Share

Penolakan Ammar

Malam hari, Abah baru sampai di rumah. Butuh perjuangan untuk bertandang ke rumah Atuk Darmo. Kampung Kipyuh merupakan desa tertinggal di Kabupaten Pagar Emas. Kampung tersebut memisahkan diri dengan desa lain. Kipyuh berada di kepulauan sendiri, tetapi masih mengikut dengan Kabupaten Pagar Emas.

Untuk sampai di sana, seseorang harus menaiki perahu. Jika membawa kendaraan sendiri, maka kendaraannya harus ikut naik. Kendaraan yang bisa dibawa pun harus kendaraan yang memiliki roda gunung. Ya, ban yang dipakai khusus. 

Tidak ada akses jalan lain menuju ke sana. Satu-satunya cara ya menyeberangi lautan. Sekitar 2-3 jam dalam perahu.

Belum ada penerangan dari pemerintah, jalan pun masih tanah. Kalau hujan akan menjadi jalan berlumpur yang sulit dilalui.

"Assalamu'alaikum," ucap Abah dan Umi bersamaan.

"W*'alaikum salam." Ammar menyahut dari dalam kamar, kemudian ia keluar.

Tak perlu membukakan pintu, karena pintu memang tak pernah tertutup jika belum larut malam.

Momen yang tepat untuk berbicara serius dengan anak sulungnya. Abah meminta Ammar untuk menunggu sebentar. Abah berlalu untuk membersihkan diri.

Tak lama, Umi keluar membawa nampan berisi pisang goreng dan dua gelas kopi hitam. Abah dan Ammar sangat hobi dengan minuman berkafein tersebut.

Ammar mengukir senyum lebar. Tampak kebahagiaan sedang merajai hatinya.

Abah menyusul keluar, membawa ponsel pintar yang telah diisi dengan foto calon menantu.

"Abah mau ngomong, apa?" tanya Ammar sambil menyomot pisang goreng di piring.

"Mau ngomongin pernikahan, kamu." Celetuk Abah.

"Uhuk-uhuk." Ammar tersedak pisang goreng. Umi menepuk pelan punggung putranya, lalu menyodorkan segelas kopi milik Ammar.

"Sudah? Pelan-pelan kalo makan, jangan lupa bismillah dulu." Umi mengingatkan.

Ammar mengangguk, ia kembali menatap Abah dengan serius.

"Maksud, Abah, apa? Ammar ndak ngerti. Menikah dengan siapa? Ammar kan belum ta'aruf dengan, Nur," ucap Ammar santai.

Ammar sempat mengatakan jika dirinya mengagumi seorang santri yang bernama Nur. Santri yang merupakan teman dari adik pertamanya Najma.

"Ndak perlu ta'aruf, Abah akan langsung menikahkan kamu dengan Ayudia."

Ammar menautkan kedua alisnya, ia sangat asing dengan nama itu. Bahkan belum pernah mendengarnya.

"Ayudia? Santri darimana, Bah?"

"Ayudia bukan santri, tapi Abah jamin kalau dia perempuan baik dan bernasab jelas," jawab Abah datar.

"Tapi, Bah? Nur juga jelas nasabnya, Nur sudah terbukti perempuan soliha. Dia santri di sini."

"Manusia ndak berhak menilai seseorang dari ilmu agamanya, atau dari penampilannya. Ukuran akhlaq itu, di sini." Abah menunjuk ke dadanya.

Ammar diam, ia kehabisan kata-kata mencari alasan untuk menolak.

"Nih, kamu lihat fotonya. Abah mengundang, Ayudia kemari esok lusa. Jadi, Abah harap kamu ndak kemana-mana." Setelah mengucapkan itu, Abah meninggalkan ruangan keluarga dan menghambur keluar menuju masjid.

"Mi, Umi setuju? Dia bahkan bukan perempuan berhijab, Mi? Darimana Abah tahu kalau dia perempuan baik?" Ammar bertanya pada Umi Aida.

"Suatu saat kamu akan tahu, Nak. Umi juga setuju dengan pendapat Abahmu. Kamu ndak boleh menilai orang dari luarnya. Bahkan, apel yang dibungkus rapat dan dijual mahal, masih bisa busuk." Ammar mati kutu, ia tak mendapat dukungan dari siapa saja.

Adik-adiknya? Tentu saja pendapat mereka tak akan didengar. Lalu, Ammar akan mengadu pada siapa?

Ammar menyusul Abah ke masjid, di tengah perjalanan menuju masjid, Ammar bertemu Kyai Lutfi. Salah satu adik Abah Ahmad yang ikut membantu mengurus Pondok Pesantren Asmaul Husna.

"Apa aku cerita aja sama, Yai Lutfi, ya?" gumam Ammar.

"Eh, Ammar. Wah, sepertinya wajahmu sedang cerah? Apa karena, Abah sudah mengkhitbah seorang gadis cantik, untukmu?" seru Kyai Lutfi.

Ammar yang hendak berucap, menelan pahit semua kalimatnya.

"Yai Lutfi, tahu darimana?"

"Ya dari, Abah. Tadi pagi Abah pamitan sama saya dan yang lain."

Yang lain? Siapa lagi? Ammar tak habis pikir, ternyata kabar pernikahannya menyebar dengan cepat. Bahkan sebelum ia tahu.

"Dia bukan perempuan soliha, Yai. Nyatanya ... dia ndak menutup aurat dengan sempurna," ucap Ammar dengan nada kesal.

"Nah, itu tantanganmu. Bagaimana caranya kamu membawa dia menuju kebaikan. Paman yakin, pilihan Abah, yang terbaik. Walaupun dia ndak berhijab, bukan berarti dia ndak baik. Kamu harus ikhlas menerima takdir, bersyukur karena Abah mau capek-capek menyambangi gadis itu ke desa terpencil." Kiyai Lutfi menepuk-nepuk pundak Ammar dengan pelan.

Ammar melihat sekelebat Abahnya keluar masjid, berjalan menuju ke arahnya. Kyai Lutfi sudah pergi.

Ammar menyalami Abah. "Bah, Ammar ndak mau menikah dengan perempuan itu. Ammar ndak cinta, Bah. Ammar mau menikah dengan, Nur, saja."

Abah Ahmad tetap berjalan, tak berhenti meski Ammar mengucapkan banyak kalimat.

"Sekarang kamu memang menolak, suatu saat, pasti akan jatuh cinta juga," ucap Abah.

"Dia perempuan terbaik pilihan Abah." Lanjut Abah.

"Tapi, Bah? Dia bukan perempuan soliha." Lagi, Ammar terlalu merendahkan marwah Ayudia.

"Ayudia bukan perempuan seperti santri di sini, itu memang benar. tapi ... kalau kamu menilai buruk Ayudia, suatu saat kamu akan menyesal."

Ammar bungkam dengan kalimat Abah. Ia berhenti mengikuti langkah Abah. Ammar takut dimurkai malaikat karena berani melawan orang tua. Dengan berat hati, ia menerima perjodohan itu.

Ia pun membuka ponsel, mencoba melihat ulang foto yang Abah kirimkan.

Hanya sekilas, tidak ada menariknya di mata Ammar. Ketika Ammar akan menutup galeri, ponselnya dirampas oleh Adam.

"Wow, cantik banget ... siapa gadis ini?" ujar Adam.

"Cantik darimana, ndak ada manisnya sama sekali, iya."

"Jadi, ini yang mau Abah jodohin sama kamu, Am?" tanya Adam.

"Kamu juga tahu, Dam? Aku jelas pilih, Nur."

"Kalo kamu ndak mau, biar aku aja yang nikahin." Tukas Adam tanpa penyaringan.

"Heh, ngawur kamu, Dam. Bisa ngamuk, Abah sama Umi."

"La kamu lho, Am, udah dipilihan sama Abah dan Umi, masih ndak terima juga. Cobalah bersyukur. Nanti kalo kamu beneran ndak mau, biar aku yang ngomong ke Abah."

"Jangan cari gara-gara kamu, Dam." Ammar merebut ponsel yang masih di genggam Adam. Lalu ia pergi dengan amarah.

"Hey, Ammar! Jangan marah, gitu aja marah!" teriak Adam yang tak mendapat jawaban dari Ammar.

Ammar masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Ia kembali membuka ponsel, kali ini ia berselancar di sosial media miliknya. Untuk apa lagi, tentu saja untuk melihat aktivitas bersosial media Nur sang gadis yang ia kagumi.

Nur merupakan gadis yang usianya lebih muda dari Ayudia, 21 tahun.

Gadis tersebut mengabdi di pondok pesantren seperti Adam. 

Di sosial media milik Nur, banyak sekali foto selfi dirinya sendiri. Dengan berbagai pose, Nur aktif mengirim sebuah foto setiap harinya. Jelas, foto yang menampakkan wajah ayu Nur.

Ammar kemudian mengunggah satu foto yang memiliki tulisan indah. Tulisan yang bisa menggambarkan isi hatinya saat itu.

Ting!

Pemberitahuan love pertama dari akun bernama Ayudia Prasasti.

Seketika, mata Ammar melebar. Ia melacak akun itu. Ayudia telah mengikuti sosial media miliknya. Ammar menilik sosial media milik Ayudia, beruntung akun gadis itu tidak diprivat.

Hanya ada satu foto di dalamnya. Itu pun, foto sama dengan yang Abah kirim ke ponselnya.

Lebih banyak foto anak-anak kecil dengan berbagai aktivitas. Ammar yakin, jika itu adalah Ayudia yang sama. Gadis yang kini sedang digadang-gadang akan menjadi istrinya.

"Dasar gadis aneh. Bukannya memajang fotonya sendiri, malah pajang foto anak-anak. Ah, jangan-jangan ... dia janda!" Prasangka buruk mengusik pikiran Ammar.

Ayudia yang aneh, atau Ammar yang kelewat aneh, ya??

Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status