Share

Asing

Mobil putih dengan variasi ban off-road berbelok ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.

Para santri terlihat membungkuk hormat kala mobil itu melewati gerbang menuju tempat parkir. Mereka sudah sangat hafal siapa pemiliknya, meski sang empunya tak membuka kaca jendela.

"Alhamdulillah sudah sampai, Dia," seru Abah pada Ayudia, membangunkan tidur nyaman Umi Aida.

"Iya Bah, Alhamdulillah," jawab Ayudia.

Umi Aida mengedip beberapa kali, lalu bergerak membenarkan posisi duduknya. Umi Aida juga mengusap wajah. Mungkin takut kalau ada kotoran mata maupun air liur yang tertinggal di sana.

"Sudah sampai, Bah?" tanya Umi setelah sadar sepenuhnya.

"Sudah, Mi. Ayo turun, pasti Nak Dia sudah lelah dan pengen istirahat."

"Iya iya, ayo Am, ajak Nak Dia," ujar Umi Aida.

"Iya, Mi."

Akan tetapi, itu hanya jawaban yang keluar dari mulut Ammar, nyatanya begitu turun dari mobil, Ammar berjalan sendiri tanpa beban masuk ke rumahnya. Ayudia berdiri diam, menggendong ransel hitam berisi baju-baju miliknya.

Sedangkan, Abah Ahmad dan Umi Aida sudah mendahului menantu dan anak-anak. Waktu di pergelangan tangan Abah, sudah pukul setengah empat sore. Azan juga tengah dikumandangkan oleh santri, sehingga Abah dan Umi tak bisa menunggu anak-anak turun dan berjalan bersama menuju rumah.

Abah serta Umi cepat-cepat masuk ke rumah, guna mengambil sajadah dan mukena untuk menunaikan salat berjamaah di masjid.

"Ayo, Mbak Dia. Sini, tasnya biar Fatma bawakan." Fatma meminta ransel yang Ayudia gendong.

Beruntungnya Ayudia memiliki adik-adik ipar yang perhatian. Ayudia sedikit mengulas senyum, lalu menggeleng.

"Ndak usah Dek, biar Mbak bawa sendiri."

"Ya udah, ayo masuk Mbak." Najma menggandeng tangan Ayudia.

Ammar juga Muha sudah lebih dulu masuk. Ayudia hanya mengikuti.

Jika boleh, Ayudia ingin pulang saja. Ia merasa asing di sana, apalagi suaminya sendiri pun tak memperlakukannya dengan baik.

"Mbak Dia, kamar Mas Ammar yang ini. Mbak Dia masuk saja, istirahat di dalam. Kalau mau mandi, di dalam juga ada, Mbak. Najma juga mau mandi, ba'da Asar mau ngaji." Najma menunjukkan kamar paling depan.

Fatma juga sudah masuk ke kamar. Kini Ayudia berdiri di ruang tamu sendirian. Pintu kamar Ammar memang berada di ruang tamu, sehingga jika ada acara apa pun, sulit untuk masuk atau keluar kamar tersebut.

"Dia ingin pulang, Ti," gumam Ayudia.

"Dia ndak mau di sini."

Gadis itu menitikkan air mata. Karena merasa lelah, ia duduk di sofa berwarna merah bergambar kembang.

Bingung hendak melakukan apa, Ayudia membuka resleting tas cangklongnya. Mengambil ponsel, membuka galeri. Napasnya justru semakin berat kala melihat ratusan foto anak-anak didiknya.

Belum juga genap dua puluh empat jam, Ayudia sudah merindukan mereka. Lama kelamaan, air matanya semakin deras berjatuhan.

"Uti ... ." lirihnya hampir seperti tak terucap. Lima sekon kemudian, mata belok Ayudia meredup.

Gadis itu tertidur di sofa dengan ponsel di tangan.

"Assalamualaikum."

Tak ada jawaban dari dalam, Umi pun segera masuk. Umi sangat kaget melihat menantunya tertidur di sofa.

"Astagfirullah," pekik Umi Aida.

"Ammar, Am ... buka pintunya!" Umi lalu menggedor pintu kamar Ammar yang terkunci dari dalam.

"Ada apa, Mi?" tanya Ammar ketika sudah berada di depan pintu. Pria itu terlihat mengucek kedua mata.

"Astaghfirullah ... Am. Umi ndak pernah ngajarin kamu memperlakukan istri seperti itu. Kamu lihat di sana! Lihat itu. Dia tertidur di sofa karena terlalu lelah. Kamu ndak lupa kan, kalau Dia adalah istrimu?"

"Maaf, Mi, Ammar ndak tahu."

"Kamu beneran ndak tahu, atau ndak mau tahu? Bawa masuk Dia ke kamar!"

Ammar serta merta melangkah ke tempat di mana Ayudia sedang tertidur dengan tenang. Ammar menepuk lengan Ayudia beberapa kali. Namun, tak sampai membangunkan Ayudia, Umi Aida kembali menegur tindakan Ammar tersebut.

"Jangan dibangunkan, kasihan," kata Umi.

"Lalu bagaimana Ammar bisa membawa Dia masuk, Mi?"

Entah polos atau memang sok bodoh. Ammar seolah tak mengetahui apa gerangan yang bisa ia perbuat untuk memindahkan tubuh terkapar Ayudia.

Kamu sudah besar, Am ... begitu saja ndak tahu.

Ingin sekali Umi mengatakan hal itu, tetapi yang dilakukan hanyalah menggeleng-gelengkan kepala heran dengan anak bujangnya. Kemudian memilih memberi saran untuk Ammar agar menggendong Ayudia masuk ke kamar.

Ammar diam sesaat di hadapan Ayudia yang terpejam. Tangannya beberapa kali terulur dan ia urungkan kembali. Sampai yang keempat kali, akhirnya Ammar berhasil meraih tubuh Ayudia.

Seeett!

Ammar menyaruk tubuh perempuan itu.

Ayudia memiliki tinggi 160 cm, diikuti berat badan 50 kg. Bukankah itu merupakan berat badan ideal yang diimpikan setiap perempuan? Terutama untuk para gadis. Ayudia tak perlu kepayahan mengontrol makanan yang masuk ke tubuhnya untuk menjaga berat badan. Mau makan apa pun, berat badannya tetap di angka 50. Jika naik pun hanya lebih satu atau dua angka di atasnya.

Lumayan pegal di lengan Ammar membawa Ayudia.

Ammar merasakan respon aneh 

pada tubuhnya saat ia menggendong Ayudia. Kala ia memerhatikan lekat detail wajah gadis tersebut.

Hanya beberapa sekon, lalu ia tepis pandangan dengan mengibas tangan ke depan wajah.

Ammar menjatuhkan tubuh Ayudia sedikit kasar, tujuannya agar gadis itu kaget dan terbangun.

Akan tetapi, Ayudia tak terusik sama sekali. Dengan rasa kesal, Ammar melempar tas ransel berisi baju ke lantai di samping ranjang. Ponsel Ayudia ia letakkan di meja. Lepas itu, Ammar ke mushola yang terletak di bagian belakang.

Umi sibuk memasak untuk makan malam, ditemani Ammar yang hendak menyeduh kopi hitam. Najma, Fatma juga Muha sudah berangkat mengaji.

Biasanya, sore hari ketika sedang masak, ada saja santri yang datang berniat membantu. Yang tak pernah absen adalah Nur. Gadis sempurna di mata Muammar.

Sudah pukul lima sore, Umi selesai menyiangi sayuran.

"Assalamualaikum, Umi," ucap seorang gadis yang berdiri di depan pintu dapur, menunggu dipersilakan masuk.

"Walaikumsalam. Eh, Nur? Sini masuk," kata Umi.

Nur dengan semangat, masuk ke dapur. Karena sudah biasa membantu Umi masak, Nur tak kebingungan dengan aktivitas di sana. Nur juga sudah paham tata letak perkakas dapur yang biasa dipakai memasak.

Umi menatap lekat wajah Nur. Ada yang berbeda dengan gadis itu.

"Nur, Umi ndak larang kamu untuk memakai perias wajah, tetapi ... alangkah baiknya, kalau merias diri cukup di dalam rumah. Jangan biarkan dirimu menjadi pusat perhatian semua lelaki ya, Nur." Umi memberi nasihat.

Umi tak tahu apa tujuan Nur melakukan itu. Yang Umi yakin, Nur sudah tahu hukum bersolek di depan umum. Beruntung, karena Ammar sudah tak di sana. Entah kemana perginya anak sulung Umi Aida membawa secangkir kopi.

Di dalam kamar bagian depan, Ayudia menggeliat. Sebelum akhirnya mengucek mata dan bangun dengan mata lebar.

"Loh, Dia ada di mana ini?" kata Ayudia yang agak lupa akibat nyawanya masih terkumpul setengah.

Ayudia beranjak, membuka pintu lalu keluar. Mengetahui ruang tamu beserta beberapa figura yang terpajang di bufet, membuat gadis itu ingat status barunya.

Rambut panjangnya tergerai begitu saja. Karet yang ia pakai untuk menguncir, entah jatuh di mana. Selendang yang ia pakai juga tergeletak di ranjang.

Ayudia berpikir. Siapa yang memindahkannya ke dalam kamar.

Kembali bingung dengan keadaan tersebut, Ayudia berdiri mematung di depan pintu kamar. Ingin berjalan ke belakang, tetapi ia takut jika itu salah. Ayudia belum dikenalkan dengan ruangan-ruangan di rumah tersebut, sehingga membuatnya merasa canggung untuk melakukan apa pun.

"Eh, Nak Dia sudah bangun?" tanya Umi agak keras, karena jarak antara dapur dan ruang tamu cukup jauh.

Pintu depan ke arah dapur di buat sejajar, tegak lurus. Namun, pintu keluar di dapur terletak pada bagian samping, sehingga tidak menyalahi aturan yang dipantang orang tua dulu. Katanya - kalau membuat pintu depan selaras sampai pintu keluar dari dapur, pamali - rejekinya akan habis terus tanpa bisa menabung.

"Sudah, Mi."

"Ya sudah, mandi saja dulu. Mandi saja di dalam. Setelah itu kita makan bersama sebelum Maghrib."

Ayudia mengangguk, lalu kembali masuk ke kamar.

Lima belas menit kemudian, Ayudia keluar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka berbarengan dengan pintu kamar yang dibuka oleh Ammar.

Ayudia kaget karena tatapannya bertemu mata Ammar. Lalu ia kembali menunduk.

"Cepat keluar. Umi dah nunggu di meja makan!" perintah Ammar bernada ketus.

Ayudia mengambil selendang lain dari ranselnya. Menyampirkan di kepala, lalu keluar.

"Sini-sini. Nak Dia duduk di sini aja, sebelah Ammar."

Abah Ahmad menarikkan kursi untuk Ayudia.

"Ndak usah, Bah. Dia bisa sendiri, Abah ndak perlu begini."

"Sudah, ndak papa."

Ayudia duduk di sana, Umi sedang mengambil cerek berisi air bening hasil rebusan sendiri. Meja makan besar itu cukup untuk makan orang delapan.

Najma duduk di hadapan Ammar, sebelahnya sudah ada Fatma. Muha berhadapan lurus dengan Abah. Sedang Ayudia berhadapan dengan Umi.

Kursi di samping kanan Ammar, kosong tak berpenghuni.

Muha memimpin doa sebelum makan, selanjutnya mereka makan bersama. Ayudia jadi teringat momen-momen manis seperti itu di gubuk reyot Atuk.

Meski mereka tak makan di meja makan yang terbuat dari kayu jati terbaik, tetapi Ayudia lebih bahagia di sana.

Makanan yang Ayudia telan, terasa sangat hambar. Bukan karena Umi kurang menambah garam pada masakannya. Namun, karena Ayudia tak berhasil menciptakan kegembiraan dalam dirinya.

Lima belas menit berlalu, makan sore itu selesai.

Abah menaruh gelas belimbing yang airnya sudah masuk kerongkongan.

"Nak Dia, mulai besok, Nak Dia bisa ikut mengajar di MI Asmaul Husna. Nak Dia mau kan?" kata Abah.

"Dia mau, Bah," jawab Ayudia antusias.

Dalam hati Ayudia bergembira, karena artinya ia tak akan lagi kesepian melalui hari-hari kaku dengan Muammar sang suami.

* *

Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote, like, dan komen.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status