"Mas mohon, Lun. Jangan tinggalkan, Mas. Mas benar-benar mencintaimu. Mas menikahinya hanya karena tanggung jawab. Demi Tuhan, Mas tidak pernah menyentuhnya!" Mas Rayan memandangku sendu.
Mas Rayan tidak mau melepaskan tangannya dari tanganku. Aku sudah berusaha, tapi tenaganya jauh lebih besar.
"Omong kosong. Mana ada udah nikah berbulan-bulan tapi tidak pernah disentuh. Kebohongan apalagi yang kamu buat, Mas? Drama apa lagi yang sedang kamu rencanakan?" Aku memandangnya dengan tatapan menghujam.
"Aku berani bersumpah. Aku masih suci dan belum pernah menyentuhnya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kuinginkan. Bukan yang lain." Mas Rayan terus mengiba. Namun, hatiku terlanjur sakit dengan pengakuannya. Apa pun yang dikatakannya, aku sudah sulit untuk mempercayainya lagi. Dan bagiku, tetap saja ia kini sudah berstatus suami orang, meski suamiku juga.
"Kenapa kamu sembunyikan semua ini dariku, Mas? Kenapa?" Lagi-lagi aku berteriak. Tak mampu meredam gejolak amarah yang menggelegak di dada.
"Aku tidak mau kehilanganmu, Lun. Tidak mau. Sekian lama kita bersama, dan itu membuat cintaku padamu semakin bertambah. Apa kamu tidak ingat perjuangan kita selama dua tahun merajut kasih?"
"Semuanya omong kosong. Kamu tidak akan menyakitiku sedalam ini kalau Mas benar-benar mencintaiku. Dan apa kamu bilang? Aku tidak ingat perjuangan kita? Justru itu kamu Mas. Kamu yang sudah merusak semuanya!" Aku menekan dadanya kuat dengan telunjukku.
Aku kembali terduduk lesu. Buliran bening kembali tumpah berdesakan membasahi pipi. Sakit. Perih tak terperi. Tangan Mas Rayan pun perlahan mengendur hingga akhirnya terlepas.
"Maafkan Mas, Lun. Maafkan Mas jika terpaksa harus menyembunyikan ini darimu. Izinkan Mas menebus semua kesalahan ini dengan membahagiakanmu. Menjadi suami yang akan selalu di sampingmu." Mas Rayan ikut kembali terduduk. Tubuhnya ikut berguncang hebat.
"Lalu wanita itu?" Aku tersenyum mengejek. "Apa Mas akan membuangnya begitu saja?"
Mas Rayan mengalihkan tatapannya. Ia gelagapan. Hatiku semakin mencelos.
"Sekarang jawab aku. Mas pilih aku atau wanita itu?" Aku kembali menyudutkannya dengan pertanyaan.
Lagi ia semakin gelagapan. Matanya tak berani menatap mataku.
"Dengan bungkam seperti ini, aku sudah cukup tau jawabanmu, Mas. Siapa sebenarnya yang lebih berarti dalam hidup, Mas!" Aku berkata dengan bibir bergetar. Hatiku sakit seakan tercabik.
"Tidak. Tidak seperti itu maksud, Mas. Tentu saja Mas pilih kamu. Hanya saja, berikan Mas waktu untuk menyelesaikan semuanya." Mas Rayan beringsut. Kembali mencoba menggenggam tanganku.
"Sayangnya, hatiku terlanjur patah, Mas. Aku tidak mau lagi melanjutkan pernikahan kita. Aku menyerah," jawabku dengan sangat pelan. Menahan perihnya hujaman di dada.
Aku mencoba kembali bangkit meski lutut masih begitu lemas. Melangkahkan kaki hendak menuju pintu.
"Lun, please. Beri Mas kesempatan." Mas Rayan menghampiri. Menghalangi jalanku.
"Biarkan aku pergi, Mas. Dan kembalilah pada istri pertamamu. Tolong. Itu pun kalau Mas benar mencintaiku." Aku melipat tangan di dada. Tanda memohon.
"Tapi kamu mau ke mana malam-malam seperti ini? Biar Mas antar. Mas khawatir." Mas Rayan masih berdiri di depan pintu keluar. Wajahnya memang memancarkan kekhawatiran sekaligus luka.
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata.
"Aku sudah dewasa, Mas. Aku bisa jaga diriku sendiri. Jadi tolong menyingkir lah! Jangan biarkan aku terus tersiksa dengan keadaan seperti ini!"
"Baiklah jika ini keputusanmu. Aku membiarkanmu pergi bukan karena melepaskanmu. Bukan juga karena menyerah. Hanya memberimu sedikit waktu dan ruang untuk lebih tenang."
Perlahan tubuh kekar Mas Rayan bergeser dari pintu. Tatapannya layu selayu hatiku.
"Aku akan selalu menunggumu," ucapnya saat aku membuka handel pintu. Aku menoleh. Rasa iba sedikit menyerang dalam dada. Namun, segera aku melanjutkan langkah. Keluar dan tak menghiraukan ucapannya.
Tangisku kembali pecah saat aku sudah di luar kamar. Berjalan gontai menyusuri koridor hotel tempat kami mengadakan resepsi pernikahan mewah tadi siang.
Masih terbayang dengan jelas kebahagiaan yang terpancar dari wajah kami berdua kala di pelaminan tadi. Semua orang riuh bertepuk tangan menyaksikan keromantisan kami. Siapa sangka semuanya akan berakhir tragis seperti ini.
Aku terus berjalan dengan air mata mengucur deras. Tak kuhiraukan tatapan heran orang-orang yang sempat berpapasan denganku.
Sampai di pelataran hotel, aku sempat dilanda kebingungan. Ke mana aku akan pergi malam ini? Ke rumah orang tuaku pun tak mungkin. Mereka begitu bahagia dengan pernikahan putrinya ini. Tak tega rasanya menghancurkan perasaan keduanya. Putri yang baru saja melangsungkan akad nikah pulang malam-malam tanpa ditemani suaminya. Bagaimana pula tanggapan tetangga dan lainnya.
Pergi ke rumah ibu mertua pun sama mustahilnya. Dia pasti kecewa berat dengan apa yang sudah dilakukan putra kesayangannya itu. Atau justru, ibu mertua pun sudah mengetahuinya? Ah, rasanya tak mungkin mengingat begitu antusiasnya ia menjelang hari pernikahan kami.
Aku duduk sejenak di dekat pancuran yang airnya senantiasa mengalir. Mengistirahatkan kakiku yang masih gemetar.
Tiba-tiba saja otakku langsung tertuju pada seseorang. Segera aku mengambil gawai dari tas. Lalu memesan ojeg online. Tak sampai menunggu lama, driver itu sudah sampai di hadapanku.
Setelah memakai helm, motor matic berwana hitam merah itu meluncur menuju tempat yang kutuju.
Aku sempat berbalik. Menatap bangunan hotel yang menjulang tinggi tempat kami harusnya menghabiskan malam romantis malam ini. Hingga motor yang kutumpangi melesat semakin jauh membuat hotel itu tak terlihat lagi.
Ditemani hembusan angin malam yang menyapu wajah, air mataku kembali jatuh luruh tak tertahankan. Hatiku masih berdenyut nyeri di setiap detakannya.
Aku membekap mulutku sendiri agar suara isakan tak terdengar oleh driver yang memboncengku. Berkali-kali aku mengusapnya. Namun, berkali-kali jua mereka berdesakan keluar.
Sampai di depan pagar rumah yang kutuju, aku turun. Membayar ongkos ojol sambil menunduk karena malu dengan wajah yang pasti membengkak.
Tak banyak berkata, driver ojol itu pergi melesat setelah mengucapkan terima kasih. Sementara aku, terpaku menatap bangunan di hadapanku.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ragu aku untuk melangkah. Tapi jiwa yang tengah rapuh, benar-benar membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersandar.
Perlahan aku membuka pagar itu. Berjalan pelan menuju pintu rumah. Lagi-lagi aku dibuat tertegun saat berada di depan pintu. Ragu untuk mengetuk pintu di hadapanku.
Apa aku tidak akan mengganggu datang malam-malam seperti ini? Tapi aku benar-benar tidak punya lagi tujuan selain tempat ini.
Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Pelan hingga semakin mengencang.
Dengan hati berdebar aku menunggu pintu berwarna coklat itu terbuka. Hingga beberapa detik kemudian, pintu itu benar-benar terbuka.
"Aluna?" Seorang laki-laki berusia hampir sepantaran dengan suamiku berdiri di ambang pintu, menatapku dengan dahi mengerut.
Aku menunduk. Menyembunyikan wajah yang pasti terlihat menyedihkan dan berantakan."Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran."Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah."Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya."Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya." Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.Sementara
Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati."Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan."Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi."Ma
"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama."Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin."Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam."Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menaseh
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya
Setelah mengecek Wa milik Mas Rayan, aku pun beralih ke galeri. Mungkin Mas Rayan menyimpan salah satu foto wanita itu. Nihil, tak kutemukan satu foto pun di sana. Galeri itu hanya dipenuhi oleh fotoku juga dirinya sendiri.Mas Rayan tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Lekas aku simpan kembali benda pipih itu. Setidaknya aku sudah mempunyai nomor wanita yang bernama Rumaisha.Aku pun naik kembali ke atas ranjang. Memejamkan mata dan tertidur.Selepas solat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Menuju ke dapur di mana sudah mulai terdengar suara-suara khas perdapuran. "Pagi, Mbok," sapaku pada Mbok Acih yang sedang menyiapkan sarapan."Pagi, Nyony eh, Luna," jawab Mbok Acih serba salah.Aku hanya tersenyum. "Luna bantu ya, Mbok?" "Gak usah. Biar Mbok aja. Luna duduk saja," tolak Mbok Acih."Gak apa-apa. Soalnya Luna juga bingung mau ngapain. Di rumah juga biasanya suka bantuin ibu masak."Mbok Acih hanya mengangguk sambil tersenyum."Duh, mantu ibu yang cantik udah di dapur aja," tutu