Share

Ketika Perjaka Terpikat Janda
Ketika Perjaka Terpikat Janda
Penulis: Astika Buana

Bab 1. Siapa Dia?

"Maaf Kartika. Aku minta maaf, memang itu adanya. Pilihan ada di tangan kamu. Aku ikut apapun keputusannya," ucap Mas Faiz dengan menggenggam kedua tangan ini. Matanya yang sendu menatapku, seolah ada penyesalan tergambar disana.

Aku tepis tangannya dan segera berdiri dan mengambil tasku. Pilihan macam apa itu? Dimadu atau bercerai. 

Seakan-akan keputusan ada di tanganku. Terasa aku seperti masuk perangkap, sehingga harus bilang iya dengan apa yang mereka mau.

Enak saja!

Setelah pernikahan kami yang sudah tiga tahun seperti tidak berbekas. Apalagi melihat tatapan matanya. 

Huuff ....

Dia seakan memposisikan dirinya adalah korban, dan seakan hidupnya ada ditanganku. Pura-pura tidak mau, padahal dia bisa menolak keputusan orang tuanya.

Kalau dia mau.

"Kartika! Jangan pergi!" teriaknya dengan tangan direntangkan ingin menggapaiku. Berkelit aku dari tangannya. Beberapa tamu di restoran ini menoleh ke arah kami karena keributan ini. 

Aku segera berlari meninggalkannya dan sesekali menoleh ke belakang.

Bruk!

"Maafkan saya!"  ucapku menundukkan badan setelah menabrak seorang lelaki, dan langsung berlari tanpa melihatnya lagi.

Setiba di tempat parkir, aku menoleh ke belakang berharap Mas Faiz akan mengejarku. Tidak ada sosoknya, apalagi bayangannya. 

Bukankah kalau mau dia bisa mengejarku?

Hatiku terasa sakit. 

Merasa tidak dibutuhkan dan terbuang.

Aku kira dia mengajakku makan di luar karena dia sudah sadar bahwa akulah satu-satunya orang yang di cintainya. 

Ternyata tidak!

Sikapnya yang tidak tegas membuatku memilih mundur dan di sinilah aku sekarang, ditengah-tengah hamparan tomat.

***

"Kartika! Sudah selesai ditimbang?!" teriak Bulik Surti.

Dia adalah adik ibuku yang di kampung sebagai pengumpul hasil bumi. Ada beberapa pengepul di kampungku, tetapi buliklah yang paling ramai. Selain orangnya ramah, dia juga tidak menekan harga rendah ke petani. 

"Aku ambil secukupnya. Yang penting masih ada untung, walaupun sedikit." Itu yang selalu dikatakan.

Tidak jarang pengepul lainnya meneror Bulik Surti karena tidak mau menurut dengan mereka yang mematok harga rendah ke petani. 

Statusnya yang seorang janda, sering kali menjadi bahan gunjingan mereka untuk mengadu domba petani dengan para istrinya. 

Mereka tega menyebar gosip kalau petani setor ke bulik karena dia janda genit. Bahkan, ada juga seorang istri yang datang melabrak. Walaupun berakhir dia minta maaf dan pulang dengan membawa bekal dari bulik.

Bulik Surti memang orang yang baik.

"Kartika, kalau nimbang sambil melamun kapan selesainya? Capek?" kata Bulik sambil tersenyum. Dia langsung mengangkat keranjang tomat untuk di timbang. 

Di usianya yang sudah kepala empat, dia masih terlihat cantik, segar dan kuat. Entah kenapa setelah meninggalnya Paklik Yanto, dia tidak mau menikah lagi.

"Juragan Surti! Biar Mang Diman yang angkat!" teriak Mang Diman yang baru memarkir mobil bak.

Juragan Surti, itu panggilan orang kampung di sini.

Tergopoh dia menghampiri kami untuk membantu menimbang keranjang-keranjang tomat ini. Dia Mang Diman, sopir termasuk tenaga serabutan yang bekerja di Bulik Surti. 

"Harga tomat sekarang anjlok ya,  Bulik. Aku sampai tidak tega dengan petani yang setor," ucapku mengingat kejadian tadi pagi. 

Petani berbondong-bondong memikul tomat dan pulang hanya membawa uang tidak seberapa.

Sudah satu minggu aku membantu Bulik Surti. Itupun atas paksaan ibu karena kawatir keadaanku yang selalu murung memikirkan nasib yang tidak jelas ini. 

Benar kata ibu, membantu disini membuatku lebih bersemangat. Pikiranku tidak terpusat lagi dengan Mas Faiz yang sudah mencampakkanku.

"Yah begitulah. Harga hasil pertanian akan anjlok ketika musim panen," kata Bulik.

"Tetapi, tidak segitunya. Satu kilo dua ribu tiga ratus. Parkir saja dua ribu. Apa tidak bisa dinaikkan atau digenapkan, gitu?" 

"Itu sudah harga mentok, Tik. Harga di sini sudah paling tinggi. Aku ngikuti harga tengkulak yang ngambil ke sini," terangnya.

Kasihan sekali petani, harga segitu bisa untuk apa? Mereka serba salah, dijual harganya rendah, kalau tidak di jual barangnya busuk. Sedangkan kebutuhan sehari-hari mereka tidak bisa menunggu lama. 

Kampung kami dianugerahi tanah yang subur. Tomat, cabai dan sayur-sayuran adalah andalan petani di sini. 

Sayang sekali, kesuburan tanah di sini tidak membuat petani subur secara ekonomi. Harga hasil pertanian yang rendah ketika musim panen mengakibatkan kondisi ekonomi mereka tidak berkembang.

"Harga segitu saja, aku sering diteror dengan tengkulak lainnya. Sering kali mereka memanfaatkan status jandaku ini, mereka membuat gosip-gosip tidak jelas! Kamu juga harus hati-hati. Apalagi kamu janda, masih muda, cantik lagi," ucapnya dengan menepuk bahuku.

Aku tersenyum kecut, mengingat nasibku yang sekarang, ini. Diumur dua puluh lima tahun, sudah menjanda.

"Bulik, lebih baik seperti sekarang ini. Dari pada punya suami tetapi batin tersiksa!" ucapku sambil meringis.

Pondok ini terletak di pinggir desa, dekat dengan lahan pertanian. Ada bangunan permanen yang digunakan untuk kantor kecil Bulik Surti dan didepannya bangunan gudang untuk menerima setoran para petani. 

Ketika kami asik berbincang datang mobil jeep warna merah masuk ke halaman pondok. Setahuku, itu mobil buatan luar negeri yang harganya selangit. Aku tahu karena Mas Faiz pernah menginginkannya.

Kami menoleh bersamaan melihat mobil itu yang terasa asing buat kami. 

Keluar seorang pemuda berkaos putih, celana jeans hitam ada sobek dilutus sedikit dan menggunakan kaca mata hitam. Badannya yang tinggi dan terbalut baju yang bersih membuatnya kelihatan kontras dengan keadaan di desa ini. 

Apalagi kulitnya yang terlihat putih bersih, jauh dari sebutan orang desa.

Siapa dia?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status