Share

Bab 4

Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.

Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati.

"Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.

Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan.

"Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.

Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi.

"Mas gak perlu khawatir. Aku tau diri kok, gak akan lama-lama numpang di rumah orang. Tenang aja," jawabku pura-pura santai. "Sekarang, Mas pergi saja. Temui istri pertama Mas. Dia pasti sudah nungguin. Atau jangan-jangan, semalam Mas justru datang padanya ya?"

Ada yang tercabik di dalam dada saat mengatakannya. Perih bak digores ribuan silet. Namun, sebisa mungkin aku tahan. Tak ingin lagi meneteskan air mata di depan pengkhianat seperti dia.

"Lun. Please ikut Mas pulang!" Tiba-tiba Mas Rayan mencengkeram tanganku erat. "Apa yang akan Mas katakan pada ibu kalau bertanya kenapa aku pulang sendirian." Dia sedikit menarik tubuhku. 

Aku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeramannya.

"Lepas Mas!" pintaku meringis karena kesakitan.

"Lepaskan tangan Luna!" Tiba-tiba Mas Zidan mendorong tubuh Mas Rayan hingga hampir terjengkang.

"Tolong ya. Gak usah ikut campur," hardik Mas Rayan menatap tajam pada Mas Zidan.

"Gak bisa dong. Aku gak bisa diam saja melihat ada kekerasan di rumahku. Apalagi pada sahabat adikku sekaligus karyawan di perusahaanku," jawab Mas Zidan berani.

"Aluna istriku. Aku bebas melakukan apapun," bela suamiku.

"Termasuk menyakitinya?" timpal Mas Zidan menohok. 

"Aku tidak akan menyakitinya. Karena aku sangat mencintainya." Mas Rayan masih terus membela diri.

"Kalau tidak disakiti, gak mungkin Aluna malam-malam datang ke sini dengan wajah menyedihkan. Malam pertama lagi. Kan lucu." Mas Zidan terkekeh meledek.

"Sudah Mas, sudah hentikan!" Aku mencoba melerai perdebatan di antara dua lelaki hampir seusia itu.

"Pulanglah Mas! Aku butuh sendiri dulu. Jangan temui aku lagi. Hatiku masih begitu sakit menerima kenyataan ini. Tolong beri aku waktu!" Aku melipat kedua tangan di dada tanda memohon.

Mas Rayan mengusap wajahnya kasar. Menghela napas berat kemudian mengembuskannya kasar.

"Baiklah. Kali ini Mas akan menyerah. Tapi Mas akan datang lagi untuk menjemputmu," jawab Mas Rayan lesu. "Mas merindukanmu Aluna. Sangat merindukanmu," lanjutnya dengan suara bergetar. Ada genangan air di kedua kelopak matanya.

Melihatnya terluka seperti itu, ingin rasanya aku menghambur ke dalam pelukannya. Menangis di dada bidangnya. Menumpahkan semua rasa sakit ini. Namun, teringat jika dada bidang itu bukan hanya milikku seorang, membuatku enggan melakukannya. Lukaku lebih besar dari lukanya.

Mas Rayan berbalik. Berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir tepat di halaman rumah ini. Sebelum membuka pintu mobilnya, Mas Rayan kembali menoleh. Menatap kepadaku dengan tatapan begitu sendu. Kesedihan tergambarkan jelas dari raut wajahnya.

Aku pun sama menatapnya. Mataku bahkan kini sudah basah bersimbah air mata. Aku mengusapnya dengan punggung tangan, sebelum akhirnya menutup pintu agar lelaki bertubuh tinggi tegap itu tak lagi terlihat lagi.

Aku terkulai lemas di pintu. Menumpahkan tangis yang tidak bisa lagi dibendung. Sakit. Sungguh lebih sakit dari apapun. Hatiku porak poranda berserakan. Entah bagaimana menyatukan kepingan demi kepingannya.

Karin mendekat. Berjongkok kemudian memegang kedua bahuku. Membantuku untuk berdiri meskipun tungkai masih terasa begitu lemas.

Gadis cantik berkulit putih itu membawaku dalam pelukannya. Mendekap tubuhku erat memberiku kedamaian.

Setelah agak membaik, Karin mengajakku untuk duduk di sofa. Mengelus punggungku lembut. Sesekali mengusap air mataku. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Namun, aku tau. Dukungannya lebih besar dari siapapun.

"Karin ... Mas Rayan, Rin," ucapku dengan air mata yang lagi-lagi berjatuhan.

"Sudah. Gak perlu cerita kalau kamu belum siap," jawab Karin sendu.

"Mas Rayan ternyata sudah punya istri," ucapku akhirnya dengan mulut tercekat.

"Apa?" Karin begitu terkejut dengan pengakuanku.

"Kok, bisa? Bukannya selama ini kalian pacaran baik-baik saja?" 

Aku menggeleng. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskannya. Sementara aku sendiri pun tidak tau apa-apa.

"Sebenarnya ... aku memang pernah melihat Mas Rayan sama perempuan," ucap Karin ragu. Aku langsung menoleh. Menatapnya dengan kening berkerut.

"Di mana?" tanyaku penasaran.

"Di rumah sakit. Tapi aku pikir mungkin aku salah lihat. Karena mereka sama anak kecil juga. Anak laki-laki sekitar umur lima atau enam tahunan," jelas Karin membuat dadaku semakin bergemuruh.

Anak kecil? Bukannya Mas Rayan bilang kalau dia menikah baru lima bulanan? Lalu siapa anak itu? Aku menebak-nebak sendiri dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status