Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati.
"Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.
Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan.
"Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.
Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi.
"Mas gak perlu khawatir. Aku tau diri kok, gak akan lama-lama numpang di rumah orang. Tenang aja," jawabku pura-pura santai. "Sekarang, Mas pergi saja. Temui istri pertama Mas. Dia pasti sudah nungguin. Atau jangan-jangan, semalam Mas justru datang padanya ya?"
Ada yang tercabik di dalam dada saat mengatakannya. Perih bak digores ribuan silet. Namun, sebisa mungkin aku tahan. Tak ingin lagi meneteskan air mata di depan pengkhianat seperti dia.
"Lun. Please ikut Mas pulang!" Tiba-tiba Mas Rayan mencengkeram tanganku erat. "Apa yang akan Mas katakan pada ibu kalau bertanya kenapa aku pulang sendirian." Dia sedikit menarik tubuhku.
Aku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeramannya.
"Lepas Mas!" pintaku meringis karena kesakitan.
"Lepaskan tangan Luna!" Tiba-tiba Mas Zidan mendorong tubuh Mas Rayan hingga hampir terjengkang.
"Tolong ya. Gak usah ikut campur," hardik Mas Rayan menatap tajam pada Mas Zidan.
"Gak bisa dong. Aku gak bisa diam saja melihat ada kekerasan di rumahku. Apalagi pada sahabat adikku sekaligus karyawan di perusahaanku," jawab Mas Zidan berani.
"Aluna istriku. Aku bebas melakukan apapun," bela suamiku.
"Termasuk menyakitinya?" timpal Mas Zidan menohok.
"Aku tidak akan menyakitinya. Karena aku sangat mencintainya." Mas Rayan masih terus membela diri.
"Kalau tidak disakiti, gak mungkin Aluna malam-malam datang ke sini dengan wajah menyedihkan. Malam pertama lagi. Kan lucu." Mas Zidan terkekeh meledek.
"Sudah Mas, sudah hentikan!" Aku mencoba melerai perdebatan di antara dua lelaki hampir seusia itu.
"Pulanglah Mas! Aku butuh sendiri dulu. Jangan temui aku lagi. Hatiku masih begitu sakit menerima kenyataan ini. Tolong beri aku waktu!" Aku melipat kedua tangan di dada tanda memohon.
Mas Rayan mengusap wajahnya kasar. Menghela napas berat kemudian mengembuskannya kasar.
"Baiklah. Kali ini Mas akan menyerah. Tapi Mas akan datang lagi untuk menjemputmu," jawab Mas Rayan lesu. "Mas merindukanmu Aluna. Sangat merindukanmu," lanjutnya dengan suara bergetar. Ada genangan air di kedua kelopak matanya.
Melihatnya terluka seperti itu, ingin rasanya aku menghambur ke dalam pelukannya. Menangis di dada bidangnya. Menumpahkan semua rasa sakit ini. Namun, teringat jika dada bidang itu bukan hanya milikku seorang, membuatku enggan melakukannya. Lukaku lebih besar dari lukanya.
Mas Rayan berbalik. Berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir tepat di halaman rumah ini. Sebelum membuka pintu mobilnya, Mas Rayan kembali menoleh. Menatap kepadaku dengan tatapan begitu sendu. Kesedihan tergambarkan jelas dari raut wajahnya.
Aku pun sama menatapnya. Mataku bahkan kini sudah basah bersimbah air mata. Aku mengusapnya dengan punggung tangan, sebelum akhirnya menutup pintu agar lelaki bertubuh tinggi tegap itu tak lagi terlihat lagi.
Aku terkulai lemas di pintu. Menumpahkan tangis yang tidak bisa lagi dibendung. Sakit. Sungguh lebih sakit dari apapun. Hatiku porak poranda berserakan. Entah bagaimana menyatukan kepingan demi kepingannya.
Karin mendekat. Berjongkok kemudian memegang kedua bahuku. Membantuku untuk berdiri meskipun tungkai masih terasa begitu lemas.
Gadis cantik berkulit putih itu membawaku dalam pelukannya. Mendekap tubuhku erat memberiku kedamaian.
Setelah agak membaik, Karin mengajakku untuk duduk di sofa. Mengelus punggungku lembut. Sesekali mengusap air mataku. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Namun, aku tau. Dukungannya lebih besar dari siapapun.
"Karin ... Mas Rayan, Rin," ucapku dengan air mata yang lagi-lagi berjatuhan.
"Sudah. Gak perlu cerita kalau kamu belum siap," jawab Karin sendu.
"Mas Rayan ternyata sudah punya istri," ucapku akhirnya dengan mulut tercekat.
"Apa?" Karin begitu terkejut dengan pengakuanku.
"Kok, bisa? Bukannya selama ini kalian pacaran baik-baik saja?"
Aku menggeleng. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskannya. Sementara aku sendiri pun tidak tau apa-apa.
"Sebenarnya ... aku memang pernah melihat Mas Rayan sama perempuan," ucap Karin ragu. Aku langsung menoleh. Menatapnya dengan kening berkerut.
"Di mana?" tanyaku penasaran.
"Di rumah sakit. Tapi aku pikir mungkin aku salah lihat. Karena mereka sama anak kecil juga. Anak laki-laki sekitar umur lima atau enam tahunan," jelas Karin membuat dadaku semakin bergemuruh.
Anak kecil? Bukannya Mas Rayan bilang kalau dia menikah baru lima bulanan? Lalu siapa anak itu? Aku menebak-nebak sendiri dalam hati.
"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama."Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin."Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam."Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menaseh
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya
Setelah mengecek Wa milik Mas Rayan, aku pun beralih ke galeri. Mungkin Mas Rayan menyimpan salah satu foto wanita itu. Nihil, tak kutemukan satu foto pun di sana. Galeri itu hanya dipenuhi oleh fotoku juga dirinya sendiri.Mas Rayan tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Lekas aku simpan kembali benda pipih itu. Setidaknya aku sudah mempunyai nomor wanita yang bernama Rumaisha.Aku pun naik kembali ke atas ranjang. Memejamkan mata dan tertidur.Selepas solat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Menuju ke dapur di mana sudah mulai terdengar suara-suara khas perdapuran. "Pagi, Mbok," sapaku pada Mbok Acih yang sedang menyiapkan sarapan."Pagi, Nyony eh, Luna," jawab Mbok Acih serba salah.Aku hanya tersenyum. "Luna bantu ya, Mbok?" "Gak usah. Biar Mbok aja. Luna duduk saja," tolak Mbok Acih."Gak apa-apa. Soalnya Luna juga bingung mau ngapain. Di rumah juga biasanya suka bantuin ibu masak."Mbok Acih hanya mengangguk sambil tersenyum."Duh, mantu ibu yang cantik udah di dapur aja," tutu
Menatap bocah polos itu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku mencelos. Aku teringat pada adikku satu-satunya yang sudah meninggal dulu. Usianya persis sebesar ini saat adik yang begitu kusayangi itu mengembuskan napas terakhirnya karena sakit. Saat itu aku begitu terpukul. Terpuruk karena kehilangan. Usiaku baru sepuluh tahun kala itu."Dia Tante Luna. Hasan sun tangan dulu ya," titah Rumaisha lembut sambil membelai pucuk kepala anak yang dipanggil Hasan itu.Perlahan Hasan pun melangkah mendekat ke arahku. Meski ragu, namun akhirnya tangan mungil itu terulur. Aku pun ikut mengulurkan tangan. "Saya Hasan Tante," ucapnya seraya mencium punggung tanganku. Jadi ini Hasan yang dimaksud dalam pesan Mas Rayan untuk Rumaisha. Yang selalu ditanyakan kabarnya. Dia memang anak yang sopan. Pantas Mas Rayan menyayangi anak tirinya itu."Nama Tante Luna. Panggil saja Tante Luna ya?" pintaku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya lembut.Bocah itu mengangguk. Lalu mundur kembali ke arah Rumaisha."Hasa
Sepanjang perjalanan dari rumah Rumaisha, aku terus terngiang-ngiang semua kata-katanya. Juga terbayang wajahnya yang teduh dan tanpa riasan make up apa pun. Apa lagi kepolosan Hasan, membuatku semakin tak tega pada mereka. Aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Hanya mengikuti kaki melangkah. Untuk kembali ke rumah Mas Rayan, rasanya aku belum sanggup setelah mengetahui semua ini.Teriknya cuaca hari ini membuat peluh di sekujur tubuhku bercucuran. Panas sinar matahari yang menyengat tak kuhiraukan. Terkalahkan panasnya hati yang menggebu.Sedikit pun aku tidak menyangka, akan ditimpa masalah serumit ini. Pergi sulit, bertahan pun sakit.TiiiinnSebuh mobil menekan klakson cukup kencang hingga aku melonjak kaget dan terjatuh."Kamu tidak apa-apa?" Sebuah suara yang begitu kukenal terdengar persis di belakangku.Aku menoleh. Mataku sedikit melebar melihat dia ada di sana. Pun dengan dirinya yang terkejut melihatku."Aluna? Kamu gak apa-apa?" Mas Zidan berjongkok. Lalu membantu aku berdi