Share

Bab 3. Calon Baru, Ya?

Aduh! Malu, super malu!

*

Segera aku ambil tas kresek lagi. Dalam diam, kami mengambil tomat-tomat yang berceceran. 

"Tomat segini banyak untuk apa, Mbak? Untuk luluran? Atau, buat berendam?" tanyanya ketika memberikan tomat yang terakhir.

Aku tersenyum dan tertawa kecil. Ternyata orang ini selain tampan juga lucu.

"Mas, mana ada luluran pakai tomat. Ini saya pakai untuk membuat saus tomat. Makanya saya tidak bisa bagi lebih dari setengah kilo. Karena,  saya sudah ada pesanan," jelasku.

"Saus tomat? Home made?" tanyanya kaget. Matanya membulat ke arahku. "Kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak!" teriaknya.  "Saya juga mau buat saus tomat. Kalau begitu, saya beli sekarang ada?" tanyanya dengan girang.

"Ada, tetapi di rumah. Hanya ada lima botol saja," ucapku.

"Kalau begitu saya ambil sekarang, ya!"

"Tapi, Mas. Saya belum selesai."

"Tidak apa-apa. Saya tunggu. Sebentar, ya!" ucapnya dan berjalan menjauh, dia menerima telpon. 

Samar-samar dia berbicara tentang tomat dan memberitahu bahwa mendapatkan saus tomat homemade. Maksudnya pasti saus buatanku.

Yah, akhirnya dapat pelanggan baru walaupun dengan cara yang dramatis.

***

"Kartika, bulik pergi sama Mang Diman. Kamu tidak ikut kami, kan? Kan sudah ada barengannya," katanya sambil mengedipkan mata mengarahkan ke laki-laki tadi yang masih menerima telpon.

Ternyata bulik memperhatikan apa yang terjadi tadi. Walaupun dia pura-pura tidak tahu. 

Dasar! 

Tidak bantuin malah ngledek.

"Hati-hati jalan bareng cowok ganteng," godanya sambil menepuk bahuku dan mengedipkan mata. 

Dia bergegas ke mobil pickup dengan menenteng tas. Mang Diman sudah siap dengan keranjang tomat yang menumpuk di belakang. 

"Mas! Hati-hati bawa ponakanku, ya. Jangan sampai lecet!" teriak Bulik Surti.

Mereka meninggalkan kami, dan tersisa aku dengan laki-laki yang entah siapa namanya.

***

Untung aku memakai celana jeans lebar tiga perempat yang aku padukan dengan kaos putih, jadi naik mobilnya yang tinggi tidak kesusahan. Mobil jeep berlable buatan luar negeri. 

"Rumahnya dari pasar terus sampai balai desa. Rumah saya nomor lima sebelah kiri," terangku setelah memasang seat belt.

"Setelah pasar, ya. Kalau begitu, bisa mampir ke pasar dulu? Ada yang harus saya beli," ucapnya sambil mulai menjalankan mobilnya berlahan.

"Tolong baca ini, saya dikasih daftar belanja ini.  Orang rumah kasih saya tugas ini. Saya bingung. Apakah di pasar ada semua?" tanyanya sambil menyodorkan kertas yang dia ambil dari dashboard mobil.

Daftar belanjaan yang banyak. Bawang merah, bawang putih, sayur, saus tiram, kecap ikan, ayam, daging dan masih banyak daftar di bawahnya. Aku menoleh ke arahnya yang serius mengemudi mobil. Jalanan berbatu membuatnya ekstra hati-hati, walaupun menggunakan mobil medan.

Istri macam apa yang memberikan daftar belanjaan sebanyak ini. 

Siapa dia sebenarnya? Kalau orang asli kampung sini tidak mungkin. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin mereka menginap di vila sekitar sini.

"Ikut saya masuk pasar?" tanyanya setelah kami sampai di parkir pasar. Aku langsung mengiyakan, toh di mobil juga bosan.

"Ini daftarnya," ucapku menyerahkan daftar belanja yang begitu panjang.

"Mbak, bantuin saya, ya. Saya tidak mengerti harus belanja di toko yang mana," katanya terlihat bingung melihat jajaran toko dan lapak sayur yang berderet. 

Dia terlihat bengong sambil melihat daftar yang dia pegang dan pasar yang penuh dengan ibu-ibu.

"Sudah! Sini daftarnya. Saya bantu belanja. Masnya siapkan uang saja dan bawa belanjaannya!" ucapku seraya mengambil kertas di tangannya dan bergegas masuk ke pasar. Kalau ngikutin mas nya ini, bisa selesai besuk pagi belanjanya.  

Dia mengikutiku dari belakang dan berusaha mengejar mensejajariku. Sepanjang jalan, pedagang melihat kami dengan tatapan keingintahuan. Beberapa terlihat berbisik-bisik. 

Wajarlah, mereka tahu benar aku janda baru cerai. Mungkin mereka heran, kok sudah ada laki-laki yang ngintil.

Biasa, orang di sini kalau melihat barang baru suka kepo, apalagi bening seperti yang menjulang di sebelahku ini.

"Mbok Lastri, tolong siapkan yang nomor lima sampai sebelas. Mulai yang bawang putih ini, lo," kataku menyodorkan daftar belanjaan.

"Mbak Kartika, temannya kapan datang?" tanyanya sambil menimbang belanjaan, dia mengarahkan wajahnya ke mas di sampingku ini. 

"Mas! Ditanya itu, lo!" ucapku sambil menyenggolnya.

"Sa-saya. Saya sudah dua hari di sini, Bu,"  jawabnya sambil tersenyum.

"Jangan panggil, Bu. Mbak saja. Wah, sebentar lagi kita kondangan, dong," kata Mbak Lastri sambil tersenyum genit. "Totalnya tujuh puluh delapan ribu," katanya lagi sambil menyodorkan kresek belanjaan. Wajahnya masih terpasang senyum genit dan mata berbinar.

"Mas! Bayar!" teriakku ke mas itu. Dia menyodorkan uang pecahan seratus ribuan.

"Mbk Tika, jangan galak-galak sama Mas Ganteng ini. Nanti, ucul! Aku siap nangkep, lo!" ucapnya sambil tertawa, dia memberi uang kembalian belanjaan.

Dasar Mbak Lastri janda ganjen, setiap ada yang bening tidak tahan untuk menggoda.

*

Kami keliling pasar untuk melengkapi daftar belanjaan yang panjang ini. Dia di belakangku membawa dua tas kresek besar. Untung dia kuat, kalau aku yang membawa pasti tidak sanggup.

Tinggal satu saja yang belum, daging sapi. Kalau sudah siang begini, lapak yang masih ada tinggal lapaknya Mbok Wage. Letaknya di paling belakang pojok pasar. Dia langganan kami. 

"Mbak, daging lulur dalam dua kilo!" 

Mbok Wage yang masih nyamil gorengan langsung berdiri. Dia menatap kami bergantian, dan melihat mas di sebelahku yang membawa dua tas kresek besar.

"Aduh, Tika ... Tika! Cah bagus seperti ini kok mbok ajak ke pasar to, Nduk! Masnya ini juga, sayang banget ya, sampai ke pasar saja diikuti! Takut hilang, ya!" ucap Mbok Wage nrocos tanpa jeda.

Ucapannya tidak berhenti, justru berlanjut tak karuan. "Memang kalau Cah Bagus gini, harus dikempit kemana-mana. Cepet yo Nduk, kamu dapet gantinya! Daging lulurnya tinggal ini, satu lonjor dua kilo lebih. Diambil semua, ya!" teriaknya lagi.

"Iya, Mbok. Diambil semua!" ucapku tanpa menghiraukan perkataan yang sebelumnya.

Setelah membayar, kami segera berlalu dari hadapannya dengan diiringi tatapan yang entah apa artinya dari para pedagang lainnya.

*

"Akhirnya selesai!" ucapku sambil duduk di kursi mobil di sebelah sopir. 

"Mas, maaf, ya. Orang di sini memang suka begitu. Kepo!" ucapku mengingat kejadian di pasar tadi. Kasihan orang ini, tidak tahu apa-apa bisa jadi dituduh macam-macam. Jalan dengan janda sepertiku, menjadi musibah.

"Saya yang terima kasih, Mbak. Kalau tidak dibantuin, saya tidak yakin bisa pulang hari ini  Mbak, mbaknya kringetan," ucapnya sambil memberikan kotak tissue kepadaku.

Aduh, sudah ganteng, baik dan perhatian lagi. Level ketampanannya langsung naik sekian persen.

Priiit ... !

Kang Bejo tukang parkir pasar menghampiri kami. Dia terlihat kaget melihatku di dalam mobil. Bergantian dia melihatku dan mas disampingku ini.

"Kartika!" teriaknya  "Wuih, calon baru, ya!" katanya sambil menaikkan kedua alisnya.

Aku tersenyum kikuk. Mau dijelaskan, bagaimana caranya. Apa perlu ditulis di depan mobil, ya.

Kesal, aku!

"Gratis! Buat calon manten!" teriaknya ketika aku menyodorkan uang parkir.

Aduh! 

Bakal orang sekampung salah paham. 

Aku menepuk jidatku sendiri. 

Mas di sebelahku malah tertawa terkekeh.

"Susah ya, Mbak. Kalau jadi selebritis!" ucapnya dengan masih tertawa.

*****

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status