikap Ammar tak acuh. Pria tersebut begitu memperlihatkan ketidaksukaan pada Ayudia. Sekalipun tidak terucap, Ayudia sebagai orang baru cukup tersinggung dengan sikap tersebut.

Tepat pukul tiga sore, mereka sampai di dermaga. Ah bukan, melainkan pesisir pantai. Jika dermaga, tentu ada sebuah bangunan yang berdiri tegak dan memiliki fungsi untuk merapatkan kapal yang akan menaik-turunkan penumpang. Sedangkan di sana, hanya menggunakan peralatan sederhana yang semua terbuat dari kayu.

Jembatan untuk naik kendaraan roda empat juga terbuat dari kayu. Desa terpencil di sana sama sekali belum terjamah pemerintah. Meski berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan, tak serta merta membuat akses jalan ke sana nyaman dan aman.

Ayudia menyampirkan selendangnya ke bahu. Selendang yang berfungsi sebagai hijab itu sedikit basah terkena cipratan air laut.

Wajah manisnya hanya menunduk, ia merasa asing dengan keluarga baru.

Apalagi penampilan Ayudia yang jauh dari kata syar'i. Beda sekali dengan Umi Aida, Ummi Sarah, Fatma maupun Najma. Mereka wanita solihah. Ayudia merasa kecil.

"Mbak Dia," panggil Fatma.

Dengan gerakan cepat, Ayudia mengangkat wajah.

Cekrek!

Satu jepretan berhasil Fatma curi. Meski dalam sikap tak siap untuk diambil gambarnya, tetapi Ayudia tetap menawan. Ya, ia manis dari lahir.

Fatma memang agak jail dan suka iseng. Gadis tersebut begitu klop dengan pemuda yang bernama Adam. Bisa dikatakan best sohib.

Para orang tua menaiki perahu bersama mobil yang dibawa. Sedangkan anak-anak juga pengantin baru menumpang di perahu yang lebih kecil kapasitasnya.

"Fatma, kamu apa-apaan sih. Ndak sopan tau. Hapus dan minta maaf sama Mbak Dia," perintah Najma.

"Orang Kak Adam yang suruh kok," elak Fatma.

"Nih. Gara-gara Kak Adam, Fatma jadi dimarah Kak Najma kan." Fatma menyerahkan ponsel milik Adam dengan cemberut.

Adam nyengir.

Ayudia sendiri tak menunjukkan reaksi berarti. Usai wajahnya ditembak kamera, ia kembali menunduk.

Ammar menyorot tajam pria yang menggoda istrinya.

Bukan karena cemburu, melainkan kewajiban Ammar melindungi Ayudia dari mata genit.

Ammar meyakinkan dirinya bahwa ia tak secuil pun tertarik pada gadis itu.

"Mas Ammar pindah sini aja, samping Mbak Dia. Aku bisa pindah di sebelah Muha dan Fatma. Kasihan Mbak Dia," ujar Najma.

Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Kelakuan Ammar membuat Adam geram. Adam merebut ponsel yang menjadi fokus Ammar. Pria tersebut bermain sosial media, sibuk berbalas komentar pada foto Nur yang baru saja diunggah.

"Am, kamu punya telinga kan? Apa sekarang kamu sudah berubah menjadi tuli? Sampai Najma bicara, kamu ndak jawab sama sekali!" Sarkas Adam, ia tak mau lembut-lembut lagi jika itu berurusan dengan Ayudia.

Adam tak ingin membohongi hati, pada kenyataannya ia memang jatuh cinta pada paras dan marwah Ayudia. Adam paham betul jika itu sebuah kesalahan. Maka dari itu, Adam sekeras mungkin untuk menyimpan perasaan tersebut.

Akan tetapi, Adam tetap berdo'a pada Sang Pemilik Hati. Jika diberi kesempatan, Adam hanya ingin menghabiskan hidupnya bersama Ayudia. Itu doa yang selalu Adam panjatkan disela-sela kejengkelannya dengan Ammar.

"Kamu kenapa si, Dam?" ketus Ammar tanpa dosa.

Belum apa-apa, Ayudia sudah dihantam kekecewaan. Ia tak ingin berdoa apa pun. Gadis itu menyadari siapa dirinya.

Sebelum terlanjur hatinya jatuh pada pesona Ammar, Ayudia harus lebih dahulu membentengi. Ya, cara Ayudia untuk tak jatuh cinta pada pesona Ammar adalah menolak bertemu tatap dengan pria itu.

Bukan sulit bagi Ayudia untuk jatuh cinta pada Ammar, sebelumnya Ayudia telah mengagumi sosok pria tampan tersebut. Namun, kini semua kekaguman Ayudia pada Ammar menguar sia-sia.

Hening, tak ada lagi obrolan di antara manusia di sana. Muha yang masih berumur tiga belas tahun tertidur pulas dengan bersandar di bahu Fatma sang Kakak.

"Alhamdulillah sampai," ucap syukur Najma kala mereka menapakkan kaki di dataran.

Najma setia menggandeng jemari Kakak iparnya yang terasa dingin. Najma merasa iba pada Ayudia karena perlakuan buruk sang Kakak. Mereka memasuki mobil milik Abah. Di mobil tersebut benar-benar hanya terisi keluarga inti.

Abah yang mengemudi, sedang Ayudia duduk di jok tengah tepat belakang kemudi. Ammar dipaksa mendampingi perempuan tersebut. Ketiga adik Ammar duduk di jok bagian belakang.

Untuk mengisi kekosongan dan kepedihan yang masih Ayudia rasakan, ia membuka ponsel. Ponsel sederhana yang ia beli dari hasil menabung satu tahun.

Ayudia membuka beberapa pesan dari teman-teman seprofesinya. Mereka mengucapkan selamat pada Ayudia yang dipersunting pria sesempurna Muammar pewaris Ponpes Asmaul Husna.

Sangat disayangkan, sanjungan tersebut tak memiliki kebenaran.

Ayudia menggigit kuat bibirnya, ia sudah tak tahan ingin meraung-raung. Namun, itu tidak mungkin.

Mobil yang sudah menggunakan pendingin itu terasa panas bagi Ayudia. Kenyamanan yang keluarga terhormat itu tawarkan tak membuat hati Ayudia bersorak-sorai.

Umi yang biasa ramah, mungkin karena kelelahan beliau terlelap pulas.

Ayudia tak sekalipun berani melirik ke samping, ia mempertahankan dirinya agar tetap menunduk.

Klunting ... .

Bunyi ponsel Ayudia cukup menyita perhatian Ammar. Satu pesan masuk ke nomor Ayudia dari kontak baru.

Ayudia membuka pesan tersebut. Tanpa sepengetahuan gadis itu, Ammar menjulurkan lehernya untuk melihat isi pesan di layar ponsel milik Ayudia.

[Dia, kamu yang sabar ya. Semoga Allah meluluhkan hati Ammar. Jangan pernah bersedih, Allah senantiasa menjagamu. Jangan sungkan untuk meminta bantuan ku jika kamu dalam kesulitan. Adam]

Dalam penggalan kalimat pesan tersebut, berakhir dengan identitas pengirim. Ayudia pun membalas pesan itu dengan ucapan terima kasih.

"Dasar gadis genit, ndak punya harga diri. Jelas-jelas sudah bersuami, masih saja membalas pesan lelaki lain," ucap Ammar pelan.

Gumaman pedas itu masih jelas terekam oleh telinga Ayudia yang normal. Gadis tersebut enggan membela diri, ia hanya mampu meneteskan air mata.

Ayudia sedih, sakit hati, kecewa ... semua rasa kesal tumbuh sebelum cinta bersemi.

Bersambung.

"Ndak usah, Najma," lirih Ayudia yang mampu di dengar oleh Najma seorang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
hug for ayudia....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status