Share

Bab 2. Jatuh Dalam Pelukan

Pasti dia orang kota yang kesasar ke desa.

Penampilannya lumayan. 

Akupun kembali ke kegiatanku yang mentotal hasil timbangan menyelesaikan pekerjaanku. Begitu pula Bulik Narti yang sibuk membuat nota untuk pengiriman sebentar lagi. 

Bagi kami, laki-laki model apapun sama saja. Sebagai janda harus ekstra hati-hati menjaga hati, pikiran terutama,  mata.

Mang Diman langsung berdiri menghampiri lelaki itu di depan, terlihat mereka berbincang sambil sesekali dia menunjuk-nunjuk jalan. 

Ah, mungkin dia bertanya bertanya arah jalan. 

Biasa, orang kota akan salah jalan kalau ke desa kami. Jalan-jalan kecil banyak sekali di sini sebagai penghubung lahan pertanian. Jalannya tidak beraspal, tetapi cukup kuat untuk dilalui truk pengangkut hasil bumi.

Kalau tidak biasa ke daerah sini, bisa-bisa orang akan mutar-mutar terjebak di lahan pertanian itu saja.

Orang itu dan Mang Diman menghampiriku.

"Mbak Kartika, Mas ini mau beli tomat. Apa masih ada yang bisa di beli ngecer?" tanya Mang Diman.

Aku yang duduk menengadah ke arahnya yang menjulang tinggi di depanku. Dia menatapku seakan kaget dan menyerngitkan dahi. 

"Kamu?!" teriaknya. "Maaf, maaf. Saya mungkin salah orang," ralatnya secepatnya sambil mengusap tengkuknya dan tersenyum. 

Aku tersenyum canggung ke arahnya, aneh saja melihat ekspresinya tadi. Tetapi, dia terlihat manis, sih.

"Sebentar, ya," kataku langsung berdiri mencari tomat yang tersisa. 

Semua tomat sudah dimasukkan keranjang-keranjang yang sudah di timbang dan sudah dibuatkan nota untuk dikirim. 

"Maaf Mas, tomatnya habis. Yang ini sudah pesanan. Kalau di pasar ada kok," kataku sambil tersenyum.

Dia membuka kaca mata hitamnya dan menyelipkan di kerah bajunya. Wajahnya yang tampan terlihat jelas terpampang di depanku. 

"Mbak tadi saya sudah ke pasar. Di sana ada tomat, tetapi tidak ada yang warna merah dan matang. saya malah disuruh ke sini. Ayolah mbak. Bagi berapa kilo saja," katanya sambil tersenyum manis.

Memang kalau di pasar, mereka suka menjual tomat yang tidak terlalu matang. Karena lebih awet dan tidak gampang hancur. 

"Kalau saya tidak bawa tomat, bisa digantung saya sama orang rumah," ucapnya lagi.

Ih, orang ini beli tomat saja sampai acara gantung menggantung. Sadis amat istrinya. 

"Mas, tapi ini sudah pesanan semua. Kalau untuk besuk, pasti saya bisa sisihkan yang merah dan matang," ucapku lagi.

Tidak mungkin aku membongkar tomat-tomat ini untuk memilih tomat yang dia inginkan. Apalagi dalam satu keranjang campur ada yang matang dan ada yang setengah matang.

"Aduh! Bagaimana ini, ya?" gumamnya.

"Atau begini saja, saya beli satu keranjang nanti saya ambil yang warna merah saja. Tenang saja, saya bayar semuanya," ucapnya mengusulkan solusi.

"Maaf Mas. Semua sudah pesanan."

Mas satu ini, wajahnya tampan tapi kok bebal, ya. Dijelaskan tidak ngerti-ngerti!

"Kartika, tomatmu saja bagi sedikit!" teriak Bulik Surti dari dalam. 

Aku menoleh ke arahnya dan segera masuk dan ambil tas kresek berisi tomat yang aku sisihkan. Sebenarnya enggan membaginya, aku sudah ada rencana nanti sore akan membuat saus tomat. Sudah ada pesanan untuk besuk. 

Aku membuat saus tomat yang aku jual online, lumayan hasilnya, sekalian untuk membunuh waktuku yang tersisa banyak. 

"Nah! Tomat yang seperti ini yang saya cari!" teriaknya senang. Dia mengambil tomat yang merah dan segar dari kresek yang aku bawa.

"Mas! Saya hanya bisa bagi setengah kilo. Ini saya mau pakai sendiri!" ucapku kesal. Kalau dibagi banyak dengan dia, bisa-bisa rencanaku gagal.

"Mbaknya mau pakai apa, sih. Kok banyak sekali!" ucapnya ngotot juga. 

Dia menarik tas kresek yang aku pegang dan sekarang sekresek tomat sudah pindah di tangannya.

"Mas, jangan di ambil semua. Rencana saya bisa gagal!" 

Aku teriak sambil mencoba meraih tas kresek itu. Dia berkelit dengan memiringkan badannya ke samping. Gerakannya yang cepat itu membuatku hanya menangkap ruang kosong dan badanku terhuyun ke depan.

Aduh!

Mataku langsung terpejam dan pasrah dengan akhir pasti terjerembab di tanah. Rasa sakit dan malu sudah terbayang jelas di otakku.

"Mbak, buka matanya."

Bukan bunyi bruk yang aku dengar atau rasa sakit yang dirasa, tetapi suara detakan jantung terdengar jelas ditelingaku. Bau tanah juga tidak ada, terganti dengan parfum yang menguar di hidungku. Tidak sakit, tetapi terasa nyaman. 

Tanganku meraba dan bukan tanah yang rasa, tetapi seperti .... 

"Mbak."

Suara itu!

Berlahan aku buka mataku dan kaget melihat aku sudah di dalam pelukan. Aku mendongakkan wajahku, cahaya silau membutakan pandangan dan tersamar terlihat wajah tampan dengan senyuman manis.

Kupejamkan mataku lagi setelah tersadar dimana aku sekarang, berharap ini hanya bayangan. 

Secepatnya aku melepaskan diri dari pelukannya dan menjauh darinya. 

Pipiku menghangat dan jantungku berdetak lebih kencang. 

Aduh! Kenapa harus berakhir seperti ini?

Aku lihat sekeliling tomatku sudah berserakan dengan tas kresek yang sobek teronggok di tanah. Sepertinya aku berhasil meraihnya dan sobek sehingga tomat berhamburan seperti sekarang ini.

"Maaf, tadi saya mencoba menyelamatkan supaya tidak jatuh," katanya sambil tersenyum kikuk. Wajahnya juga memerah karena proses penyelamatan gaya India tadi.

"Terima kasih, ya," ucapku sambil menunduk.

Entah kenapa selain malu, jantungku juga berdetak lebih kencang. Ah, mungkin karena kaget saja, atau efek bertemu laki-laki tampan. Apalagi di kampung yang hanya bertemu dengan pak petani yang selalu bergulat dengan tanah.

Ah, itu hanya perasaan yang tidak penting. Aku berusaha menepis rasa yang tidak perlu ini. Fokusku sekarang, menyembuhkan diri dan melanjutkan hidup untuk bahagia.

Aduh! Malu, super malu!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status