Share

Bab 3

Aku menunduk. Menyembunyikan wajah yang pasti terlihat menyedihkan dan berantakan.

"Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran.

"Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah.

"Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya.

"Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya." 

Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.

Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.

Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.

Sementara Karin sendiri, lebih memilih meneruskan usaha butik yang dibangun ibunya. Di rumah ini, Karin tinggal berdua dengan kakaknya, Mas Zidan. Sementara kedua orang tuanya, tinggal di kampung halaman ibunya di Sukabumi. Ingin menikmati masa tua di kampung kelahiran. Jawab ibunya Karin dulu.

"Luna." Seruan Karin membuat wajahku terangkat. Gadis berbadan tinggi langsing itu kini sudah berdiri di hadapanku.

"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir seraya menghampiriku. Duduk di sebelahku. Matanya menatapku menyelidik.

Aku hanya bungkam. Bingung harus menjawab apa. Hanya air mata yang kembali menetes sebagai jawaban.

Karin tidak lagi bertanya. Tapi dia membawa tubuhku dalam dekapannya.

"Kamu tidak perlu cerita jika belum siap. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, ada aku yang akan selalu di sampingmu." Karin mengusap punggungku lembut. Memberikan kenyamanan yang memang sedang aku butuhkan. Air mataku semakin luruh mendengar perkataannya. Terharu. Begitu beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik dirinya.

Suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Sesaat kemudian, Mas Zaidan datang dengan membawa segelas air putih di tangannya.

"Rin, berikan pada Luna. Biar dia sedikit merasa tenang." Mas Zaidan mengulurkan gelas itu pada adiknya.

"Minum dulu ya, Lun!" Karin mendekatkan bibir gelas ke bibirku. Aku meminumnya seteguk. Rasa segar seketika mengaliri kerongkonganku. Sesak di dadaku juga mulai berkurang.

"Ajak Luna ke kamarmu. Biarkan dia istirahat!" Mas Zaidan berkata lagi yang diikuti anggukan kepala Karin.

"Yuk. Kita ke kamar!"

Karin membantuku berdiri. Memegang kedua bahuku membantuku menaiki tangga meski dengan kaki yang masih begitu lemas.

Sampai di dalam kamar, Karin membantuku duduk di pinggir ranjang. Tangannya menggenggam tanganku erat seolah memberi kekuatan.

"Masalah apapun yang sedang menimpamu, semoga kamu sabar, ya. Kuat untuk menghadapinya." 

Karin mengusap air mata yang masih mengalir di pipiku. Bahkan, kepalaku sudah sangat berat dan pusing akibat terlalu banyak menangis.

"Sepertinya, kamu butuh sendiri dulu. Aku tidur di kamar sebelah , ya. Kalau butuh apa-apa, masuk saja. Gak dikunci, kok." Karin menepuk pundakku pelan sambil memandangku sendu.

Gadis bermata bulat itu bangkit dari duduknya. Berdiri sebentar, seolah ragu untuk meninggalkanku. Namun, ia kemudian berjalan menuju pintu.

"Oh iya, aku sampai lupa." Karin kembali masuk, membuka lemari, kemudian mengeluarkan baju.

"Ini baju buat ganti." Karin menyimpan piyama tidur berwarna biru langit di atas ranjang. "Aku tinggal dulu, ya," lanjutnya sambil berlalu pergi. Kemudian menutup pintu kamar dengan rapat.

Aku menarik napas sepanjang mungkin sepeninggal Karin. Segan rasanya menempati kamar pribadinya, sementara ia mengalah menempati kamar lain demi kenyamananku. Tapi bagaimana lagi. Aku memang membutuhkan waktu untuk sendiri sekarang ini. 

Kejadian yang kualami, tak ubahnya mimpi buruk di siang hari. Sedikit pun aku tidak menyangka akan ditimpa masalah serumit dan sesakit ini.

Aku menghempaskan setengah tubuhku di atas ranjang. Terlentang menatap langit-langit kamar ini dengan nanar. 

Harusnya, malam ini aku menghabiskan malam yang indah bersama suamiku. Namun justru, aku harus pergi meninggalkannya sendirian di dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Bahkan kelopak mawar masih bertebaran di atas ranjang dan belum sempat kusesap baunya.

Dua tahun menjalin hubungan percintaan dengan Mas Rayan, dia tidak pernah menyakiti hatiku. Baik itu dengan kata-kata atau tindakan. Bahkan ia tergolong laki-laki yang tidak mudah bergaul dengan lawan jenis. Hanya bicara seperlunya dan cenderung cuek. Itulah yang membuatku mantap untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.

Siapa yang akan menyangka bahwa dia ternyata sudah menyandang status suami orang. Kami memang jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi kami berlangsung lancar setiap hari. Dia tidak pernah melarangku menghubunginya kapan pun. Meski tengah malam sekalipun.

Sebenarnya siapa wanita bernama Rumaisha yang sudah dinikahinya itu? Sehingga tak ada orang yang tau tentang pernikahan mereka. Atau justru, hanya aku saja yang tidak tau? Sementara keluarga dan teman-temannya mengetahuinya.

Memikirkan semua ini, membuat kepalaku bertambah pusing. Aku berusaha memejamkan mata. Namun, lagi-lagi bayangan Mas Rayan dan kebersamaan tentang kami yang terlihat. Membuat mataku kembali memanas dan dipenuhi cairan bening.

Sinar matahari yang masuk lewat celah gorden membuatku membuka mata. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar, sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Setelah mengucek mata sekilas, aku bangun. Memegang kepala yang masih sedikit pusing karena terlalu banyak menangis.

Aku berjalan gontai ke kamar mandi. Mengambil wudhu kemudian melaksanakan salat subuh yang terlambat. 

Merasa tak enak pada Karin, pemilik kamar ini, aku berjalan keluar kamar. Menuju kamar yang ada di sebelah. Aku ketuk pintu kamar perlahan. Tapi tidak ada jawaban. Aku beranikan diri membukanya. Ternyata kosong. Karin sudah tidak ada di kamar.

Akhirnya aku pun turun ke bawah. Berjalan menuju dapur. Tempat di mana Karin biasa berada.

Benar saja, gadis itu sedang sibuk di dapur hendak memasak sesuatu.

"Hei, sudah bangun?" sapa Karin saat melihatku sampai di dekatnya.

Aku mengangguk. "Sudah. Ada yang bisa kubantu?" Aku mendekat.

"Gak usah. Cuma bikin nasi goreng kok. Gampang. Kamu duduk aja. Pasti kurang istirahat semalam," tebak Karin. Dan itu benar. Entar jam berapa aku tertidur semalam.

"Kalau gitu, aku bikin teh manis aja, ya. Mas Zidan juga suka teh manis kan," tawarku.

"Boleh tuh. Bener banget," jawab Kiran.

Aku menyiapkan tiga buah cangkir yang kuisi dengan gula putih masing-masing satu sendok. Lalu menambahkan air panas secukupnya dan mencelupkan teh beraroma melati. 

"Rin, sebenarnya ... aku mau cerita. Tapi bingung mulai dari mana," tuturku berubah murung.

"Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin. Tapi kalau kamu belum siap, jangan dulu. Yang penting, kamu harus merasa lebih baik." Karin menatapku. Menghentikan sejenak aktivitasnya mengiris sosis untuk nasi goreng.

"Makasih banyak ya. Maaf aku jadi ngerepotin kamu. Malah numpang di sini," ucapku tak enak.

"Kok kamu ngomongnya gitu. Kayak sama siapa aja. Aku ini kan sahabatmu. Kamu bebas di sini sampai kapanpun," timpalnya dengan senyum.

"Tapi di sini kamu gak sendiri. Ada Mas Zidan juga. Aku gak enak sama dia."

"Mas Zidan gak akan keberatan. Kamu tau sendiri kan dia itu kayak gimana?"

Aku mengangguk membenarkan.

Setelah menemani Karin menyelesaikan nasi goreng buatannya, samar aku mendengar suara agak berisik dari arah depan. 

Karin menatapku. Dia juga sepertinya mendengar.

"Siapa ya?" tanyanya. Tangannya cekatan memindahkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar.

"Gak tau." Aku menggidikan bahu.

"Yuk ke depan," ajaknya sambil melepas celemek yang menempel di tubuhnya.

Aku berjalan mengekor di belakang Karin. Menuju sumber suara yang terdengar makin gaduh.

 Karin mengehentikan langkah. Menatap ke arah dua orang yang saling berhadapan.

Mataku membulat sempurna melihat Mas Rayan ada di sini.

Aku melanjutkan langkahku. Semakin mendekati suamiku yang masih berdiri di ambang pintu mencoba dihadang oleh Mas Zidan.

"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanyaku menatapnya tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status