Share

Bab 5

"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.

Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama.

"Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin.

"Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam.

"Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menasehatiku dengan bijak.

Aku terdiam. Merenung. Memang ada benarnya apa yang dia katakan. Namun, rasa sakit yang mendominasi, membuatku sulit untuk berpikir jernih.

"Kamu yang sabar ya! Aku tau kamu wanita kuat. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Kamu harus percaya itu." Lagi-lagi Karin perkataan Karin membuat hatiku sedikit mendapat kekuatan.

"Kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan cerita sama aku. Aku pasti akan berusaha membantumu sebisa mungkin. Aku selalu ada untukmu. Jangan pernah merasa sendiri."

Dukungan dan dorongan dari Karin bagaikan oase di Padang pasir. Menentramkan dan menyejukkan. Betapa beruntungnya aku mendapat sahabat seperti dirinya.

Mataku kembali memanas. Namun, air mata ini adalah air mata haru akan kebaikan dan ketulusan dari sahabatku.

"Lun, kita sarapan dulu yuk. Biar kamu ada tenaga." Mas Zidan muncul dengan penampilan yang sudah rapi. Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru dipadukan celana hitam.

"Bener kata Kak Zidan, Lun. Yuk." Karin membantuku untuk berdiri.

Meski perut sama sekali tidak lapar meskipun dari semalam belum terisi makanan, tapi aku tetap mengikuti langkah Karin ke ruang makan. Aku tidak mau membuat sahabatku itu khawatir akan kondisiku.

Aku duduk di kursi meja makan. Berhadapan dengan Mas Zidan yang sudah mulai menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

Rasa sakit yang aku rasakan, benar-benar membuat rasa laparku menguap entah kemana. Jadilah aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng yang ada dalam piring. Ragaku ada di sini, tapi pikiranku melayang mengembara jauh ke sana.

"Nasi gorengnya gak enak ya?" tanya Karin menatapku.

"Enak kok, Rin." Aku menatapnya lalu tersenyum kaku. Menyendok sedikit nasi goreng lalu menyuapkannya.

Saat akan menelannya, terpaksa aku mendorongnya dengan air putih karena tercekat di tenggorokan. Jangankan untuk makan. Untuk menelan saliva sendiri saja begitu susah saking sesaknya dada ini.

"Hari ini saya masih cuti, Mas," ucapku pada Mas Zaidan. Jika di luar, aku memang terbiasa memanggilnya Mas, tapi jika di kantor, aku memanggilnya Pak.

"Iya. Kamu istirahat aja. Kamu cuti seminggu kan?" Mas Zidan menatapku sambil mengelap mulutnya dengan tissue.

"Iya, Mas. Terima kasih ya," jawabku.

"Rin, Lun, aku berangkat ya. Kalian baik-baik di rumah." Mas Zidan bangkit dari kursinya. "Oh iya. Kamu jangan ke butik dulu. Temenin Karin aja," lanjut Mas Zidan.

"Iya, Kak," jawab Karin.

Mas Zidan pun melenggang pergi untuk berangkat bekerja.

Aku jadi gak enak sama Karin. Keberadaanku di rumahnya malah merepotkan. Dia juga tidak pergi ke butik karena harus menemaniku. Apa aku pulang aja ke rumah ibu saja ya? Tapi apa yang harus aku katakan kalau ibu bertanya tentang Mas Rayan? Apalagi kondisi bapak yang tidak sehat. Aku takut justru memperburuk keadaannya.

Namun, berdiam diri di rumah Karin pun tidak bisa dijadikan pilihan. Aku tetap tidak akan menemukan solusi dari masalahku.

Setelah selesai sarapan, aku membantu Karin mengerjakan pekerjaan rumah. Kebetulan asisten rumah tangga Karin sedang pulang kampung.

"Kamu istirahat saja, Lun," titah Karin saat aku mencuci piring.

"Gak apa-apa. Aku justru harus punya kegiatan agar bisa melupakan sedikit masalahku." Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya.

Karin menghela napas pendek. "Ya, sudah. Terserah kamu saja. Tapi jangan sampai kecapekan ya." Karin memegang pundakku sekilas, kemudian pergi meninggalkanku.

Menjelang siang, aku dan Karin duduk santai di gazebo yang ada di belakang rumahnya. Saling bercerita sambil menikmati secangkir jus alpukat kesukaanku.

Bisa mencurahkan isi hati kepada orang lain itu bisa membuat beban di pundak sedikit ringan. Tidak dipendam sendirian dan akhirnya menyebabkan rasa frustasi.

"Rin, aku mau pulang ke rumah orang tuaku," tuturku pada Karin saat hari beranjak sore.

"Loh. Kenapa? Di sini saja dulu sampai keadaanmu lebih baik," cegah Karin dengan nada khawatir.

"Aku sudah merasa sedikit lebih baik, kok. Semua berkat kamu. Makasih banyak, ya. Kamu memang sahabat terbaikku," jawabku dengan mata berkaca-kaca.

"Aaahhh." Karin beringsut mendekat, kemudian mendekap tubuhku erat.

Aku keluar dari rumah Karin berbarengan dengan datangnya Mas Zidan dari tempat kerja.

"Loh, Luna mau ke mana?" tanyanya dengan kening berkerut. Tangannya menenteng tas kerja hitam.

"Mau pulang Mas. Makasih banyak ya. Udah diizinin nginep di sini," tuturku memaksakan sedikit senyum.

"Kok pulang? Sama siapa?" tanyanya lagi.

"Sendiri," jawabku.

"Ya udah. Aku anterin," tawarnya.

"Gak usah, Mas. Apalagi Mas kan baru pulang kerja. Kasian masih cape," tolakku tak enak.

"Gak apa-apa. Yuk, langsung aja!"

Mas Zidan berbalik kembali menuju mobilnya setelah menyerahkan tasnya kepada Karin.

Aku menatap Karin. Dia mengangguk pertanda mengiyakan.

Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil. Sementara Mas Zidan sudah siap di belakang kemudi.

Berduaan dengan seorang laki-laki di dalam kendaraan tertutup seperti ini, membuatku canggung dan tak nyaman. Jadilah kami hanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.

"Stop di sini saja, Mas!" pintaku setelah hampir sampai di rumah orang tuaku.

"Loh. Kan belum sampai?"

"Sengaja, Mas. Takutnya ada yang lihat. Kan gak enak," jawabku.

"Ok. Kamu hati-hati ya. Apapun yang sedang terjadi, semoga semuanya segera membaik. Aku tunggu kamu masuk kerja lagi." Mas Zidan tersenyum menatapku.

Aku mengangguk. "Terima kasih, ya."

Aku pun membuka pintu mobil dan segera turun. Lalu berjalan menuju rumah orang tuaku yang tinggal berjarak kurang dari seratus meter.

Sampai di depan rumah orang tuaku, tiba-tiba jantung berdebar kencang. Bingung dengan alasan kepulanganku.

Meski dengan dada yang masih berdegup hebat, aku beranikan diri tetap mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat itu sambil mengucap salam.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Menampakkan seorang wanita paruh baya yang mengenakan ciput di kepalanya.

"Aluna?" tanyanya dengan mimik heran.

Aku tersenyum menatap wajah ibu. Senyum yang kuusahakan senormal mungkin.

"Kok sendirian, Nak? Suamimu mana?"

Pertanyaan yang paling kuhindari, akhirnya terlontar juga.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Alunna kmu hrs terus terang dgn k dua orang tua mu dn cari solusi kmu jangan mau d madu dn menjadi istri k dua lebih baik k.u lepas pas d dpn orang tua mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status