"Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran.
"Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah.
"Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya.
"Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya."
Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.
Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.
Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.
Sementara Karin sendiri, lebih memilih meneruskan usaha butik yang dibangun ibunya. Di rumah ini, Karin tinggal berdua dengan kakaknya, Mas Zidan. Sementara kedua orang tuanya, tinggal di kampung halaman ibunya di Sukabumi. Ingin menikmati masa tua di kampung kelahiran. Jawab ibunya Karin dulu.
"Luna." Seruan Karin membuat wajahku terangkat. Gadis berbadan tinggi langsing itu kini sudah berdiri di hadapanku.
"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir seraya menghampiriku. Duduk di sebelahku. Matanya menatapku menyelidik.
Aku hanya bungkam. Bingung harus menjawab apa. Hanya air mata yang kembali menetes sebagai jawaban.
Karin tidak lagi bertanya. Tapi dia membawa tubuhku dalam dekapannya.
"Kamu tidak perlu cerita jika belum siap. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, ada aku yang akan selalu di sampingmu." Karin mengusap punggungku lembut. Memberikan kenyamanan yang memang sedang aku butuhkan. Air mataku semakin luruh mendengar perkataannya. Terharu. Begitu beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik dirinya.
Suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Sesaat kemudian, Mas Zaidan datang dengan membawa segelas air putih di tangannya.
"Rin, berikan pada Luna. Biar dia sedikit merasa tenang." Mas Zaidan mengulurkan gelas itu pada adiknya.
"Minum dulu ya, Lun!" Karin mendekatkan bibir gelas ke bibirku. Aku meminumnya seteguk. Rasa segar seketika mengaliri kerongkonganku. Sesak di dadaku juga mulai berkurang.
"Ajak Luna ke kamarmu. Biarkan dia istirahat!" Mas Zaidan berkata lagi yang diikuti anggukan kepala Karin.
"Yuk. Kita ke kamar!"
Karin membantuku berdiri. Memegang kedua bahuku membantuku menaiki tangga meski dengan kaki yang masih begitu lemas.
Sampai di dalam kamar, Karin membantuku duduk di pinggir ranjang. Tangannya menggenggam tanganku erat seolah memberi kekuatan.
"Masalah apapun yang sedang menimpamu, semoga kamu sabar, ya. Kuat untuk menghadapinya."
Karin mengusap air mata yang masih mengalir di pipiku. Bahkan, kepalaku sudah sangat berat dan pusing akibat terlalu banyak menangis.
"Sepertinya, kamu butuh sendiri dulu. Aku tidur di kamar sebelah , ya. Kalau butuh apa-apa, masuk saja. Gak dikunci, kok." Karin menepuk pundakku pelan sambil memandangku sendu.
Gadis bermata bulat itu bangkit dari duduknya. Berdiri sebentar, seolah ragu untuk meninggalkanku. Namun, ia kemudian berjalan menuju pintu.
"Oh iya, aku sampai lupa." Karin kembali masuk, membuka lemari, kemudian mengeluarkan baju.
"Ini baju buat ganti." Karin menyimpan piyama tidur berwarna biru langit di atas ranjang. "Aku tinggal dulu, ya," lanjutnya sambil berlalu pergi. Kemudian menutup pintu kamar dengan rapat.
Aku menarik napas sepanjang mungkin sepeninggal Karin. Segan rasanya menempati kamar pribadinya, sementara ia mengalah menempati kamar lain demi kenyamananku. Tapi bagaimana lagi. Aku memang membutuhkan waktu untuk sendiri sekarang ini.
Kejadian yang kualami, tak ubahnya mimpi buruk di siang hari. Sedikit pun aku tidak menyangka akan ditimpa masalah serumit dan sesakit ini.
Aku menghempaskan setengah tubuhku di atas ranjang. Terlentang menatap langit-langit kamar ini dengan nanar.
Harusnya, malam ini aku menghabiskan malam yang indah bersama suamiku. Namun justru, aku harus pergi meninggalkannya sendirian di dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Bahkan kelopak mawar masih bertebaran di atas ranjang dan belum sempat kusesap baunya.
Dua tahun menjalin hubungan percintaan dengan Mas Rayan, dia tidak pernah menyakiti hatiku. Baik itu dengan kata-kata atau tindakan. Bahkan ia tergolong laki-laki yang tidak mudah bergaul dengan lawan jenis. Hanya bicara seperlunya dan cenderung cuek. Itulah yang membuatku mantap untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.
Siapa yang akan menyangka bahwa dia ternyata sudah menyandang status suami orang. Kami memang jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi kami berlangsung lancar setiap hari. Dia tidak pernah melarangku menghubunginya kapan pun. Meski tengah malam sekalipun.
Sebenarnya siapa wanita bernama Rumaisha yang sudah dinikahinya itu? Sehingga tak ada orang yang tau tentang pernikahan mereka. Atau justru, hanya aku saja yang tidak tau? Sementara keluarga dan teman-temannya mengetahuinya.
Memikirkan semua ini, membuat kepalaku bertambah pusing. Aku berusaha memejamkan mata. Namun, lagi-lagi bayangan Mas Rayan dan kebersamaan tentang kami yang terlihat. Membuat mataku kembali memanas dan dipenuhi cairan bening.
Sinar matahari yang masuk lewat celah gorden membuatku membuka mata. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar, sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Setelah mengucek mata sekilas, aku bangun. Memegang kepala yang masih sedikit pusing karena terlalu banyak menangis.
Aku berjalan gontai ke kamar mandi. Mengambil wudhu kemudian melaksanakan salat subuh yang terlambat.
Merasa tak enak pada Karin, pemilik kamar ini, aku berjalan keluar kamar. Menuju kamar yang ada di sebelah. Aku ketuk pintu kamar perlahan. Tapi tidak ada jawaban. Aku beranikan diri membukanya. Ternyata kosong. Karin sudah tidak ada di kamar.
Akhirnya aku pun turun ke bawah. Berjalan menuju dapur. Tempat di mana Karin biasa berada.
Benar saja, gadis itu sedang sibuk di dapur hendak memasak sesuatu.
"Hei, sudah bangun?" sapa Karin saat melihatku sampai di dekatnya.
Aku mengangguk. "Sudah. Ada yang bisa kubantu?" Aku mendekat.
"Gak usah. Cuma bikin nasi goreng kok. Gampang. Kamu duduk aja. Pasti kurang istirahat semalam," tebak Karin. Dan itu benar. Entar jam berapa aku tertidur semalam.
"Kalau gitu, aku bikin teh manis aja, ya. Mas Zidan juga suka teh manis kan," tawarku.
"Boleh tuh. Bener banget," jawab Kiran.
Aku menyiapkan tiga buah cangkir yang kuisi dengan gula putih masing-masing satu sendok. Lalu menambahkan air panas secukupnya dan mencelupkan teh beraroma melati.
"Rin, sebenarnya ... aku mau cerita. Tapi bingung mulai dari mana," tuturku berubah murung.
"Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin. Tapi kalau kamu belum siap, jangan dulu. Yang penting, kamu harus merasa lebih baik." Karin menatapku. Menghentikan sejenak aktivitasnya mengiris sosis untuk nasi goreng.
"Makasih banyak ya. Maaf aku jadi ngerepotin kamu. Malah numpang di sini," ucapku tak enak.
"Kok kamu ngomongnya gitu. Kayak sama siapa aja. Aku ini kan sahabatmu. Kamu bebas di sini sampai kapanpun," timpalnya dengan senyum.
"Tapi di sini kamu gak sendiri. Ada Mas Zidan juga. Aku gak enak sama dia."
"Mas Zidan gak akan keberatan. Kamu tau sendiri kan dia itu kayak gimana?"
Aku mengangguk membenarkan.
Setelah menemani Karin menyelesaikan nasi goreng buatannya, samar aku mendengar suara agak berisik dari arah depan.
Karin menatapku. Dia juga sepertinya mendengar.
"Siapa ya?" tanyanya. Tangannya cekatan memindahkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar.
"Gak tau." Aku menggidikan bahu.
"Yuk ke depan," ajaknya sambil melepas celemek yang menempel di tubuhnya.
Aku berjalan mengekor di belakang Karin. Menuju sumber suara yang terdengar makin gaduh.
Karin mengehentikan langkah. Menatap ke arah dua orang yang saling berhadapan.
Mataku membulat sempurna melihat Mas Rayan ada di sini.
Aku melanjutkan langkahku. Semakin mendekati suamiku yang masih berdiri di ambang pintu mencoba dihadang oleh Mas Zidan.
"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanyaku menatapnya tajam.
Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati."Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan."Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi."Ma
"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama."Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin."Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam."Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menaseh
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya
Setelah mengecek Wa milik Mas Rayan, aku pun beralih ke galeri. Mungkin Mas Rayan menyimpan salah satu foto wanita itu. Nihil, tak kutemukan satu foto pun di sana. Galeri itu hanya dipenuhi oleh fotoku juga dirinya sendiri.Mas Rayan tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Lekas aku simpan kembali benda pipih itu. Setidaknya aku sudah mempunyai nomor wanita yang bernama Rumaisha.Aku pun naik kembali ke atas ranjang. Memejamkan mata dan tertidur.Selepas solat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Menuju ke dapur di mana sudah mulai terdengar suara-suara khas perdapuran. "Pagi, Mbok," sapaku pada Mbok Acih yang sedang menyiapkan sarapan."Pagi, Nyony eh, Luna," jawab Mbok Acih serba salah.Aku hanya tersenyum. "Luna bantu ya, Mbok?" "Gak usah. Biar Mbok aja. Luna duduk saja," tolak Mbok Acih."Gak apa-apa. Soalnya Luna juga bingung mau ngapain. Di rumah juga biasanya suka bantuin ibu masak."Mbok Acih hanya mengangguk sambil tersenyum."Duh, mantu ibu yang cantik udah di dapur aja," tutu
Menatap bocah polos itu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku mencelos. Aku teringat pada adikku satu-satunya yang sudah meninggal dulu. Usianya persis sebesar ini saat adik yang begitu kusayangi itu mengembuskan napas terakhirnya karena sakit. Saat itu aku begitu terpukul. Terpuruk karena kehilangan. Usiaku baru sepuluh tahun kala itu."Dia Tante Luna. Hasan sun tangan dulu ya," titah Rumaisha lembut sambil membelai pucuk kepala anak yang dipanggil Hasan itu.Perlahan Hasan pun melangkah mendekat ke arahku. Meski ragu, namun akhirnya tangan mungil itu terulur. Aku pun ikut mengulurkan tangan. "Saya Hasan Tante," ucapnya seraya mencium punggung tanganku. Jadi ini Hasan yang dimaksud dalam pesan Mas Rayan untuk Rumaisha. Yang selalu ditanyakan kabarnya. Dia memang anak yang sopan. Pantas Mas Rayan menyayangi anak tirinya itu."Nama Tante Luna. Panggil saja Tante Luna ya?" pintaku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya lembut.Bocah itu mengangguk. Lalu mundur kembali ke arah Rumaisha."Hasa