Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama.
"Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin.
"Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam.
"Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menasehatiku dengan bijak.
Aku terdiam. Merenung. Memang ada benarnya apa yang dia katakan. Namun, rasa sakit yang mendominasi, membuatku sulit untuk berpikir jernih.
"Kamu yang sabar ya! Aku tau kamu wanita kuat. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Kamu harus percaya itu." Lagi-lagi Karin perkataan Karin membuat hatiku sedikit mendapat kekuatan.
"Kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan cerita sama aku. Aku pasti akan berusaha membantumu sebisa mungkin. Aku selalu ada untukmu. Jangan pernah merasa sendiri."
Dukungan dan dorongan dari Karin bagaikan oase di Padang pasir. Menentramkan dan menyejukkan. Betapa beruntungnya aku mendapat sahabat seperti dirinya.
Mataku kembali memanas. Namun, air mata ini adalah air mata haru akan kebaikan dan ketulusan dari sahabatku.
"Lun, kita sarapan dulu yuk. Biar kamu ada tenaga." Mas Zidan muncul dengan penampilan yang sudah rapi. Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru dipadukan celana hitam.
"Bener kata Kak Zidan, Lun. Yuk." Karin membantuku untuk berdiri.
Meski perut sama sekali tidak lapar meskipun dari semalam belum terisi makanan, tapi aku tetap mengikuti langkah Karin ke ruang makan. Aku tidak mau membuat sahabatku itu khawatir akan kondisiku.
Aku duduk di kursi meja makan. Berhadapan dengan Mas Zidan yang sudah mulai menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
Rasa sakit yang aku rasakan, benar-benar membuat rasa laparku menguap entah kemana. Jadilah aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng yang ada dalam piring. Ragaku ada di sini, tapi pikiranku melayang mengembara jauh ke sana.
"Nasi gorengnya gak enak ya?" tanya Karin menatapku.
"Enak kok, Rin." Aku menatapnya lalu tersenyum kaku. Menyendok sedikit nasi goreng lalu menyuapkannya.
Saat akan menelannya, terpaksa aku mendorongnya dengan air putih karena tercekat di tenggorokan. Jangankan untuk makan. Untuk menelan saliva sendiri saja begitu susah saking sesaknya dada ini.
"Hari ini saya masih cuti, Mas," ucapku pada Mas Zaidan. Jika di luar, aku memang terbiasa memanggilnya Mas, tapi jika di kantor, aku memanggilnya Pak.
"Iya. Kamu istirahat aja. Kamu cuti seminggu kan?" Mas Zidan menatapku sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
"Iya, Mas. Terima kasih ya," jawabku.
"Rin, Lun, aku berangkat ya. Kalian baik-baik di rumah." Mas Zidan bangkit dari kursinya. "Oh iya. Kamu jangan ke butik dulu. Temenin Karin aja," lanjut Mas Zidan.
"Iya, Kak," jawab Karin.
Mas Zidan pun melenggang pergi untuk berangkat bekerja.
Aku jadi gak enak sama Karin. Keberadaanku di rumahnya malah merepotkan. Dia juga tidak pergi ke butik karena harus menemaniku. Apa aku pulang aja ke rumah ibu saja ya? Tapi apa yang harus aku katakan kalau ibu bertanya tentang Mas Rayan? Apalagi kondisi bapak yang tidak sehat. Aku takut justru memperburuk keadaannya.
Namun, berdiam diri di rumah Karin pun tidak bisa dijadikan pilihan. Aku tetap tidak akan menemukan solusi dari masalahku.
Setelah selesai sarapan, aku membantu Karin mengerjakan pekerjaan rumah. Kebetulan asisten rumah tangga Karin sedang pulang kampung.
"Kamu istirahat saja, Lun," titah Karin saat aku mencuci piring.
"Gak apa-apa. Aku justru harus punya kegiatan agar bisa melupakan sedikit masalahku." Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya.
Karin menghela napas pendek. "Ya, sudah. Terserah kamu saja. Tapi jangan sampai kecapekan ya." Karin memegang pundakku sekilas, kemudian pergi meninggalkanku.
Menjelang siang, aku dan Karin duduk santai di gazebo yang ada di belakang rumahnya. Saling bercerita sambil menikmati secangkir jus alpukat kesukaanku.
Bisa mencurahkan isi hati kepada orang lain itu bisa membuat beban di pundak sedikit ringan. Tidak dipendam sendirian dan akhirnya menyebabkan rasa frustasi.
"Rin, aku mau pulang ke rumah orang tuaku," tuturku pada Karin saat hari beranjak sore.
"Loh. Kenapa? Di sini saja dulu sampai keadaanmu lebih baik," cegah Karin dengan nada khawatir.
"Aku sudah merasa sedikit lebih baik, kok. Semua berkat kamu. Makasih banyak, ya. Kamu memang sahabat terbaikku," jawabku dengan mata berkaca-kaca.
"Aaahhh." Karin beringsut mendekat, kemudian mendekap tubuhku erat.
Aku keluar dari rumah Karin berbarengan dengan datangnya Mas Zidan dari tempat kerja.
"Loh, Luna mau ke mana?" tanyanya dengan kening berkerut. Tangannya menenteng tas kerja hitam.
"Mau pulang Mas. Makasih banyak ya. Udah diizinin nginep di sini," tuturku memaksakan sedikit senyum.
"Kok pulang? Sama siapa?" tanyanya lagi.
"Sendiri," jawabku.
"Ya udah. Aku anterin," tawarnya.
"Gak usah, Mas. Apalagi Mas kan baru pulang kerja. Kasian masih cape," tolakku tak enak.
"Gak apa-apa. Yuk, langsung aja!"
Mas Zidan berbalik kembali menuju mobilnya setelah menyerahkan tasnya kepada Karin.
Aku menatap Karin. Dia mengangguk pertanda mengiyakan.
Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil. Sementara Mas Zidan sudah siap di belakang kemudi.
Berduaan dengan seorang laki-laki di dalam kendaraan tertutup seperti ini, membuatku canggung dan tak nyaman. Jadilah kami hanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
"Stop di sini saja, Mas!" pintaku setelah hampir sampai di rumah orang tuaku.
"Loh. Kan belum sampai?"
"Sengaja, Mas. Takutnya ada yang lihat. Kan gak enak," jawabku.
"Ok. Kamu hati-hati ya. Apapun yang sedang terjadi, semoga semuanya segera membaik. Aku tunggu kamu masuk kerja lagi." Mas Zidan tersenyum menatapku.
Aku mengangguk. "Terima kasih, ya."
Aku pun membuka pintu mobil dan segera turun. Lalu berjalan menuju rumah orang tuaku yang tinggal berjarak kurang dari seratus meter.
Sampai di depan rumah orang tuaku, tiba-tiba jantung berdebar kencang. Bingung dengan alasan kepulanganku.
Meski dengan dada yang masih berdegup hebat, aku beranikan diri tetap mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat itu sambil mengucap salam.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Menampakkan seorang wanita paruh baya yang mengenakan ciput di kepalanya.
"Aluna?" tanyanya dengan mimik heran.
Aku tersenyum menatap wajah ibu. Senyum yang kuusahakan senormal mungkin.
"Kok sendirian, Nak? Suamimu mana?"
Pertanyaan yang paling kuhindari, akhirnya terlontar juga.
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya
Setelah mengecek Wa milik Mas Rayan, aku pun beralih ke galeri. Mungkin Mas Rayan menyimpan salah satu foto wanita itu. Nihil, tak kutemukan satu foto pun di sana. Galeri itu hanya dipenuhi oleh fotoku juga dirinya sendiri.Mas Rayan tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Lekas aku simpan kembali benda pipih itu. Setidaknya aku sudah mempunyai nomor wanita yang bernama Rumaisha.Aku pun naik kembali ke atas ranjang. Memejamkan mata dan tertidur.Selepas solat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Menuju ke dapur di mana sudah mulai terdengar suara-suara khas perdapuran. "Pagi, Mbok," sapaku pada Mbok Acih yang sedang menyiapkan sarapan."Pagi, Nyony eh, Luna," jawab Mbok Acih serba salah.Aku hanya tersenyum. "Luna bantu ya, Mbok?" "Gak usah. Biar Mbok aja. Luna duduk saja," tolak Mbok Acih."Gak apa-apa. Soalnya Luna juga bingung mau ngapain. Di rumah juga biasanya suka bantuin ibu masak."Mbok Acih hanya mengangguk sambil tersenyum."Duh, mantu ibu yang cantik udah di dapur aja," tutu
Menatap bocah polos itu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku mencelos. Aku teringat pada adikku satu-satunya yang sudah meninggal dulu. Usianya persis sebesar ini saat adik yang begitu kusayangi itu mengembuskan napas terakhirnya karena sakit. Saat itu aku begitu terpukul. Terpuruk karena kehilangan. Usiaku baru sepuluh tahun kala itu."Dia Tante Luna. Hasan sun tangan dulu ya," titah Rumaisha lembut sambil membelai pucuk kepala anak yang dipanggil Hasan itu.Perlahan Hasan pun melangkah mendekat ke arahku. Meski ragu, namun akhirnya tangan mungil itu terulur. Aku pun ikut mengulurkan tangan. "Saya Hasan Tante," ucapnya seraya mencium punggung tanganku. Jadi ini Hasan yang dimaksud dalam pesan Mas Rayan untuk Rumaisha. Yang selalu ditanyakan kabarnya. Dia memang anak yang sopan. Pantas Mas Rayan menyayangi anak tirinya itu."Nama Tante Luna. Panggil saja Tante Luna ya?" pintaku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya lembut.Bocah itu mengangguk. Lalu mundur kembali ke arah Rumaisha."Hasa
Sepanjang perjalanan dari rumah Rumaisha, aku terus terngiang-ngiang semua kata-katanya. Juga terbayang wajahnya yang teduh dan tanpa riasan make up apa pun. Apa lagi kepolosan Hasan, membuatku semakin tak tega pada mereka. Aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Hanya mengikuti kaki melangkah. Untuk kembali ke rumah Mas Rayan, rasanya aku belum sanggup setelah mengetahui semua ini.Teriknya cuaca hari ini membuat peluh di sekujur tubuhku bercucuran. Panas sinar matahari yang menyengat tak kuhiraukan. Terkalahkan panasnya hati yang menggebu.Sedikit pun aku tidak menyangka, akan ditimpa masalah serumit ini. Pergi sulit, bertahan pun sakit.TiiiinnSebuh mobil menekan klakson cukup kencang hingga aku melonjak kaget dan terjatuh."Kamu tidak apa-apa?" Sebuah suara yang begitu kukenal terdengar persis di belakangku.Aku menoleh. Mataku sedikit melebar melihat dia ada di sana. Pun dengan dirinya yang terkejut melihatku."Aluna? Kamu gak apa-apa?" Mas Zidan berjongkok. Lalu membantu aku berdi
Melihat raut dan reaksi ibu, jantungku berdegup kencang. Wajahnya yang tiba-tiba pucat menandakan ia memang mengetahui sesuatu."Iya, Bu. Luna dari rumah Rumaisha. Apa ibu mengenalnya?" tanyaku selembut mungkin agar ia merasa tidak sedang diintrogasi."Ti-tidak. Ibu kan tidak mengenal teman-temanmu," jawab itu terbata. Matanya tak berani menatap mataku."Baiklah kalau ibu memang tidak mengenalnya. Luna ke kamar dulu ya, Bu. Mau bersih-bersih sama ganti baju."Ibu terdiam. Sepertinya ibu mertuaku itu sedang melamun atau tengah memikirkan sesuatu hingga tak mendengar ucapanku."Bu." Aku memegang bahunya."Ah, iya." Ia melonjak kaget."Luna ke kamar dulu," ulangku.Ibu mengangguk pelan. Jari jemarinya saling bertautan.Aku berjalan menaiki tangga. Sesekali menoleh ke arah ibu yang masih terpaku di tempatnya. Padahal, besar harapanku agar ibu mau berkata jujur padaku.Aku menghela napas kasar. Kemudian melanjutkan langkahku menuju kamar. Sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku d