Share

Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya
Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya
Author: Siska_ayu

Bab 1

"Maafkan, Mas, ya. Untuk beberapa hari ke depan, sepertinya Mas belum bisa mengunjungimu. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan yang bener, biar cepat sehat!" Mas Rayan, suamiku, menyimpan gawainya dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya.

Aku tertegun di ambang pintu kamar mandi. Mengenakan pakaian resmi khas istri di malam hari. Jantungku berdegup kencang mendengar perbincangkan laki-laki yang siang tadi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu dengan seseorang di sebrang sana yang entah siapa. Namun, satu hal yang pasti. Aku yakin bahwa yang baru saja dihubunginya itu seorang perempuan.

Mas Rayan, yang baru menjadi lelaki halalku beberapa jam lalu sempat terlihat terkejut saat memandang ke arahku. Namun, sesaat kemudian, dia berusaha mengendalikan keadaan dengan berpura-pura tidak ada apa-apa.

"Sayang, sudah selesai mandinya?" tanyanya seraya berjalan hendak menghampiriku.

Aku menatapnya tajam. Debaran di dada masih begitu kuat hingga gemuruhnya seakan terdengar menembus kulit.

"Siapa dia Mas?" Aku memandangnya dengan tatapan menusuk.

"Ma-maksud kamu apa, Sayang?" tanyanya tergagap. Ketegangan tergambar jelas dari wajahnya.

"Siapa yang baru saja kamu telepon?" Aku kembali bertanya setenang mungkin. Berusaha mengendalikan emosi yang mulai membuncah.

"Ma-maksud kamu apa? Mungkin kamu salah dengar." Mas Rayan memegang kedua bahuku, mencoba meraih tubuhku dalam dekapannya.

Aku menghempaskan tangannya kasar. Pandangan sudah mulai buram karena tertutup kabut air mata yang hampir tumpah. Hanya saja, aku mencoba menahannya. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang tidak meremukkan hatiku.

"Sekali lagi aku bertanya. Siapa orang yang sudah kamu telepon dengan penuh perhatian tadi?" Kali ini nada bicaraku mulai meningkat. Aku terlanjur kesal menunggunya untuk menjawab.

"Baik. Baik, Sayang. Aku akan katakan. Kita duduk dulu!" pintanya sambil merangkul bahuku dan membantu aku berjalan. Kali ini aku membiarkannya memapahku, lalu duduk di pinggir ranjang.

Kami duduk saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap lembut kedua pipiku yang sudah teraliri air mata.

"Maafkan, Mas. Maafkan, Mas!" ucapnya dengan bibir gemetar. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang siap pecah.

Jantungku semakin berdebar hebat kala kata maaf itu keluar dari bibirnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba meminta maaf jika tidak melakukan kesalahan fatal. Tapi apa? Hatiku terus menebak seraya menunggu lanjutan perkataannya.

Laki-laki berusia dua puluh enam tahun di hadapanku ini menunduk dalam. Seolah kesalahan besar memang telah ia lakukan. Bibirnya terkunci rapat seolah berat untuk mengatakannya.

"Minta maaf untuk apa, Mas?" tanyaku akhirnya karena terdorong rasa penasaran yang amat dalam. Emosi di dada sudah semakin menggelegak.

"Sebenarnya, orang yang tadi aku telepon itu Rumaisha," jawabnya pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.

Keningku mengernyit. Berusaha mengingat-ingat nama yang baru saja terlontar dari mulut suamiku. Mungkin itu nama saudaranya, rekan kerjanya, atau temannya. Nihil, aku sama sekali tidak mengingatnya dan tidak mengenalnya sama sekali. Padahal, dua tahun jalinan asmara kami nyaris selalu dilandasi keterbukaan. Tentang apapun.

"Siapa Rumaisha, Mas? Kenapa di malam pertama kita, kamu malah menelpon wanita lain dan memberikan perhatian lebih padanya?" tanyaku dengan emosi yang mulai memuncak. Buliran bening tak hentinya bercucuran dari kedua kelopaknya.

"Dia ... dia istriku," jawabnya pelan tapi berhasil menusuk jantungku begitu dalam. Dua kata yang dia ucapkan, tak ubahnya petir di siang bolong. Hatiku perih luar biasa. Rasanya, bak ada ribuan jarum yang menancap secara bersamaan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Istri?" Aku tertawa menyeringai sambil berderai air mata. Mencoba berdiri meski tungkai serasa tak bertulang. "Lalu aku apa?" teriakku sambil menunjuk dada sendiri. Pecah sudah segumpal daging yang di dalamnya. Berserakan.

Menjalin kasih selama dua tahun denganku, kenapa tiba-tiba dia sekarang bilang punya istri? Apa selama ini aku yang bodoh? Tidak mengetahui gerak-gerik mencurigakan darinya.

Mas Rayan ikut berdiri. Mendekat, mencoba meraih tubuhku untuk dipeluknya. Seketika aku mendorongnya sekuat mungkin.

"Jangan berani-berani menyentuhku!" Aku menyimpan telunjuk tepat di depan wajahnya.

"Lun, please jangan seperti ini! Tolong biarkan Mas jelaskan semuanya," pintanya seraya mencoba kembali mendekatiku.

"Stop di situ! Jangan mendekat!" Aku berteriak dengan dada yang naik turun. Emosiku benar-benar sudah naik ke ubun-ubun. Mataku yang memerah nyalang menatapnya.

Mas Rayan mengentikan langkahnya. Terpaku menatapku dengan tatapan sendu.

Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin. Tapi sadar bahwa kini aku sedang ada di hotel. Aku hanya bisa tergugu. Menangis sesenggukan tanpa sandaran. Hingga akhirnya aku merasa tubuhku tak lagi bertulang. Ambruk. Terduduk lesu di lantai.

Malam ini, malam pertama yang seharusnya kami habiskan dengan mereguk manisnya madu cinta, justru berakhir nestapa mendapati kenyataan bahwa madu cinta yang disuguhkan ternyata pahit melebihi empedu.

Bahkan, baju dinas malam yang baru saja aku kenakan, belum tersentuh tangannya sama sekali. Aku hancur di malam pertama kami. Aku hancur di hari pertama menjadi seorang istri.

"Sejak kapan, Mas? Kapan kalian menikah?" tanyaku setelah emosiku sedikit mereda. Wajah senduku terangkat menatapnya yang masih berdiri terpaku.

"Lima bulan yang lalu," jawabnya dipenuhi rasa bersalah. Matanya juga sudah basah dipenuhi lelehan air dari kedua sudut matanya.

Di sini, aku yang tersakiti. Kenapa justru dia ikut menangis?

Lagi aku tersenyum menyeringai. Merasa tertipu karena menikah dengan pria beristri. Padahal, aku lah kekasihnya selama dua tahun ini. Kenapa aku tidak pernah melihat gelagat anehnya selama ini? Dia benar-benar tidak pernah menunjukkan bahwa ia sudah memiliki seorang istri.

"Mas bisa jelaskan semuanya, Lun. Semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan." Mas Rayan ikut duduk di lantai. Hingga posisi kami berhadapan dengan jarak cukup berjauhan.

"Percuma, Mas. Semuanya sudah terlanjur terjadi bukan? Aku tertipu. Aku sudah terlanjur menikah dengan pria beristri. Aku bukan pelakor, Mas. Aku tidak ingin disebut pelakor. Kembalilah pada istri pertamamu dan ceraikan aku!" Nada bicaraku mulai melemah. Seiring hati yang porak poranda dan tak berbentuk lagi.

"Tidak, Lun. Mas mohon jangan katakan itu. Pernikahan Mas dengan Rumaisha hanya terpaksa. Semua hanya karena tanggung jawab. Mas hanya mencintaimu. Hanya kamu seorang," lirihnya dengan air mata yang juga deras sama sepertiku.

"Jangan bicara cinta kalau di hari pertama pernikahan kita saja kamu sudah menyakitiku. Kamu sudah menipuku, Mas. Kamu membohongiku!" Aku kembali berteriak. Histeris. Tak kuat lagi rasanya menahan sayatan demi sayatan yang begitu mengoyak hati.

Dengan gontai aku berdiri. Mengusap air mata dengan kasar. Masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu sekencang mungkin. Kulepaskan baju lingerie berwarna merah muda hadiah dari suamiku sore tadi. Untuk menyambut malam pertama kami katanya. Menggantinya dengan kaos lengan panjang dan rok selutut.

Aku mematut diri di cermin. Mata yang sembab, hidung memerah, dan rambut acak-acakan. Terlihat sangat menyedihkan. Setelah membereskan rambutku seperlunya, aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

Mas Rayan sudah duduk di bibir ranjang saat aku keluar dari kamar mandi. Tak kuhiraukan tatapannya yang terlihat nelangsa. Aku mengambil tas selempang dan gawai yang tersimpan di nakas.

"Kamu mau ke mana, Sayang?" Mas Rayan mencengkeram pergelangan tanganku. "Ini malam pertama kita."

"Tidak ada malam pertama, malam kedua ataupun seterusnya. Aku mau pergi. Ceraikan aku dan kembalilah pada istri pertamamu!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rinlee
bagus ceritanya, aku suka dg karakter perempuan yg tegas.
goodnovel comment avatar
Ayum Lintang Efendi
nah aku suka dengan wanita seperti ini tak mau diinjak.semangat para wanita.kita bukan rumput yang diinjak tetap diam.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status