"Lun. Luna? Kamu masih di sana, kan?" Lengkingan suara Karin di ujung telepon membuat kesadaranku kembali."Iya. Aku denger, kok. Makasih ya udah khawatir sama aku.""Aku kan sahabat kamu. Jelas khawatir lah. Makanya kamu kasih tau alamat sekarang di mana. Sekarang juga aku jemput kamu.""Gak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, aku masih bingung harus pulang ke mana. Mana dompet sama hp masih di rumah Mas Rayan.""Tuh kan. Udah deh. Mending dijemput aku aja. Aku janji gak akan bawa kamu ke rumahku kalau kamu masih mau menyendiri. Jangan numpang di rumah orang lain yang gak kamu kenal. Malu-maluin aja," cerocos Karin."Jangan ngomong gitu. Yang nolongin aku orang baik, kok.""Iya, aku tau. Kalau bukan orang baik, mana mau nolongin orang yang tak dikenal. Tapi tetep aja gak enak. Udah deh tinggal bilang sekarang ada di mana, biar aku langsung otw.""Iya iya. Aku tanya orangnya dulu. Soalnya aku juga gak begitu paham ada di daerah mana. Entar aku kirim alamatnya.""Gak pake entar
Azam langsung menjabat tangan Mas Zidan. Bersalaman sambil membungkukkan sedikit badannya."Kakak kenal?" Karin bertanya mewakili pertanyaanku."Iya. Kenal dong. Azam ini kan marbot mesjid yang ditunjuk ayah kita dulu. Mesjid yang dibangun ayah kan ada di sekitar sini." Mas Zidan menjelaskan."Iya betul, Mbak. Pak Zidan juga sering memberikan bantuan buat yayasan yang ada di belakang mesjid. Bukan panti asuhan sih. Hanya yayasan kecil yang dikelola Pak Haji Umar. Tempat belajar mengaji anak-anak kecil. Kebanyakannya sudah yatim piatu. Memang jarang yang tau, karena Pak Zidan ini seringnya sembunyi-sembunyi." Kali ini giliran Azam yang menjelaskan.Aku cukup tercengang. Ternyata Mas Zidan selama ini begitu peduli pada orang-orang sekitar. Padahal di kantor atau pun dalam kegiatan sehari-hari, dia tidak menunjukkan semua itu. Aku salut padanya. Karena memang benar, saat tangan kanan kita memberi, lebih baik, tangan kiri juga tak perlu tau."Oh. Gitu ya," timpal Karin manggut-manggut.Ak
"Maafin aku ya, Rin. Aku udah banyak banget repotin kamu." Aku berkata dengan nada sendu. Juga kecewa mendengar penuturan Karin baru saja."Udah berkali-kali aku bilang aku gak keberatan. Cuma kalau untuk tinggal di sini lama-lama aku gak bisa. Aku gak mungkin ninggalin butik aku terlalu lama. Meminta Kak Zidan untuk sering-sering nengokin kamu juga gak mungkin. Kalian itu bukan muhrim. Bahaya kalau sampai berduaan di tempat sepi kayak gini. Apalagi status kamu sekarang sudah bersuami. Kasian Kak Zidan kalau dituduh pebinor gara-gara nyembunyiin kamu di sini. Meskipun sebenarnya dia memang suka sama kamu." Karin berkata panjang lebar.Tapi tunggu tunggu. Apa yang dikatakannya tadi? Mas Zidan suka sama aku? "Apa kamu bilang dari tadi, Rin? Mas Zidan suka sama aku?" tanyaku meyakinkan."Eh, enggak. Masa sih aku ngomong gitu? Salah dengar kali." Karin mengelak. Matanya menghindari tatapanku. Jelas-jelas aku tadi denger Karin bilang seperti itu."Oh. Mungkin juga," timpalku. Takutnya jik
Aku masih terpaku menatap ketiganya dengan dada yang tiba-tiba sesak. Seolah ada bongkahan batu besar yang menindih dada ini. Perih, sakit tak terperi. Ingin rasanya aku terperosok ke pusat bumi detik ini juga. Menghilang dan tak pernah muncul lagi. Penglihatan kini mulai berubah buram tertutup kabut air mata. Pantas saja Mas Rayan tak mencariku. Pantas saja dia seolah acuh dengan kepergianku. Ternyata dia sedang sibuk bersama Rumaisha, istri pertamanya."Luna. Kamu ke mana aja? Mas nyari-nyari kamu." Mas Rayan ternyata sudah berdiri di hadapanku dengan memasang wajah cemas. Apa kamu beneran mencemaskan aku Mas? Atau hanya sekedar pura-pura?Aku mengerjap. Membuat setitik air mata jatuh di pipi. Lalu buru-buru menyusutnya dengan punggung tangan. Aku memaksakan sedikit senyum kepada suamiku itu. Keputusan sudah kubuat. Bismillah. Mencoba jalani saja seperti niatku yang sudah bulat."Maafkan aku karena sudah membuat Mas cemas," tuturku dengan suara bergetar. Sebisa mungkin aku tahan air
Meski terasa berat, akhirnya kepalaku mengangguk juga. Akan kujalani apapun yang akan terjadi. Ujian ini memang berat, tapi teringat perkataan Bu Halimah tempo hari, jika bersabar, maka pahala yang besar menanti kita. "Terima kasih, ya, Sayang. Kamu mau mengerti dan menerima keadaan Mas!" Mas Rayan memelukku dari belakang. Mencium puncak kepalaku lembut.Aku hanya bisa tersenyum getir sambil menahan sayatan demi sayatan dalam dada.Setelah melaksanakan solat magrib tiga rakaat, aku segera bersiap untuk turun sesuai titah Mas Rayan tadi. Berjalan menuruni tangga kemudian berbelok menuju dapur.Sampai di sana, terlihat Mbok Acih sedang sibuk menyiapkan makan malam. Tangannya cekatan memindahkan beberapa menu masakan dari wajan ke mangkuk besar."Ada yang bisa Luna bantu, Mbok?" tanyaku menghampirinya. Mbok Acih menoleh, kemudian tersenyum."Gak usah. Duduk saja," tolaknya."Luna bantu siapin piring sama sendok aja ya, Mbok," tawarku lagi. Tak tega rasanya melihatnya kerepotan seperti i
Jantungku berpacu cepat. Dadaku naik-turun menahan gejolak cemburu. Apa lagi yang dilakukan suami istri di dalam kamar kalau bukan memenuhi hasrat satu sama lain. Pertanyaan yang benar-benar bodoh."Nanti siang aku jemput, ya? Hari ini jadwal kamu terapi." Suara Mas Rayan terdengar lembut. Tak kulihat bagaimana reaksi Rumaisha.Aku membekap mulut. Menjaga agar tangisku tak pecah. Perlahan kakiku mundur, lalu berlari kembali ke dalam kamar.Sejenak aku bersandar di pintu yang tertutup. Meredam gejolak emosi yang tiba-tiba menggelegak.Aku menyerah ya Alloh. Aku benar-benar tidak kuat. Baru sehari melihat suamiku dengan wanita lain hatiku sudah porak poranda. Bagaimana kalau seminggu? Sebulan? Aku bisa gila.Maafkan aku Tuhan. Bukan maksud aku ingin menentang syariatmu. Hanya saja ini terlalu menyakitkan buatku. Izinkan aku untuk mengikhlaskannya.Dengan kaki yang terasa tidak menapak, aku berjalan limbung ke arah lemari. Menurunkan koper dari atasnya, kemudian memasukkan semua baju yan
Jam istirahat sudah habis. Mas Zidan juga sudah kembali ke ruangannya. Aku hanya keburu melaksanakan solat dhuhur tanpa makan siang. Hanya satu buah coklat dengan segelas air putih yang masuk ke dalam perutku sebagai pengganjal.Melihat jarum jam yang terus berputar, aku kembali fokus pada berkas-berkas yang masih begitu banyak. Meskipun konsentrasi sempat buyar karena ucapan Mas Zidan tentang kedatangan Mas Rayan ke sini, namun aku berusaha kembali mengabaikan hal itu. Beruntung Mas Zidan sigap bertindak dengan tidak mengizinkan suamiku itu masuk.Aku sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana jika orang-orang di kantor ini tau tentang posisiku sebagai istri kedua. Meskipun mereka semua tidak tau bagaimana cerita yang sesungguhnya, tetap saja istri kedua selalu identik dengan sebutan pel*kor. Padahal jelas-jelas, dalam hal ini, aku juga termasuk korban.Tok tokPintu terdengar diketuk. Aku menyuruhnya masuk. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar saat pintu mulai dibuka.Rum
Mas Rayan kembali duduk di dekat bapak. Wajahnya nampak menunjukkan rasa bersalah sekaligus kegamangan."Maafkan saya, Pa, Bu. Semua ini benar-benar di luar perkiraan saya," tutur Mas Rayan setelah dia menceritakan apa yang terjadi pada Rumaisha."Bapak sama ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Kami serahkan semuanya pada Luna. Dia yang akan menjalani ini semua. Namun, bapak masih menegang janji Nak Rayan untuk tidak menyakiti hati putri kami," jawab bapak bijak."Ibu memang tidak pernah merasakan bagaimana dipoligami. Tapi, ibu tau, dengan mengetahui Nak Rayan mempunyai istri lain selain Luna saja, Luna sudah sangat terluka. Apalagi kalau tinggal dalam satu atap seperti itu. Tidak akan ada wanita yang sanggup," bela ibu dengan langkah kaki mendekat ke arahku. Ditatapnya mataku dengan tatapan sendu.Ah, ibu. Engkau pasti jauh lebih terluka melihat anakmu yang kau besarkan dengan kasih sayang ini juga terluka. "Bu, Pa, Luna boleh minta izin sebenar untuk bicara berdua dengan Mas Rayan?" Ak