Setelah mengecek Wa milik Mas Rayan, aku pun beralih ke galeri. Mungkin Mas Rayan menyimpan salah satu foto wanita itu. Nihil, tak kutemukan satu foto pun di sana. Galeri itu hanya dipenuhi oleh fotoku juga dirinya sendiri.Mas Rayan tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Lekas aku simpan kembali benda pipih itu. Setidaknya aku sudah mempunyai nomor wanita yang bernama Rumaisha.Aku pun naik kembali ke atas ranjang. Memejamkan mata dan tertidur.Selepas solat subuh, aku bergegas turun ke bawah. Menuju ke dapur di mana sudah mulai terdengar suara-suara khas perdapuran. "Pagi, Mbok," sapaku pada Mbok Acih yang sedang menyiapkan sarapan."Pagi, Nyony eh, Luna," jawab Mbok Acih serba salah.Aku hanya tersenyum. "Luna bantu ya, Mbok?" "Gak usah. Biar Mbok aja. Luna duduk saja," tolak Mbok Acih."Gak apa-apa. Soalnya Luna juga bingung mau ngapain. Di rumah juga biasanya suka bantuin ibu masak."Mbok Acih hanya mengangguk sambil tersenyum."Duh, mantu ibu yang cantik udah di dapur aja," tutu
Menatap bocah polos itu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku mencelos. Aku teringat pada adikku satu-satunya yang sudah meninggal dulu. Usianya persis sebesar ini saat adik yang begitu kusayangi itu mengembuskan napas terakhirnya karena sakit. Saat itu aku begitu terpukul. Terpuruk karena kehilangan. Usiaku baru sepuluh tahun kala itu."Dia Tante Luna. Hasan sun tangan dulu ya," titah Rumaisha lembut sambil membelai pucuk kepala anak yang dipanggil Hasan itu.Perlahan Hasan pun melangkah mendekat ke arahku. Meski ragu, namun akhirnya tangan mungil itu terulur. Aku pun ikut mengulurkan tangan. "Saya Hasan Tante," ucapnya seraya mencium punggung tanganku. Jadi ini Hasan yang dimaksud dalam pesan Mas Rayan untuk Rumaisha. Yang selalu ditanyakan kabarnya. Dia memang anak yang sopan. Pantas Mas Rayan menyayangi anak tirinya itu."Nama Tante Luna. Panggil saja Tante Luna ya?" pintaku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya lembut.Bocah itu mengangguk. Lalu mundur kembali ke arah Rumaisha."Hasa
Sepanjang perjalanan dari rumah Rumaisha, aku terus terngiang-ngiang semua kata-katanya. Juga terbayang wajahnya yang teduh dan tanpa riasan make up apa pun. Apa lagi kepolosan Hasan, membuatku semakin tak tega pada mereka. Aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Hanya mengikuti kaki melangkah. Untuk kembali ke rumah Mas Rayan, rasanya aku belum sanggup setelah mengetahui semua ini.Teriknya cuaca hari ini membuat peluh di sekujur tubuhku bercucuran. Panas sinar matahari yang menyengat tak kuhiraukan. Terkalahkan panasnya hati yang menggebu.Sedikit pun aku tidak menyangka, akan ditimpa masalah serumit ini. Pergi sulit, bertahan pun sakit.TiiiinnSebuh mobil menekan klakson cukup kencang hingga aku melonjak kaget dan terjatuh."Kamu tidak apa-apa?" Sebuah suara yang begitu kukenal terdengar persis di belakangku.Aku menoleh. Mataku sedikit melebar melihat dia ada di sana. Pun dengan dirinya yang terkejut melihatku."Aluna? Kamu gak apa-apa?" Mas Zidan berjongkok. Lalu membantu aku berdi
Melihat raut dan reaksi ibu, jantungku berdegup kencang. Wajahnya yang tiba-tiba pucat menandakan ia memang mengetahui sesuatu."Iya, Bu. Luna dari rumah Rumaisha. Apa ibu mengenalnya?" tanyaku selembut mungkin agar ia merasa tidak sedang diintrogasi."Ti-tidak. Ibu kan tidak mengenal teman-temanmu," jawab itu terbata. Matanya tak berani menatap mataku."Baiklah kalau ibu memang tidak mengenalnya. Luna ke kamar dulu ya, Bu. Mau bersih-bersih sama ganti baju."Ibu terdiam. Sepertinya ibu mertuaku itu sedang melamun atau tengah memikirkan sesuatu hingga tak mendengar ucapanku."Bu." Aku memegang bahunya."Ah, iya." Ia melonjak kaget."Luna ke kamar dulu," ulangku.Ibu mengangguk pelan. Jari jemarinya saling bertautan.Aku berjalan menaiki tangga. Sesekali menoleh ke arah ibu yang masih terpaku di tempatnya. Padahal, besar harapanku agar ibu mau berkata jujur padaku.Aku menghela napas kasar. Kemudian melanjutkan langkahku menuju kamar. Sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku d
Perkataan Mas Rayan barusan, bak palu godam yang menghantam dada. Hancur. Remuk redam hati ini. Tak disangka, semua orang yang kusayangi tega bersekongkol untuk membohongiku. Termasuk kedua orang tuaku sendiri.Aku tertunduk lemas. Berenang pada kubangan air mata yang mengalir semakin deras. Menikmati sayatan demi sayatan yang begitu mendera hati.Sesak dalam dada sudah tak lagi tertahankan. Bahkan hanya sekedar untuk bernapas pun aku kesulitan. Kenapa semua ini menimpaku? Kenapa harus aku? Aku gak mau dianggap pelakor oleh orang lain. Aku gak mau dianggap perusak rumah tangga wanita lain. Apa yang akan dikatakan oleh teman-temanku, tetanggaku, jika mereka semua mengetahui aku menikah dengan seorang pria beristri? Di mana harga diriku sebagai seorang wanita? Apalagi mereka semua sampai mengetahui kalau sang suami tega menceraikan istri pertamanya demi aku yang hanya istri kedua.Kepalaku menggeleng kuat. Tidak. Aku masih punya hati. Aku bukan wanita sekejam itu yang meminta suaminya u
Samar, aku mencium aroma kayu putih yang menusuk indera penciuman. Perlahan, mataku terbuka. Nyeri di kepala masih belum mereda. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan dahi mengernyit. Dimana ini? Aku sama sekali tidak mengenali tempat ini.Sebuah ruangan dengan ukuran cukup sempit. Hanya ada satu buah lemari usang yang berdiri di sisi ranjang yang aku tiduri. Bahkan ranjangnya pun lumayan keras. Kamar siapa? Aku kembali bertanya-tanya.Aku ingin mencoba bangkit. Namun, rasa nyeri di sekujur tubuh dan kepala yang masih berat membuatku tak kuat. Akhirnya aku kembali tergolek di kasur kapuk dengan seprei yang sudah usang.Aku mencoba kembali mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Ya, tadi aku berjalan seorang diri dalam derasnya hujan. Mungkin inilah sebabnya kepalaku terasa mau pecah. Dan kakiku? Ya ampun. Terasa bengkak dan ngilu. Aku meraba baju yang kukenakan. Ada yang aneh. Kenapa tidak basah? Tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang. Ya Tuhan. Baju siapa yang kug
Aku menghela napas pelan. Mungkin saja mereka khawatir dan mencari keberadaanku. Tapi, apa mereka memikirkan perasaanku sebelum menyembunyikan hal sebesar itu?"Keluargaku tidak akan khawatir, Bu. Tenang saja. Luna minta maaf sudah ngerepotin ibu di sini. Kalau besok Luna sudah merasa lebih baik, Luna pasti akan langsung pulang," jawabku pada Bu Halimah yang menampakkan raut cemas."Nak Luna jangan berpikiran seperti itu. Ibu senang kok bisa membantu Nak Luna. Gak repot sama sekali. Apalagi, ibu gak punya anak perempuan. Istirahatlah. Biar besok sudah baikan," timpal Bu Halimah seraya menyudahi aktivitas memijitnya dan menutupi tubuhku dengan selimut. Ah, bukan selimut. Lebih tepatnya kain jarik yang dijadikan selimut."Terima kasih," ujarku pelan.Bu Halimah mengangguk lalu keluar kamar. Lekas ia tutup kain gorden di ambang pintu itu.Aku memejamkan mata. Nyeri di kakiku sudah sedikit berkurang. Pun dengan kepalaku yang terasa lebih ringan. Kini berganti rasa kantuk yang menyerang be
"Lun. Luna? Kamu masih di sana, kan?" Lengkingan suara Karin di ujung telepon membuat kesadaranku kembali."Iya. Aku denger, kok. Makasih ya udah khawatir sama aku.""Aku kan sahabat kamu. Jelas khawatir lah. Makanya kamu kasih tau alamat sekarang di mana. Sekarang juga aku jemput kamu.""Gak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, aku masih bingung harus pulang ke mana. Mana dompet sama hp masih di rumah Mas Rayan.""Tuh kan. Udah deh. Mending dijemput aku aja. Aku janji gak akan bawa kamu ke rumahku kalau kamu masih mau menyendiri. Jangan numpang di rumah orang lain yang gak kamu kenal. Malu-maluin aja," cerocos Karin."Jangan ngomong gitu. Yang nolongin aku orang baik, kok.""Iya, aku tau. Kalau bukan orang baik, mana mau nolongin orang yang tak dikenal. Tapi tetep aja gak enak. Udah deh tinggal bilang sekarang ada di mana, biar aku langsung otw.""Iya iya. Aku tanya orangnya dulu. Soalnya aku juga gak begitu paham ada di daerah mana. Entar aku kirim alamatnya.""Gak pake entar