Aku tertegun di ambang pintu kamar mandi. Mengenakan pakaian resmi khas istri di malam hari. Jantungku berdegup kencang mendengar perbincangkan laki-laki yang siang tadi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu dengan seseorang di sebrang sana yang entah siapa. Namun, satu hal yang pasti. Aku yakin bahwa yang baru saja dihubunginya itu seorang perempuan.
Mas Rayan, yang baru menjadi lelaki halalku beberapa jam lalu sempat terlihat terkejut saat memandang ke arahku. Namun, sesaat kemudian, dia berusaha mengendalikan keadaan dengan berpura-pura tidak ada apa-apa.
"Sayang, sudah selesai mandinya?" tanyanya seraya berjalan hendak menghampiriku.
Aku menatapnya tajam. Debaran di dada masih begitu kuat hingga gemuruhnya seakan terdengar menembus kulit.
"Siapa dia Mas?" Aku memandangnya dengan tatapan menusuk.
"Ma-maksud kamu apa, Sayang?" tanyanya tergagap. Ketegangan tergambar jelas dari wajahnya.
"Siapa yang baru saja kamu telepon?" Aku kembali bertanya setenang mungkin. Berusaha mengendalikan emosi yang mulai membuncah.
"Ma-maksud kamu apa? Mungkin kamu salah dengar." Mas Rayan memegang kedua bahuku, mencoba meraih tubuhku dalam dekapannya.
Aku menghempaskan tangannya kasar. Pandangan sudah mulai buram karena tertutup kabut air mata yang hampir tumpah. Hanya saja, aku mencoba menahannya. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang tidak meremukkan hatiku.
"Sekali lagi aku bertanya. Siapa orang yang sudah kamu telepon dengan penuh perhatian tadi?" Kali ini nada bicaraku mulai meningkat. Aku terlanjur kesal menunggunya untuk menjawab.
"Baik. Baik, Sayang. Aku akan katakan. Kita duduk dulu!" pintanya sambil merangkul bahuku dan membantu aku berjalan. Kali ini aku membiarkannya memapahku, lalu duduk di pinggir ranjang.
Kami duduk saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap lembut kedua pipiku yang sudah teraliri air mata.
"Maafkan, Mas. Maafkan, Mas!" ucapnya dengan bibir gemetar. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang siap pecah.
Jantungku semakin berdebar hebat kala kata maaf itu keluar dari bibirnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba meminta maaf jika tidak melakukan kesalahan fatal. Tapi apa? Hatiku terus menebak seraya menunggu lanjutan perkataannya.
Laki-laki berusia dua puluh enam tahun di hadapanku ini menunduk dalam. Seolah kesalahan besar memang telah ia lakukan. Bibirnya terkunci rapat seolah berat untuk mengatakannya.
"Minta maaf untuk apa, Mas?" tanyaku akhirnya karena terdorong rasa penasaran yang amat dalam. Emosi di dada sudah semakin menggelegak.
"Sebenarnya, orang yang tadi aku telepon itu Rumaisha," jawabnya pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.
Keningku mengernyit. Berusaha mengingat-ingat nama yang baru saja terlontar dari mulut suamiku. Mungkin itu nama saudaranya, rekan kerjanya, atau temannya. Nihil, aku sama sekali tidak mengingatnya dan tidak mengenalnya sama sekali. Padahal, dua tahun jalinan asmara kami nyaris selalu dilandasi keterbukaan. Tentang apapun.
"Siapa Rumaisha, Mas? Kenapa di malam pertama kita, kamu malah menelpon wanita lain dan memberikan perhatian lebih padanya?" tanyaku dengan emosi yang mulai memuncak. Buliran bening tak hentinya bercucuran dari kedua kelopaknya.
"Dia ... dia istriku," jawabnya pelan tapi berhasil menusuk jantungku begitu dalam. Dua kata yang dia ucapkan, tak ubahnya petir di siang bolong. Hatiku perih luar biasa. Rasanya, bak ada ribuan jarum yang menancap secara bersamaan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Istri?" Aku tertawa menyeringai sambil berderai air mata. Mencoba berdiri meski tungkai serasa tak bertulang. "Lalu aku apa?" teriakku sambil menunjuk dada sendiri. Pecah sudah segumpal daging yang di dalamnya. Berserakan.
Menjalin kasih selama dua tahun denganku, kenapa tiba-tiba dia sekarang bilang punya istri? Apa selama ini aku yang bodoh? Tidak mengetahui gerak-gerik mencurigakan darinya.
Mas Rayan ikut berdiri. Mendekat, mencoba meraih tubuhku untuk dipeluknya. Seketika aku mendorongnya sekuat mungkin.
"Jangan berani-berani menyentuhku!" Aku menyimpan telunjuk tepat di depan wajahnya.
"Lun, please jangan seperti ini! Tolong biarkan Mas jelaskan semuanya," pintanya seraya mencoba kembali mendekatiku.
"Stop di situ! Jangan mendekat!" Aku berteriak dengan dada yang naik turun. Emosiku benar-benar sudah naik ke ubun-ubun. Mataku yang memerah nyalang menatapnya.
Mas Rayan mengentikan langkahnya. Terpaku menatapku dengan tatapan sendu.
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin. Tapi sadar bahwa kini aku sedang ada di hotel. Aku hanya bisa tergugu. Menangis sesenggukan tanpa sandaran. Hingga akhirnya aku merasa tubuhku tak lagi bertulang. Ambruk. Terduduk lesu di lantai.
Malam ini, malam pertama yang seharusnya kami habiskan dengan mereguk manisnya madu cinta, justru berakhir nestapa mendapati kenyataan bahwa madu cinta yang disuguhkan ternyata pahit melebihi empedu.
Bahkan, baju dinas malam yang baru saja aku kenakan, belum tersentuh tangannya sama sekali. Aku hancur di malam pertama kami. Aku hancur di hari pertama menjadi seorang istri.
"Sejak kapan, Mas? Kapan kalian menikah?" tanyaku setelah emosiku sedikit mereda. Wajah senduku terangkat menatapnya yang masih berdiri terpaku.
"Lima bulan yang lalu," jawabnya dipenuhi rasa bersalah. Matanya juga sudah basah dipenuhi lelehan air dari kedua sudut matanya.
Di sini, aku yang tersakiti. Kenapa justru dia ikut menangis?
Lagi aku tersenyum menyeringai. Merasa tertipu karena menikah dengan pria beristri. Padahal, aku lah kekasihnya selama dua tahun ini. Kenapa aku tidak pernah melihat gelagat anehnya selama ini? Dia benar-benar tidak pernah menunjukkan bahwa ia sudah memiliki seorang istri.
"Mas bisa jelaskan semuanya, Lun. Semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan." Mas Rayan ikut duduk di lantai. Hingga posisi kami berhadapan dengan jarak cukup berjauhan.
"Percuma, Mas. Semuanya sudah terlanjur terjadi bukan? Aku tertipu. Aku sudah terlanjur menikah dengan pria beristri. Aku bukan pelakor, Mas. Aku tidak ingin disebut pelakor. Kembalilah pada istri pertamamu dan ceraikan aku!" Nada bicaraku mulai melemah. Seiring hati yang porak poranda dan tak berbentuk lagi.
"Tidak, Lun. Mas mohon jangan katakan itu. Pernikahan Mas dengan Rumaisha hanya terpaksa. Semua hanya karena tanggung jawab. Mas hanya mencintaimu. Hanya kamu seorang," lirihnya dengan air mata yang juga deras sama sepertiku.
"Jangan bicara cinta kalau di hari pertama pernikahan kita saja kamu sudah menyakitiku. Kamu sudah menipuku, Mas. Kamu membohongiku!" Aku kembali berteriak. Histeris. Tak kuat lagi rasanya menahan sayatan demi sayatan yang begitu mengoyak hati.
Dengan gontai aku berdiri. Mengusap air mata dengan kasar. Masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu sekencang mungkin. Kulepaskan baju lingerie berwarna merah muda hadiah dari suamiku sore tadi. Untuk menyambut malam pertama kami katanya. Menggantinya dengan kaos lengan panjang dan rok selutut.
Aku mematut diri di cermin. Mata yang sembab, hidung memerah, dan rambut acak-acakan. Terlihat sangat menyedihkan. Setelah membereskan rambutku seperlunya, aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Mas Rayan sudah duduk di bibir ranjang saat aku keluar dari kamar mandi. Tak kuhiraukan tatapannya yang terlihat nelangsa. Aku mengambil tas selempang dan gawai yang tersimpan di nakas.
"Kamu mau ke mana, Sayang?" Mas Rayan mencengkeram pergelangan tanganku. "Ini malam pertama kita."
"Tidak ada malam pertama, malam kedua ataupun seterusnya. Aku mau pergi. Ceraikan aku dan kembalilah pada istri pertamamu!"
Mas Rayan terlihat tersentak dengan kata-kataku. Tajam dan penuh penekanan. Bagiku, pernikahan yang diawali dengan kebohongan tidak akan berlangsung bahagia. Pernikahan itu suatu ikatan yang sakral dan suci. Dimulainya harus dengan kejujuran dan keterbukaan. "Mas mohon, Lun. Jangan tinggalkan, Mas. Mas benar-benar mencintaimu. Mas menikahinya hanya karena tanggung jawab. Demi Tuhan, Mas tidak pernah menyentuhnya!" Mas Rayan memandangku sendu. Mas Rayan tidak mau melepaskan tangannya dari tanganku. Aku sudah berusaha, tapi tenaganya jauh lebih besar. "Omong kosong. Mana ada udah nikah berbulan-bulan tapi tidak pernah disentuh. Kebohongan apalagi yang kamu buat, Mas? Drama apa lagi yang sedang kamu rencanakan?" Aku memandangnya dengan tatapan menghujam."Aku berani bersumpah. Aku masih suci dan belum pernah menyentuhnya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kuinginkan. Bukan yang lain." Mas Rayan terus mengiba. Namun, hatiku terlanjur sakit dengan pengakuannya. Apa pun yang dikatakann
Aku menunduk. Menyembunyikan wajah yang pasti terlihat menyedihkan dan berantakan."Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran."Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah."Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya."Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya." Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.Sementara
Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati."Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan."Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi."Ma
"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama."Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin."Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam."Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menaseh
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya